SINISME “penumpang gratisan” dengan turunan “warganegara kelas dua” pernah coba dilekatkan pada hierarki Gereja Katolik dan umat Katolik Indonesia (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis kelompok Katolik). Agama Katolik dibawa oleh penjajah, karena itu komitmennya diragukan, tidak seratus persen menyatu dengan bangsa Indonesia. “Penumpang gratisan”, “warga negara kelas dua”. Stigma itu tidak populer. Tidak sesuai dengan kenyataan. Hilang dengan sendirinya. Dalam sejarah, tercatat di era penjajahan Belanda, Jepang dan Inggris, kelompok Katolik sama-sama dihambat dan disesah, senasib rakyat jajahan.
Kelompok Katolik bukan “pembonceng gratis” menurut istilah Andre Ata Udjan dalam Prolog buku bunga rampai Politik Katolik. Politik Kebaikan Bersama: 2008). Mungkin lebih tepat disebut bukan “penumpang gratisan”. Penumpang berbeda dengan pembonceng. Sama-sama berada dalam kapal induk negara bangsa Indonesia–NKRI, pembonceng itu tambahan atau susulan, nunut, sedangkan penumpang aktif terlibat sejak awal, menyatu dengan hati dan fisik sejak awal.
Penegasan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ di tahun 1948, “100% Katolik, 100% Indonesia”—yang di masa itu dianggap penyambung lidah umat Katolik Indonesia—mengafirmasi keterlibatan kelompok Katolik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan, sekaligus maklumat bahwa kelompok Katolik sebagai bagian utuh negara-bangsa Indonesia. Di kemudian hari menjadi pedoman bagi keterlibatan umat Katolik berjuang lewat bidang politik.
Dalam perjuangan fisik dan nonfisik di masa sebelum dan sesudah proklamasi, kelompok Katolik melebur diri dalam perjuangan jatuh bangun pemerintah dan bangsa Indonesia membangun konsolidasi di berbagai daerah. Tidak berhenti di era itu, keterlibatannya dalam berbagai wilayah perjuangan negara-bangsa Indonesia terus berlangsung sampai sekarang.
Di bidang kemiliteran, pengangkatan sejumlah nama pahlawan nasional seperti Agutinus Adisutjipto, Ignatius Slamet Riyadi, Yosafat Sudarso, sementara di luar militer Mgr. Albertus Sugiyapranata SJ dan I.J. Kasimo, membuktikan pengakuan dharma bakti kelompok Katolik bagi bangsa dan NKRI. Di bidang perjuangan mengembangkan karya sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, teringat spontan sejumlah nama seperti Romo Frans Van Lith SJ, Romo Y.B. Mangunwijaya, Pater Lugano, Pater Charles Burrows OMI, Frans Seda, P.C. Palaunsuka; belum lagi sejumlah tokoh beragam profesi yang menonjol dan profetis di bidangnya.
Di luar nama-nama itu, sejumlah tokoh Katolik dari berbagai belahan bumi Nusantara– lewat berbagai bidang—ikut berjuang mempertahankan Indonesia yang merdeka, dikenal maupun tidak dikenal, dulu dan sekarang terus berlangsung. Kelompok Katolik dari sisi jumlah minoritas, tetapi dari sisi kualitas sumbangannya besar, sudah terjadi jauh sebelum Gereja Katolik di Indonesia ditetapkan sebagai hierarki Gereja Katolik Indonesia yang mandiri tanggal 3 Januari 1961.
Sakramen Politik
Istilah sakramen politik yang diperkenalkan oleh Eddy Kristiyanto, OFM dalam bukunya Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria, 2008 berbeda dengan konsep tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan versi Peter L. Berger. Dengan istilah sacramental consumption, Berger menempatkannya dalam konteks sosiologis, sementara Eddy mengangkatnya dalam konteks teologis. Bahwa kerasulan di bidang politik merupakan sakramen politik agama-agama. Politik mendapat tempat terhormat, sebagai sakramen, eksistensinya bermakna sebagai tanda dan sarana yang mengantar pembebasan dan penyelamatan manusia dari semua hal yang menistakannya (J.Kristiadi dalam Postscipt buku Sakramen Politik: 2020).
Dalam konteks iman Katolik, didasarkan atas konstitusi dan magisterium para Bapa Gereja, itu berarti mensucikan praksis politik, atau menghadirkan karya keselamatan lewat rahmat yang tidak kelihatan. Spiritualitas perjuangan di bidang politik adalah option for the poor dan bonum commune yang ditegaskan dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Sosialis dan beberapa ajaran para Bapa Suci sebagai Ajaran Sosial Gereja, narasi dan pesan keberpihakan sebagai prinsip utama.
Nilai-nilai kemanusiaan menjadi roh perjuangan Katolik. Spiritualitas politik menggambarkan bagaimana penghayatan kehidupan rohani menampakkan relasinya dengan dunia sosial politik (Dr. Paulinus Yan Olla MSF: Spiritualitas Politik. Kesucian Politik dalam Perspektif Kristiani: 2014). Menurut Mgr. Albertus Soegijapranata, umat Katolik memiliki peran ganda, yakni bertanggung jawab terhadap kehidupan Gereja dan terhadap tanah air. Pandangan mendasar ini lantas terumus dalam pernyataan yang nyaris jadi klasik, orang Katolik harus menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia .
Prinsip itu menggerakkan cara berpolitik kelompok Katolik dengan bekerja sama dengan pemerintah atau kelompok lain, melakukan kritik dari dalam, mengingat kedudukannya sebagai golongan minoritas. Salah satu contoh, di tahun 1958 dalam Kongres Partai Katolik di Surakarta, ketika Kasimo dicecar oleh sesama anggota partai, dia tunjukkan politik beginsel (politik berdasarkan prinsip), sebagai prinsip politiknya yang khas (Mikhael Dua: 2020). Berjuang bersama golongan lain berdasar kesederhanaan, kejujuran dan ketekunan. Sebaliknya di saat lain, dengan prinsip politik beginsel, pada tahun 1957 Kasimo sebagai Ketua DPP Partai Katolik menolak Konsepsi Presiden yang berniat membentuk “kabinet kaki empat”, terdiri dari Masyumi, NU, PNI dan PKI. Bersama Masyumi, Partai Katolik tegas menolak konsepsi tersebut, sementara partai-partai besar lainnya “pikir-pikir”.
Dengan politik beginsel, sikap keberpihakan dan bekerja sama dengan yang lain ( Hannah Arrendt: kerja sama), mensucikan kegiatan politik sebagai sakramen politik (Eddy Kristianto) atau pemikiran spiritualitas politik (Yan Olla), memperluas nilai aktualitas di sini dan saat ini. Narasi Sakramen Politik menginspirasi praksis perpolitikan yang telanjur dikesankan sebagai perebutan kekuasaan. Dan di saat inilah, ketika tesis tentang kekuasaan itu cenderung korup (Lord Acton) atau pada abad ke-16 dalil demi kekuasaan bisa dilakukan segala cara (Niccolo Machiavelli), pertanyaan muncul: mampukah kelompok Katolik bermain sebagai bukan “penumpang gratis” dalam praksis berbangsa dan bernegara NKRI?
Ketika kegiatan politik menjadi ajang transaksional, kelompok Katolik tidak bisa hanya bernostalgia sudah tampil sebagai salah satu aktor yang terlibat dan melibat, tetapi juga memberikan teladan dan menginspirasi untuk mengembalikan prinsip luhur berpolitik sebagai urusan bersama. Atau sebaliknya, bersikap apolitis karena perpolitikan sudah bubrah–ambyar? Bukankah dalam kondisi perpolitikan dikesankan “kotor” dan sempit untuk kepentingan politik atau perpolitikan identitas, inilah saatnya mengembalikan perpolitikan sebagai sarana keberpihakan dan kebersamaan demi kebaikan bersama dan bagi kelompok miskin dan terpinggir?
Memberi teladan bagi yang sedang menjadi bagian dari lingkaran pertama kekuasaan, berseru-seru tidak jemu-jemunya menginspirasi nilai-nilai keluhuran berpolitik (sakramen politik dan spiritualitas politik), bagi yang ada di luar lingkaran kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif), berusaha menutup munculnya kembali sinisme basi kelompok Katolik sebagai penumpang (apalagi pendompeng) gratisan. Saatnya yang tepat menunjukkan bahwa perpolitikan, juga berbagai bidang pelayanan lain, adalah sarana meningkatkan penghormatan martabat manusia, kebaikan bersama dan keberpihakan pada yang miskin dan terpinggirkan.
St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior