Selamat Jalan, Pastor “Pelestari Budaya Lokal dan Sastra” Leo Joosten, OFMCap! Karya AlmarhumTerbentang dari Pakkat, Parlilitan, Pangururan, Kabanjahe, Brastagi, Hingga Nusantara

992
Alm. Pastor Leo Joosten, OFMCap (paling kiri) dalam satu kesempatan bersama rekan-rekan seordo (Kapusin Provinsi Medan).

HIDUPKATOLIK.COM“Usaha pengobatan dan perawatan yang maksimal telah diberikan kepada Pastor Leo Joosten sejak dirawat di Rumah Sakit Elisabeth dengan harapan akan sembuh. Akan tetapi Tuhan mempunyai rencana lain baginya, dan pada hari ini, Minggu, 28 Februari 2021, pukul 02.00, Saudara kita Pastor Leo. Joosten telah dipanggil Tuhan dengan tenang. Kita berdoa agar Tuhan menyambut Saudara kita ini di dalam Kerajaan Surga. Jenazah Pastor Leo Joosten akan disemayamkan di Gereja Paroki Santo Fransiskus Brastagi dan direcanakan dari sana akan diberangkatkan ke pemakaman hari Selasa, 2 Maret 2021.”

Demikian berita dukacita yang kami terima dari Frater Arie Rizky Oktavianus Saragih, OFMCap dari Pastoran Paroki Brastagi, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, pagi ini,28/2/2021 terkait dengan telah berpulangnya Pastor Leo Joosten OFMCap ke pangkuan Bapa di Surga.

Rancangan acara pengormatan dan pemberangkatan P Leo Joosten.

Minggu, 28 Februari.
09.00: Jenazah diberangkatkan menuju paroki Berastagi untuk kemudian disemayamkan di gereja.
10.30: Jezanah tiba di paroki dan disambut umat. Sesudah acara penyambutan dilanjutkan dengan acara penghormatan kelompok atau pribadi.

18.00 : Misa Requiem dan sesudahnya dilanjutkan dengan penghormatan kelompok atau pribadi.

Senin, 01 Maret
07.00 : Ibadat Pagi.
10.00 : Misa requiem bersama umat. Sesudah itu dilanjutkan dengan penghormatan oleh kelompok atau pribadi.
17.00 : Misa Requiem Persaudaraan Kapusin, dan penghormatan pribadi/kelompok.

Selasa, 02 Maret
07.00 : Ibadat pagi
09.00 : Acara pengormatan (antara lain terbuka kemungkinan adat Karo atau yg lain).
11.00: Makan siang
12.00 Misa pemberangkatan (menurut rencan akan dimpimpin Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap) dan sesudahnya langsung berangkat ke Sinaksak, Pemantangsiantar. (Masih mungkin berubah di sana sini).

Perjalanan Panjang Menuju ‘Tanah Misi’

Dengan menumpang pesawat KLM 845, Pastor Leo Joosten, OFMCap yang baru enam bulan ditahbiskan menjadi imam, berangkat dari Belanda pada malam hari 18 Januari 1971 dan tiba di Indonesia 19 Januari 1971. Jakarta, kala itu, sebagai Ibu Kota Negara masih cukup sederhana. Maka Pastor Leo — sapaan akrabnya —  sudah dapat membayangkan seperti apa keadaan Sumatera Utara, khususnya Tanah Batak, di mana dia akan bertugas. Dia pun teringat akan penggalan khotbah Pater Provinsial Kapusin pada Misa perutusannya: “Ke negara mana engkau nantinya pergi, kebanyakan dari kita belum kenal. … Menurut orang, negara ini sangat indah, dan di jantung daerah yang kamu tuju, terdapat sebuah mutiara yang indah, yaitu Danau Toba.” Dengan bekal itu, Pastor Leo berangkat pada usia 29 tahun.

Menjadi misionaris sudah menjadi impian Leo sejak kecil. Sybrandus Van Rossum, OFMCap, salah seorang misionaris perintis di Tanah Batak (1931-1966) dan  pamannya, Pastor Restitutus Joosten, OFMCap yang juga seorang misionaris di Sumatera Utara sejak 1946, adalah dua di antara sekian misionaris yang menginspirasi Leo Joosten — anak ke-8 dari 11 bersaudara dari pasangan Henricus Wilhelmus Joosten dan Henrica Maria Sanders — untuk menjadi pastor kemudian misionaris.

Mereka bercerita bahwa daerah misi di Sumatera Utara masih terbelakang dan butuh bantuan. Impian Leo ini benar-benar terwujud ketika pada 28 Juni 1970 Frater Egidius (Leonardus Joosten) ditahbiskan menjadi imam, dan 19 Januari 1971 tiba di Indonesia. Maka, jika melihat rentang waktu, pada 28 Juni 2020 lalu, Pastor Leo genap 50 tahun menjadi imam, dan pada 19 Januari 2021 genap 50 tahun pula berada di Indonesia, tanah airnya yang kedua (Ia sudah menjadi WNI sejak 6 Juli 1974). Perayaan imamat ‘meriah’ tertunda karena pandemi, harapannya, tahun 2021 ini, perayaan agak semarak dapat digelar, bersamaan dengan peluncuran buku kenangan berisi karya dan pelayanannya.

Salib dan Surat Perutusan

Provinsi Kapusin Belanda mempunyai kebiasaan bahwa sebelum seseorang berangkat ke daerah misi, terlebih dahulu dibekali dengan ‘Salib Perutusan’ dan ‘Surat Perutusan’. Leo pun menerima salib dan surat itu dari dari Alfred van de Weijer, OFMCap, Provinsial Kapusin Belanda. Leo pun berjanji: “Sesuai dengan contoh-teladan Kristus, para rasul dan Bapa Suci Fransiskus (Asisi), saya, Leo Joosten, mau memberikan diriku dengan seluruh pribadiku kepada pekerjaan misi di Indonesia”. Lalu Provinsial menjawab, “Terimalah salib ini sebagai tanda penyelamatan dan perutusanmu sebagai misionaris. Semoga salib itu menemani engkau dan memberikan inspirasi dalam hidup dan karyamu.” Salib Perutusan itu terus menemaninya hingga ke Pakkat-Parlilitan, Pangururan, Kabanjahe dan Berastagi hingga saat ini.

Di daerah misi, tepatnya di Paroki Pakkat, sebuah paroki terpencil (ketika itu) di Keuskupan Agung Medan, Pastor Leo mengawali tugas perutusannya sebagai misionaris — bahkan sebagai misionaris terakhir di Sumatera Utara. Jabatannya adalah ‘pastor vikaris’ — dulu disebut ‘pastor pembantu’ — pada Agustus 1971. Di paroki ini Pastor Leo sukses sebagai seorang misionaris selama 12 tahun, termasuk mengembangkan Paroki Parlilitan yang lebih terpencil lagi. Dia masuk dan menyelami seluruh aspek kehidupan umat dengan pendekatan yang simpatik, ramah, dan humoris.

Dalam berkarya Leo memegang satu prinsip yang membuatnya dicintai umat yakni melayani dengan sepenuh hati. Prinsip ini – menurut dia – sangat efektif dalam mengajak umat untuk berkarya, sesulit apapun. Maka, di semua paroki yang pernah dilayaninya, nama Pastor Leo harum.

Dia bukan saja disenangi dan dirindukan, juga karena ringan tangan dalam menolong siapapun, termasuk lebih dari 100 orang cacat parah (lumpuh, sumbing, dan lain-lain) dari berbagai pelosok Pakkat, Pangururan dan Tanah Karo, dan mengantarkannya sendiri ke Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya di Pematangsiantar untuk mendapatkan perawatan.

Tak hanya itu, Pastor Leo juga amat peduli pada penderita kusta di Lausimomo dan Lawe Desky, Aceh Tenggara, yang kadang-kadang luput dari perhatian kita. Sebuah bantuan nyata dan konkret.

Karya-karya Monumental

Dengan modal melayani dengan sepenuh hati, Pastor Leo melakukan karya-karya besar dan  monumental di paroki-paroki di mana dia bertugas. Dia mudah mengajak orang untuk bekerja sama. Selain membangun atau merehab gereja, ia juga membangun karya-karya yang layak dikenang.

CU Pardomuan Nauli di Pakkat, Hubbang Hasundutan, Sumatera Utara

Pertama adalah “CU Pardomuan” (dan CU Saroha) di Paroki Pakkat, kini Kabupaten Hubbang Hasundutan, Sumatera Utara,  pada tahun 1974. Menurut data terakhir, CU Pardomuan dudah beromset lebih dari 170 milyar. Ini salah satu contoh perhatian Pastor Leo terhadap umat. Berkat CU ini kehidupan ekonomi umat pun berkembang secara signifikan.

Tercatat, ini yang kedua, Pastor Leo termasuk salah satu dari sedikit misionaris Belanda yang cinta budaya dan kearifan lokal. Setiap kali menyaksikan benda-benda budaya, hatinya ‘gelisah’ dan ingin berbuat sesuatu.

Sebagai wujud dari kegelisahan itu, di Pangururan, kini Kabupaten Samosir, misalnya, ia mengukir prestasi dengan mendirikan “Gereja Inkulturasi Batak Toba”, dan di bawah gedung gereja itu dibangun juga “Museum Pusaka Batak Toba”.

Gereja Katolik Paroki Pangururan, Samosir, Sumatera Utara

Gereja dan museum ini menjadi kebanggaan bukan saja bagi umat Paroki Pangururan, tetapi juga menjadi salah sastu destinasi wisata penting di Pulau Samosir. Pastor Leo pun teringat akan khotbah provinsial di Belanda ketika memberangkatkan di ke tanah misi. “Danau Toba adalah Mutiara yang indah di jantung Sumatera Utara.” Peresmian gereja dan museum dilakukan oleh Uskup Agung Medan, saat itu, Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap serta dihadiri Uskup Padang, Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap (alm.) dan Uskup Sibolga, Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap (alm.).

Begitu menginjakkan kaki di Paroki Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Pastor Leo juga terkagum-kagum pada benda-benda budaya Karo yang tak kalah menariknya dibanding dengan benda-benda budaya Batak Toba di Samosir. Ini adalah karya monumentalnya yang ketiga.

Gereja Santo Fransiskus Assisi Brastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara

Hatinya pun lagi-lagi ‘gelisah’. Kalau benda-benda bagus dan bersejarah tersebut tidak dipelihara dan dilestarikan, niscaya akan punah. Pastor Leo pun mulai menggagas pembangunan sebuah museum. Sembari melakukan rencana pembangunan museum, ia pun gencar melakukan ‘perburuan’ benda-benda kuno ke berbagai penjuru, termasuk ke Negeri Belanda.

Dari Belanda, Pastor Leo membawa pulang sejumlah benda yang sekian lama ‘merantau’ di negeri orang, seperti buku Lak-lak dan sejumlah foto-foto ‘tempo doeloe’ dari Tropen Museum Belanda. Kini Museum Pusaka Karo merupakan museum kedua terbesar di Sumatera Utara dan mengoleksi lebih dari 900 benda.

Penghargaan Tingkat Nasional

Dari seluruh prestasi luhur namun akrab dan sederhana, layaklah Pastor Leo menerima penghargaan. Pada 22 Agustus 2015, Pastor Leo meraih Penghargaan Sastra Rancage Nasional di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung. Penghargaan ini untuk pertama kali diberikan kepada orang luar Jawa dan Bali, sesudah lembaga ini berdiri 27 tahun. Penghargaan Award Sastra Rancage ini diberikan kepada orang yang dianggap berjasa bagi pelestarian budaya lokal dan sastra.

Pastor Leo Joosten, OFMCap (keempat dari kanan) menerima penghargaan tingkat nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Pastor Leo, ini karya keempat, memang sangat produktif dalam hal tulis-menulis buku-buku budaya. Tidak kurang dari 23 buku lahir dari tangan dinginnya, antara lain Kamus Batak Toba – Indonesia, Kamus Karo – Indonesia, dan Ensiklopedi Karo.

Penghargaan nasional kedua pada 26 September 2018, berupa Anugerah Pelestarian Budaya, diterima oleh Pastor Leo di Gedung Insan Berprestasi, Jakarta, dari Nadjamuddin Ramly, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bersama 50-an penerima anugerah pelbagai kategori lainnya, P. Leo Joosten Ginting Suka, dengan Uis Karo ‘Beka Buluh’ di pundaknya, tampak antusias dan senang pada event meriah itu.

Pastor Leo, yang telah dikabulkan permintaannya menjadi WNI pada 1994 dan secara resmi pula ditabalkan bermarga Ginting Suka bere-bere Sitepu oleh masyarakat Suka pada 1999, sungguh dihargai dalam kegigihannya mendorong dan mendukung pelestarian budaya sekaligus turut serta mengembangkan destinasi wisata budaya, dengan mendirikan Gereja Inkulturasi Batak Toba serta Museum Pusaka Batak Toba di Pangururan (1997), Gereja Katolik Inkulturasi Karo (2005) serta Museum Pusaka Karo di Berastagi (2013), dan preservasi Rumah Adat Karo (2013). Semua ini lebih dari cukup untuk menjadi alasan keterpilihannya menjadi salah satu penerima anugerah pelestari budaya oleh Kemdikbud RI.

Dengan semua prestasi yang diraihnya, Pastor Leo, bukannya membusungkan dada. Dia selalu merendah. Mengapa saya? Masih ada orang lain yang lebih layak, begitu reaksinya. Berbuat karya-karya besar dan monumental memang bukan untuk mencari pujian, melainkan semata-mata demi kebaikan sesama (bonum commune) dan meluhurkan Tuhan (Ad maiorem Dei gloriam).

Melangkah Tiada Henti

Kehidupan sehari-sehari seorang imam Ordo Kapusin tentu terikat oleh aturan ordo tersebut. Pastor Leo menganggap bahwa ikatan itu menjadi sebuah kebebasan. Dengan gembira ia menjalankan ketiga kaulnya tanpa kendala yang berarti.

Ia total mengabdikan diri sebagai seorang imam di paroki, atau bertugas sesuai profesi yang diamanatkan oleh pimpinannya. Siapapun itu, termasuk pimpinannya yang dulunya anak-anak yang dibimbingnya.

Bagi setiap manusia normal, totalitas hidup selibat pasti tidak mudah, namun bagi Pastor Leo itu seakan tidak masalah. Buktinya, hingga usia 50 tahun imamat bisa dilewatinya dengan nyaris tanpa kendala berarti. Kuncinya, dia menjalaninya dengan sikap konsisten dan konsekuen apapun yang terjadi, sebuah sikap hidup yang seharusnya dimiliki oleh setiap rohaniwan, biarawan-biarawati juga.

Selain pengorbanan berupa totalitas hidup selibat, Pastor Leo (dan para imam lain juga) menghadapi realitas kehidupan sosial maupun pribadi yang kadang-kadang juga merupakan beban cukup berat.

 

Museum Pusaka Karo di Brastagi

Secara formal, seorang imam bisa mengeluhkan beban hidup ini kepada rekan imam atau teman sekomunitas. Hidup bersama sesama pengikut Fransiskus yang senasib sepenanggungan bisa menjadi oasis dalam sebuah perjalanan panjang di gurun kehidupan gersang dan kadang tidak nyaman.

Perjalanan panjang seorang imam menjadi istimewa ketika sudah berlangsung 25 tahun, 40 tahun, terlebih 50 tahun. Bagi Pastor Leo, hitungan perak sudah lama lewat. Kini tiba pada hitungan emas (tepatnya 28 Juni 2020 lalu).

Layaknya hari istimewa itu dirayakan meriah. Namun karena situasi belum kondusif (pandemi Covid-19) belum dirayakan. Semoga bisa pada 28 Juni 2021.

Namun, itu tidak menjadi penghalang bahwa Pastor Leo layak menerima “Medali Emas” atas segala pengabdian dan karya-karyanya yang menggema bukan saja di tingkat paroki, keuskupan, tetapi juga ke tingkat nasional, dan dunia.

FHS/Dion P. Sihotang, Kontributor

 

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini