HIDUPKATOLIK.COM – APAKAH pejabat yang beragama Katolik selama ini selalu memperjuangkan aspirasi umat Katolik? Ada pengalaman berbeda dari Daoed Josoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983), dalam buku Memoar Pencari Kebenaran: Dia dan Aku, terbitan Penerbit Buku Kompas edisi November 2006.
Dalam buku tersebut, Daoed menuliskan ‘kekecewaannya’ sewaktu menjadi Menteri. Daoed harus memperjuangkan sendirian aspirasi seorang asing biarawati Katolik. “Kemudian aku menemukan peristiwa yang sangat menyentuh nuraniku di Irian,” demikian Daoed menulis di bukunya mulai halaman 747. Kini nama Irian sudah ditinggalkan sejak Presiden Gus Dur mengembalikan nama Papua.
Di satu permukiman terpencil di sekitar Wamena, ada kasus yang betul-betul menggugah nurani itu. Daoed berkenalan dengan seorang biarawati Katolik asal Belanda. Bahasa Indonesianya lancar, selancar dan sebaik bahasa Belandanya. Dia tentu juga menguasai bahasa penduduk setempat.
Sudah 25 tahun dia hidup sendirian di tengah-tengah penduduk Irian yang kelihatannya masih serba primitif, di mana masih ada laki-laki yang berkeliaran dengan memakai koteka yang di sini disebut holim, berarti ‘pakaian’. Dengan peralatan yang serba terbatas, dia mengajar penduduk membaca–menulis, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, bercocok tanam, dan beternak sesuai dengan asas kesehatan dan tentunya beribadah menurut agama Katolik tanpa paksaan. Dia melakukan semua itu dengan penuh kasih sayang, berdedikasi di jalan Tuhan.
Selama 5 tahun terakhir ini, dia terus menunggu-nunggu jawaban pemerintah atas permohonannya untuk menjadi warga negara Indonesia atau, kalaupun ditolak, diberi izin perpanjangan tinggal di Irian, di lingkungan penduduk pribumi yang sudah dicintai dan mencintainya. Izin menetapnya akan habis beberapa bulan lagi. Sesuai prosedur, dia mengirimkan permohonannya kepada Departemen Agama”.
Daoed lalu meminta biarawati itu untuk membuat salinan dokumen yang telah dikirimkannya ke Departemen Agama, dan membawanya sendiri ke Presiden.
“Kasus ini adalah wewenang Departemen Agama,” kata Presiden.
“Saya tahu, Pak,” jawab Daoed. “Surat ini juga sudah biarawati itu kirim ke situ.”
“Saya sudah menemui Menteri Agama, dia hanya mengatakan bahwa dia akan meminta stafnya mempelajari urgensi dari permohonan ini,” kata Daoed melanjutkan.
Karena Presiden tidak bereaksi apa-apa, Daoed lanjutkan dengan mengatakan bahwa permohonan biarawati ini dianggapnya sangat urgen, maka itu Daoed sampaikan sekarang langsung kepada Presiden agar ada keputusan yang cepat.
Hal ini urgen dipandang dari sudut waktu berhubung izin menetap pemohon tidak sampai 4 bulan lagi. Juga urgen dipandang dari sudut pentingnya kerja yang dilakukan pemohon selama ini. Tanpa imbalan 1 sen pun dari pemerintah, biarawati Katolik ini telah melaksanakan tugas-tugas pendidikan dan kebudayaan selama hampir 25 tahun. Dengan penuh dedikasi dia membuat ‘manusia beradab’ seperti yang diamanatkan oleh sila pertama dan kelima dari Pancasila.
Memang di samping itu dia mengajarkan moral dan agama Katolik, tetapi itu Daoed kira hanya sebesar 25 persen dari keseluruhan isi pendidikan yang dia berikan sehari-hari. Tetapi apakah ini salah?
Kalau permohonan naturalisasi atau perpanjangan tinggal di Irian ini ditolak dan dia harus pulang ke negeri asalnya, komunitas penduduk asli di pinggiran Wamena pasti akan rugi, kehilangan pendidik yang berdedikasi tinggi. Daoed tidak yakin akan bisa diperoleh penggantinya yang bisa bekerja efektif berhubung orang yang bersangkutan itu sendiri harus mempelajari dahulu bahasa dan adat-istiadat seempat untuk bisa diterima.
Belakangan Daoed mendengar dari Kakanwil Departemen P dan K di Jayapura bahwa izin itu tidak diberikan. Bahkan, jangankan izin, surat permohonan itu sendiri tidak pernah dijawab. Sungguh keterlaluan, suatu kesewenang-wenangan.
Kejengkelan Daoed memuncak ketika di awal tahun terakhir masa jabatannya, Menteri Agama menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari umat Islam di negara kita. Pernyataan ini diucapkan dalam acara pembukaan penataran bagi para penatar Pancasila yang telah terpilih dan diseleksi, yang diresmikan oleh Presiden di Istana Bogor. Pada waktu ramah-tamah sesudah acara peresmian selesai, sengaja Daoed bertanya kepada Menteri Agama, apa pertimbangannya sampai membuat pernyataan yang menyesatkan itu. “Coba tanyakan sendiri kepada Presiden,” jawab Menteri Agama, “Kalau berani …!”
Pada kesempatan lain, Daoed berani menyampaikan kepada Presiden bahwa, “Tidak benar perjuangan kemerdekaan sejak awalnya sudah diilhami dan disemangati oleh nilai-nilai keislaman. Yang benar adalah bahwa tidak sedikit orang muslim yang melibatkan diri sebagai tokoh dan pemuka gerakan kemerdekaan sejak zaman penjajahan dahulu. Tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang sebenarnya berjuang sebagai nasionalis, diilhami tidak hanya oleh ide kebangsaan, tetapi juga oleh ajaran sosialisme dan bahkan komunisme. Kemudian harus diakui pula keberadaan sejumlah besar warga nonmuslim yang ikut aktif berjuang sebelum dan selama revolusi fisik kemerdekaan dengan mempertaruhkan harta mereka yang termahal dan terbesar yaitu ‘nyawa’.
Berhubung kebijakan agama yang picik itu datang dari Departemen Agama, Daoed katakan kepada Presiden supaya Departemen Agama dibubarkan saja. Gelagatnya menunjukkan lama-lama akan menjadi Departemen dari hanya agama Islam, hanya untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi yang kontradiktif, memanfaatkan ketidaktahuan umat. Bila Departemen Agama ditutup, semua tugasnya bisa berjalan lebih lancar kalau dibagi habis di antara departemen-departemen yang sudah ada.
Peran Pejabat Katolik
Ada ungkapan bahwa ‘kesetiaan kepada golongan berakhir ketika kesetiaan kepada negara dimulai’. Kalau hal ini yang menjadi pegangan, bisa jadi pejabat yang beragama Katolik akan memilih mengabdi kepada negara lebih daripada kepada kepentingan agamanya sendiri.
Dua contoh yang disampaikan oleh Daoed dalam bukunya itu adalah perkara negara yaitu pendidikan dasar dan faham kebangsaan. Dalam masa kepemimpinan Orde Baru, tidak mudah untuk berpendapat berbeda terhadap selera sang penguasa. Orang Katolik termasuk yang menjadi pejabat, mungkin lebih cerdas melakukan pembelaan terhadap aspirasi agama Katolik dengan cara-cara yang unik. Secara diam-diam tanpa diketahui orang banyak, tidak secara berhadapan langsung, atau mengganti kegiatan semula dengan yang lain.
Ada juga pilihan menjadi cahaya dan garam melalui kerasulan dalam bidang pendidikan, layanan kesehatan, media, dll. Semua pilihan semacam ini tetap dapat melahirkan orang-orang Indonesia yang jujur, profesional, bertanggung jawab, bekerja tuntas, dll. dalam aneka bidang keahlian. Banyak pejabat negara yang telah dilahirkan dari persekolahan Katolik di seluruh Indonesia selama ini.
Tak usah berpuas diri dengan pejabat yang beragama Katolik, tetapi perhatikanlah pejabat yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Melalui pikiran, perkataan, kebijakan, dan perbuatannya, para pejabat yang telah memperjuangkan dan menaikkan harkat hidup orang banyak. Mereka tidak harus orang Katolik.
Umat Katolik tidak cukup menunjukkan euforia bila ada pejabat yang berasal dari lingkungannya (suku, daerah, keluarga, agama, ras, golongan, almamater, dll.). Tetapi juga terus mendoakannya agar setia pada perutusannya secara bertanggungjawab. Janganlah meninggalkan para pejabat itu ketika mereka berhadapan dengan hukum dan tidak lagi mengenali mereka. Bukankah mereka adalah wakil kita juga?
Cosmas Christanmas, Kontributor