MENGAPA PANDEMI BUKAN ALASAN “GHOSTING” DARI KEHIDUPAN MENGGEREJA

329
Fr. Gabriel Mario L, OSC, tinggal di Biara OSC di Bandung, Jawa Barat

HIDUPKATOLIK.COM – BAGI saya, generasi milenial sungguh kreatif dalam menciptakan istilah-istilah gaul. Mungkin dari antara kita tidak asing dengan kata-kata berikut; kuy (kebalikan dari kata “yuk”), santuy (plesetan dari kata “santai”), mager (singkatan dari frasa“malas gerak”), baper (singkatan dari frasa “bawa perasaan), PHP (singkatan dari frasa “pemberi harapan palsu”, semoga anda bukan bagian dari golongan ini), dan masih banyak lagi.

Di sini kita melihat bahwa anak zaman now sungguh piawai dalam mengekspresikan perasaannya dalam bentuk peristilahan semacam itu. Lebih lanjut, cepatnya persebaran penggunaan istilah itu didukung dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi masa kini.

Hingga akhirnya, kerapkali saya kudet (kurang update) dengan penambahan kata-kata seperti itu. Maklum, tidak mungkin saya memasukkan frasa-frasa gaul tersebut ke dalam makalah atau tugas ilmiah dari kampus. Bila saya nekat memasukkannya, bisa jadi dosen bertanya kepada saya, “Lagi gabut ya, Frater?”

Dari sekian banyaknya kata-kata gaul, ada satu kata yang menarik bagi saya, yakni ghosting. Kata ini menjadi tren dalam percakapan anak muda saat ini. Namun, saya tidak langsung mengerti maksud kata ini. Bahkan, ketika pertama kali mendengar kata ini, saya langsung menghubungkannya dengan tokoh kartun Casper yang menemani sore hari saya di masa kecil. Rupanya, kata ghosting tidak ada hubungannya dengan si hantu yang ramah dan suka menolong itu. Maka, saya berusaha mengamati kata-kata ini dalam postingan beberapa teman saya di media sosial.

Dari pengamatan tersebut, saya menyimpulkan kira-kira arti kata ghosting sebagai berikut: suatu tindakan seseorang yang menghilang begitu saja entah ke mana, tanpa sebab dan alasan yang jelas, bahkan tidak memberikan pesan sebelumnya, hingga orang yang ditinggalkan menjadi bingung dan merasa kehilangan.

Mungkin di antara anda pernah mengalami kondisi seperti ini. Seseorang yang telah dekat dengan anda tiba-tiba menghilang dan meninggalkan anda. Entah itu sahabat, relasi dalam kelompok, kolega bisnis, kekasih, dan sebagainya. Sebaliknya, mungkin dalam sebuah kesempatan anda pernah “bersembunyi” dari kebersamaan karena sebuah alasan tertentu. Bisa jadi salah satu alasannya adalah karena pandemi ini.

Kita menyadari bahwa pandemi ini amat memengaruhi perjumpaan kita dalam keseharian. Perjumpaan langsung yang biasa kita rasakan kini harus dibatasi. Berpergian ke luar rumah pun kadangkala diliputi rasa waswas dan khawatir. Tak ayal, peristiwa ini juga mempengaruhi kehidupan menggereja kita. Hal ini tidak mengherankan karena kegiatan koinonia kita amat identik dengan interaksi secara langsung.

Lihat saja bagaimana antusiasme umat Katolik bila mengikuti latihan kor/paduan suara, pertemuan dalam Legio Maria, atau pendalaman Kitab Suci di paroki sebelum pandemi. Hampir setiap hari gedung gereja tidak pernah sepi berkat keaktifan umat. Bahkan, tidak jarang anak muda menjadikan paroki (stasi) sebagai basecamp untuk sekadar berkumpul dan berbagi inspirasi. Dalam perjumpaan itulah mereka menemukan kegembiraan sebagai sesama anak-anak Allah.

Lantas, bagaimana dengan kondisi seperti ini? Apakah ini alasan anak muda untuk ghosting dari kehidupan menggereja? Jawabannya bisa ya atau tidak; tergantung situasi, kondisi, dan kesadaran pribadi. Saya tidak memungkiri bahwa masih ada sebagian dari mereka yang amat merindukan saat-saat bertemu bersama. Mungkin mereka merasa bosan berkegiatan di dalam rumah melulu.

Namun, ada kemungkinan pula bahwa situasi seperti ini membuat mereka masuk ke dalam zona nyaman. Mereka bersembunyi di balik situasi pandemi untuk semakin asyik dengan gadgetnya. Sontak, sedikit banyak hal ini mempengaruhi kualitas relasi di antara mereka yang terjalin selama ini. Hubungan yang sudah erat makin hari makin renggang akibat nyaman dengan kesendirian. Lebih lanjut, bila hal ini terus terjadi, terbuka kemungkinan bila rasa rindu mereka berjumpa dengan Tuhan semakin memudar.

Berkaitan dengan kondisi seperti ini, saya melihat anak muda mendapatkan peluang (sekaligus tantangan) untuk mengungkapkan kreativitasnya. Kreativitas dalam konteks ini adalah menemukan cara-cara baru dalam kehidupan menggereja. Tentu, bentuknya akan sangat berbeda dibanding kondisi sebelum pandemi. Untungnya, kecanggihan teknologi komunikasi mampu menunjang kreativitas tersebut.

Kita bisa melihat berbagai platform yang ditawarkan seperti Zoom, Google Meet, dan WhatsApp dapat menunjang perjumpaan secara virtual. Adapun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, atau Youtube juga bisa digunakan untuk tetap berinteraksi selama masa karantina ini. Ini semua dapat berjalan bila ada kesadaran dari anak muda untuk mau memanfaatkannya dengan baik.

Secara pribadi, saya tidak berkehendak mengajak semua anak muda untuk menjadi selebgram yang memiliki banyak followers. Jelas, bukan itu maksud saya. Kita tidak perlu memulainya dengan hal-hal yang boombastis seperti itu. Pasalnya, tujuan pemanfaatan dari segala kecanggihan komunikasi itu cukup simpel, yakni tetap menjalin interaksi dalam kehidupan menggereja. Pun kita percaya bila dua atau tiga orang berkumpul atas nama Tuhan, maka Ia akan datang dan hadir di antara mereka. (Bdk. Mat. 18:20). Bukankah kehadiran Tuhan juga sangat kita rindukan dalam menghadapi badai Covid-19 ini?

Didasari oleh permenungan di atas, saya menawarkan beberapa alternatif agar tidak ghosting dalam kehidupan menggereja.

Pertama, lakukan kegiatan doa bersama secara online. Hal tersebut merupakan contoh yang paling mudah dan sering dilakukan selama ini. Cukup berbekal sebuah smartphone dan koneksi internet yang stabil, doa bersama dapat terwujud. Kita bisa memulai dengan doa yang paling umum, misalnya rosario. Di samping karena rosario sangat familier dengan kehidupan umat Katolik, kita menyadari bahwa di dalamnya berisi doa-doa pokok seperti Syahadat, Bapa Kami, Salam Maria, dan sebagainya. Bahkan, doa ini bisa diikuti tanpa mengenal batasan usia. Tua-muda bisa ikut bersama mendaraskannya. Beberapa umat di paroki dan komunitas sudah mengadakan kegiatan seperti ini. Sekalipun tidak dapat berjumpa secara langsung, namun sejatinya mereka telah dipersatukan oleh rosario yang menguatkan iman dan pengharapan itu.

Kedua, yang tidak kalah mudahnya dengan poin pertama adalah sharing Kitab Suci secara virtual. Kita bisa menggunakan platform seperti Google Meet atau Zoom. Sudah pasti sebagian besar anak muda zaman sekarang tidak asing dengan dua layanan komunikasi itu. Hampir setiap hari mereka memakainya untuk menerima pengajaran dari guru (dosen) atau rapat dengan rekan satu kantor. Maka, mereka pun bisa memanfaatkannya untuk melakukan sharing Kitab Suci bersama.

Tentu, dengan adanya meeting code tertentu mereka bisa menentukan kelompok sharing yang diinginkan. Sebagai contoh, kelompok orang muda separoki, anggota KMK kampus tertentu, atau karyawan Katolik dari sebuah perusahaan. Adapun sharing kitab suci dapat dijadikan alternatif karena mengingat bahwa kegiatan seperti ini cukup banyak peminatnya sebagaimana doa rosario bersama.

Ketiga, yang sedang viral saat ini adalah membuat katekese digital. Beberapa pastor dan anak muda telah menunjukkan kreativitasnya berkatekese dalam dunia maya. Tidak sedikit konten yang mereka unggah cukup membuat gelak tawa. Semua itu dilakukan demi menambah penghayatan iman umat, terlebih selama pandemi ini.

Tentu, katekese anak muda dibuat dengan konteks dan bahasa yang cocok dengan situasi zaman. Tema yang dipilih pun tidak perlu yang sulit. Sebagai contoh, katekese tentang pemaknaan 10 Perintah Allah, 7 Sakramen Gereja, atau 3 Keutamaan Kristiani, dan sebagainya. Selain cara ini dipilih karena si pembuat konten mudah untuk mengunggahnya, secara otomatis dia juga akan memperdalam kembali pengetahuan tentang imannya. Bisa dikatakan kegiatan ini semacam learning by teaching untuk menambah kembali pemahaman tentang Kristianitas.

Saya tidak memungkiri bahwa masih banyak hal yang bisa menjadi alternatif kehidupan menggereja selama pandemi ini. Mungkin anda bisa mengembangkannya secara lebih kreatif.

Namun, saya mengakhiri tulisan ini dengan kata-kata berikut: “Jangan jadikan pandemi sebagai alasan kita untuk gabut, baperan, apalagi ghosting dari kehidupan menggereja. Kuy gunakan gadgetmu agar bisa tetap bertemu dengan teman-teman seiman dengan asyik dan santuy ” – Anonim.

Fr. Gabriel Mario L, OSC, tinggal di Biara OSC di Bandung, Jawa Barat

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini