TRANSPUAN

168

HIDUPKATOLIK.COM – MENTARI tinggal sepotong di ufuk Barat. Warnanya jingga, menyala bagai bara. Panorama yang terpampang menjelang petang itu mengundang takjub di benakmu. Dari sebuah teras kafe di emper Ibu Kota, kau tak berkedip menatapnya. Sementara hembusan angin mencandai helai-helai rambutmu yang tergerai sebahu hingga agak acak-acakan.

Senja itu terasa istimewa seiring penampilanmu yang berbeda. Penampilan demikian yang senantiasa kau damba sedari usiamu teramat belia. Kau memakai gaun pink muda. Modelnya tidak menyolok. Gaun ini merupakan koleksi berkelas yang bertahun-tahun telah menghuni almarimu. Kau sengaja membelinya hingga memangkas tabungan. Akhirnya, terkumpul juga keberanianmu mengenakannya.

Kau rias wajahmu dengan bedak natural. Eyeshadow yang kau pakai berwarna cokelat muda; sekadar aksen guna menyamarkan sepasang matamu yang layu akibat tidurmu yang tak lelap semalam. Tak lupa kau pulasi bibirmu dengan gincu berwarna kalem. Penampilanmu bersahaja namun terkesan elegan.

“Ini penampilan perdanaku sebagai perempuan. Aku harus percaya diri,” katamu kepadaku sesaat sebelum kau berangkat ke kafe. Kau upayakan untuk tampil senyaman mungkin. “Jangan sampai penampilanku jadi perhatian banyak orang,” ujarmu.

Kau duduk di tepi kafe. Sengaja kau amati tatapan orang yang lalu-lalang pada senja itu. “Syukurlah, tidak kudapati lirikan aneh,” ungkapmu lagi kepadaku melalui teks WhatsApp.

Kau baru menangkap tatapan janggal tatkala pramusaji melayani pesananmu.

“Saya pesan secangkir coffee latte  dan sepotong red velvet cake,” katamu seraya mencoba menindih suara.

Sepertinya pramusaji berperawakan kekar itu curiga bahwa kau hanyalah perempuan tiruan. Barangkali penampilanmu sudah memadai tapi… alamak, suaramu ngebass.

Senja itu terlintas indah. Tidak sempat kau pergoki ekor mata yang memicing ke arahmu, kecuali pramusaji itu. Jika suaramu tak terlontar, sepertinya orang tidak akan tertegun heran menatapmu. Pengalaman itu yang kemudian meneguhkanmu untuk bermetamorfosis.

Sejak itu, kau tampil sebagai perempuan. Setelah sekian waktu resah membiak di dada, akhirnya kau menjelma sebagai perempuan. Transpuan adalah sebuah pilihan selepas kau tempuh perjalanan gelisah nan terjal dan berkelok.

***

Sejak kecil, sosok ayah telah beranjak dari keseharianmu serta adikmu, Rumi. Ia berpulang tatkala masa emas pembentukan kepribadianmu belum usai. Alhasil, bayangan tentang ayah hanyalah jejak samar yang nyaris sirna tak bersisa di lumbung ingatanmu.

Yang senantiasa mendekam di kepalamu justru kebersamaan dengan dua perempuan yang mengasihimu; ibumu dan Rumi. Merekalah sosok-sosok yang meneduhkan tatkala hidupmu bergelora.

Ibumu adalah sosok yang kau kagumi. Ia bergulat menaklukkan kerasnya kehidupan demi tumbuh kembang anak-anaknya. Setiap hari ibumu membanting tulang demi tegaknya pilar nafkah rumah tangganya.

“Kalian harus mengerti ya…. Mama pulang ke rumah larut malam karena Mama harus mencari uang,” ucap ibumu pada suatu petang.

Penjelasan itu sudah cukup bagimu. Kau tak pernah mempersoalkannya. Toh, keseharianmu bergulir wajar. Tidak pernah kau hiraukan rangkaian pertanyaan nyinyir ibu-ibu tetangga yang ingin tahu di mana ibumu bekerja.

“Mama kamu bekerja di mana sih, Barto?” telisik Ibu Mira, tetangga di samping rumahmu.

“Dia kerja apa ya, kok selalu pulang malam?” timpal Ibu Nuri yang tinggal di ujung jalan, dengan bibir meliuk sinis.

“Mama bekerja sebagai kasir di restoran,” jawabmu enteng.

Bagimu, ibu adalah segalanya. Bukankah pada hakikatnya seluruh kehidupan psikis manusia berdasar dan bersumber pada unsur ibu? Nilai-nilai keibuanlah yang menjadi unsur hakiki dari eksistensimu sebagai manusia.

Ibumu selalu bersikap ramah meski kerap kau pergoki tatapannya lengang. Jika kau cermati lebih lama, tatapan itu bagai terjerembap pada kedalaman yang curam. Sesekali parasnya sendu laksana langit tersaput awan kelabu.

Namun, ibumu mudah membagikan sesabit senyumnya yang menawan kepada siapa saja. Itulah ketangguhannya yang kau kagumi. Ia bisa tersenyum bahkan tertawa meski luka di hatinya terasa pedih, bahkan ketika ia terjepit oleh beban kehidupan.

Di matamu, ibumu sungguh cantik luar dalam. Kau sering mendekatinya kala ia tengah merias wajah.

“Wow, Mama tambah cantik,” pujimu sembari mencermati langkah-langkah yang ia lakukan di hadapan cermin. Seiring waktu berlalu, tanpa kau sadari mencuat hasrat di batinmu bisa bersolek seperti ibumu.  “Senangnya bisa tambah cantik,” ucapmu terpukau.

Hingga suatu hari, guru bahasa Inggris di sekolahmu, Bu Louise, melibatkanmu dalam drama musikal “Les Miserables”.

“Barto, kamu jadi Madame Threnadier ya,” pinta Bu Louise.

“Kamu cocok, Barto. Suaramu bagus,” puji Bu Louise.

Tanpa mengulur pikiran, kau terima tawaran itu. Kau tak mencari tahu mengapa Bu Louise memilihmu untuk memerankan lakon perempuan. Tatkala wajahmu dirias, kau sungguh menikmati menjadi perempuan.

“Wah kamu cantik lho, Barto,” kata teman-teman saat mereka melihat wajahmu. Padahal dandananmu sengaja dibikin amburadul sesuai peran yang kau mainkan di atas panggung. Tetapi, aura kecantikan berpendar dari parasmu.

“Kamu cocok banget jadi Madame Threnadier,” kata Bu Louise.

Kau tatap pantulan wajahmu di muka kaca rias.

“Ternyata, aku tampak ayu menjadi Madame Threnadier ya,” ungkapmu kepadaku.

Sejak itu, niatmu bersolek tak terbendung. Setiap kali ibumu atau Rumi berdandan, kau bagai digelontor hasrat ingin bisa seperti mereka.

Hari demi hari, kau mulai mengoleksi peralatan make-up sendiri. Cermin menjadi sobatmu. Kau berterima kasih karena ia selalu memantulkan paras mempesona untukmu. Dengan katup bibir merekah, kau kerap terperangah menatap wajahmu sendiri.

Pernah kubaca bahwa transpuan terjadi karena terperangkapnya jiwa perempuan di dalam tubuh lelaki. Selain karena faktor genetis, hal tersebut bisa terjadi akibat pola pengasuhan atau lingkungan.

Puncak persoalannya, apresiasi dan keamanan yang layak bagi kaum trans masih absen di negeri ini. Yang terjadi, kaum trans hanya menjadi manifestasi stereotipe negatif. Alhasil, mereka bagai terkurung dalam lingkaran setan!  Tetapi… kau tak peduli! Kau kuntit gerakan hati yang telah sekian waktu teruruk di lorong persembunyian diri. Kini, kau mau tampil sebagai perempuan. Saatnya kau cecap kebahagiaan kendati mungkin semu dan samar.

Sementara itu, ibumu yang bijak tak mengudar protes. Entah apa yang dirasa di relung hatinya, nyatanya ia tetap melepas senyum menatapmu…

***

Hingga prahara menggulungmu…

Kau mulai kesulitan berkemih; kerap tidak lancar dan tidak tuntas. Prostatitis  membuatmu tersungkur dan tiarap kesakitan. Kau mulai menggugat keadaan yang sejatinya mulai membahagiakanmu. Menjadi transpuan merupakan pilihan bebasmu sebagaimana kau yakini bahwa hidup adalah soal pilihan. Bukankah setiap pilihan menyeret konsekuensi?

Kau terhenyak tatkala dokter menyarankan untuk menjalani prostatektomi demi mengatasi kelainan pada kelenjar prostatmu yang bisa berujung fatal; keganasan sel-sel yang beranak-pinak. “Dengan tindakan ini, mudah-mudahan pembengkakan prostat bisa teratasi,” beber dokter panjang lebar.

Kejadian ini membelalakkan mata hatimu pada jenis kelaminmu yang sesungguhnya. “Bukankah aku memang terlahir sebagai lelaki?” ratapmu dengan bulir-bulir air mata menghilir di pipi saat kutemui dirimu di bangsal rumah sakit.

Senja itu, tatkala bola mentari perlahan menukik di kaki langit, aku termenung. “Apakah mungkin Tuhan keliru menempatkan jiwa perempuan pada tubuh lelakimu?”

 

Oleh Maria Etty

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini