Presiden Biden dan Dilema Umat Katolik Amerika

1728
Pastor Benny Obon, SVD, Tinggal di Hollywood, Los Angeles, California, Amerika Serikat

HIDUPKATOLIK.COM – TANGGAL 20 Januari kemarin, Presiden Terpilih Amerika Serikat, Joseph R. Biden, Jr., resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat. Pelantikan Biden menandai berakhirnya proses pemilu Amerika Serikat yang ‘melelahkan’. Pemilu 2020 kemarin adalah pemilu paling ‘panas’ dalam sejarah demokrasi Amerika. Biden menjadi presiden Amerika yang ke-46 sekaligus presiden dari kalangan Katolik yang kedua setelah J.F. Kennedy. Pelantikan Biden tidak hanya membawa angin segar bagi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, tetapi juga membawa tanda tanya yang besar bagi umat Katolik Amerika terutama soal kebijakannya yang bertentangan dengan ajaran Gereja.

Seperti warga negara Amerika umumnya, umat Katolik Amerika mempunyai pilihan politik yang berbeda. Umat Katolik Amerika bahkan mempunyai daya tawar politik yang cukup tinggi. Karena itu, para politisi pun telah sering mengincar suara pemilih Katolik dalam pemilu. Orang Katolik Amerika juga mempunyai preferensi politik yang tajam. Preferensi pemilih Katolik juga tidak jarang menjadi batu sandungan bagi para calon presiden.

Ketika Clinton masih menjabat sebagai presiden Amerika, dia pernah menginisiasi suatu penelitian rahasia soal pengaruh iman Katolik bagi pilihan politik umat Katolik di Amerika Serikat. Clinton ingin mencari tahu reaksi orang Katolik soal kontrasepsi. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa mayoritas orang Katolik Amerika menerima kontrasepsi. Penelitian tersebut bertujuan untuk mencaritahu seberapa besar stumbling block pemilih Katolik bagi Clinton. Clinton kemudian menyimpulkan bahwa umat Katolik sangat kompromatif dan tidak solid, serta tidak menjadi batu sandungan yang besar bagi dia.

Saat ini, umat Katolik Amerika terbelah antara dua partai besar dan terpolarisasi secara tajam, seperti masyarakat AS umumnya. Walaupun kedua partai politik (Republik dan Demokrat) mempunyai kebijakan politik yang bertolak belakang satu sama lain, atau mempunyai kebijakan yang bertentangan dengan ajaran Gereja, umat Katolik toh tetap terbelah. Pew Research Center (2019) melaporkan bahwa persentase umat Katolik yang memilih Partai Demokrat (47%) hampir sama dengan yang memilih Partai Republik (46%). Pada pemilu DPR tahun 2018 yang lalu misalnya, jumlah umat Katolik yang memilih Partai Demokrat sebesar 50% dan Partai Republik 49%. Hal ini menunjukkan bahwa agama atau ajaran gereja tidak sepenuhnya memberi pengaruh yang signifikan bagi pilihan politik umat Katolik Amerika.

Pemilu 2020 membuat polarisasi yang sangat tajam bagi umat Katolik di Amerika. Tidak saja di kalangan awam Katolik, tetapi juga di kalangan hierarki Gereja Katolik. Beberapa uskup dengan terangan-terangan mendukung Trump dan mencela Biden, sementara yang lainya mendukung Biden dan mencela Trump. Bahkan beberapa imam misalnya, Pastor James Martin terang-terangan mendukung calon presiden Biden dan menghadiri konvensi Partai Demokrat. Uskup Tyler, Texas, Mgr. Joseph Strickland dan seorang imam, Pastor Altman, mengritik tajam tindakan Pastor James Martin dan menyebutnya sebagai hopokrisi, menyebarkan bidaah dan membingungkan umat. Pastor Altman mengatakan, “Platform Partai Demokrat benar-benar bertentangan dengan semua ajaran Gereja Katolik, jadi berhentilah berpura-pura bahwa anda Katolik dan memilih Demokrat. Anda tidak bisa menjadi Katolik dan menjadi seorang Demokrat.”

Seorang pastor paroki di Massachusetts, Msgr. Paul Garrity juga dengan lantang mendukung Biden. Dia menulis, “Saya pro-life dan saya yakin bahwa setiap wanita yang mengandung mempunyai kebebasan untuk memilih hidup. Inilah salah satu dari sekian alasan mengapa saya akan memilih Joe Biden pada pemilu November nanti. Saya percaya bahwa umat Katolik dan orang lain yang percaya seperti yang saya yakini harus memilih Joe Biden untuk menjadi presiden Amerika berikutnya.”

Beberapa hari kemudia, Kardinal Seán P. O’Malley mengeluarkan pernyataan mengutuk tindakan pastor tersebut. Kardinal O’Malley menulis, “Umat Katolik berhak mengharapkan para imam di Keuskupan Agung dan mereka yang dipercaya untuk meneruskan iman untuk menjadi jelas dan tegas tentang ajaran Gereja soal penghormatan dan perlindungan atas kehidupan dari saat pertama pembuahan hingga kematian alamiah. Ini adalah ajaran Gereja yang mendasar.”

Tindakan Pastor James Martin, Msgr. Paul Garrity, dll., sebenarnya sejalan dengan ‘harapan’ Konferensi Waligereja Amerika atau Gereja Katolik Amerika. Uskup Agung Los Angeles, Mgr. Jose Gomez selaku ketua Konferensi Waligereaj Amerika menyambut baik dan memberikan ucapan selamat atas pencalonan Biden. Mgr. Gomez mengatakan bahwa saatnya untuk bersatu dan Biden dinilai sebagai sosok yang tepat untuk membawa persatuan di Amerika. Seruan Gereja Katolik Amerika (kebetulan) sejalan dengan seruan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti yang dikeluarkan 3 Oktober 2020 atau tepat sebulan sebelum pemilu Amerika (3 November 2020).

Mgr. Gomez menulis, “Sebagai umat Katolik dan orang Amerika, prioritas dan misi kita sangat jelas. Kita semua mengikuti Yesus Kristus untuk memberikan kesaksian tentang kasih-Nya dalam hidup kita, dan untuk membangun Kerajaan-Nya di bumi. Saya percaya bahwa saat ini dalam sejarah Amerika, umat Katolik memiliki tugas khusus untuk menjadi pembawa damai, untuk mempromosikan persaudaraan dan rasa saling percaya, dan berdoa untuk semangat baru patriotisme sejati di negara kita.

Kita menyadari bahwa Joseph R. Biden, Jr., telah menerima cukup suara untuk dipilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-46. Kita mengucapkan selamat kepada Biden dan mengakui bahwa dia bergabung dengan mendiang Presiden John F. Kennedy sebagai Presiden Amerika Serikat kedua yang menganut iman Katolik.”

Menariknya, Konferensi Waligereja Amerika tidak mempermasalahkan platform politik Biden yang terang-terangan bertentangan dengan ajaran mendasar Gereja Katolik, terutama soal aborsi. Gereja Katolik Amerika juga tidak mendorong Biden untuk mempromosikan kebebasan beragama, yang mana beberapa beberapa minggu sebelum pencalonannya, beberapa Gereja di Amerika dibakar dan patung-patung religius dihancurkan. Sebaliknya, Gereja Katolik Amerika hanya mendorong Biden untuk menggerakkan persaudaraan dan persatuan.

Beberapa hari setelah pemilu, Gereja Katolik Amerika memberikan ucapan selamat kepada Biden-Harris atas kemenanganya dan sekali lagi (bangga) menyebutnya sebagai presiden beragama Katolik kedua setelah J.F. Kennedy. Namun, sekali lagi tidak mengungkapkan harapan Gereja Katolik Amerika terhadap mereka.

Sikap Gereja Katolik Amerika yang mendukung Biden di satu sisi turut membantu kelompok umat yang mendukung partai Demokrat untuk memantapkan pilihannya. Sikap Gereja juga secara langsung membantu para pemilih Katolik yang masih ‘abu-abu’ soal pilihan politiknya untuk memilih Biden. Kelompok umat pemilih Biden-Harris atau yang setia mendengarkan suara gereja adalah pemilih Katolik kelas menengah ke bawah.

Edison Research Center melaporkan (2020) bahwa dalam pemilu 2020, Biden mendapatkan 52% suara dari pemilih Katolik, sementara Trump mendapatkan 47%. Sementara Pew Research Center (2016) melaporkan bahwa pada pemilu tahun 2016, Clinton mendapatkan 45% suara Katolik, sedangkan Trump mendapatkan 52% suara dari pemilih katolik. Jadi, ada perubahan pilihan dari pemilih Katolik antara pemilu 2016 dan 2020, dan ini bisa jadi disebabkan oleh faktor agama calon presiden (Biden) yang sepenuhnya didukung oleh Gereja Katolik.

Sementara di sisi lain, posisi Gereja tersebut menodai iman umat. Mereka dikenal sebagai devouted Catholics. Mereka merasa terhina dan dipinggirkan oleh sikap Gereja yang mendukung Biden. Mereka pun mempertanyakan sikap Gereja yang secara terbuka mendukung Presiden Biden. Agama Katolik yang dianut Biden dan platform politiknya yang bertentangan dengan ajaran gereja adalah suatu kekejian bagi yang menentang Biden.

Menarik untuk dilihat bahwa umat Katolik yang menolak atau menentang Biden berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka tidak hanya dikenal sebagai White Catholics, tetapi juga adalah kalangan berpendidikan yang antara lain adalah para profesors (awam) di seminari-seminari tinggi atau universitas-universitas, para pegiat sosial, pebisnis, dan mereka yang baru saja pindah dari Protestan ke Katolik (umumnya mantan pendeta). Pemilih Katolik dari kelompok ini dikenal sangat sangat militan. Mereka tidak segan menantang sikap Gereja Katolik Amerika yang mendukung Biden. Mereka juga tidak segan menentang dan menantang para imam dan uskup yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Sampai saat ini, sikap Gereka Katolik Amerika belum berubah terhadap Presiden Biden. Walaupun ada beberapa uskup yang berani dan terang-terangan menentang kebijakan politik Presiden Biden, namun suara mereka tidaklah mewakili Gereja Katolik Amerika. Suara mereka hanyalah mewakili pribadi mereka sendiri. Walaupun demikian, suara kenabian mereka yang bertentangan dengan sikap Gereka Katolik Amerika sangat dihargai dan dinantikan oleh umat Katolik Amerika.

Mendapatkan tekanan dan kritik yang terus menerus dari Devouted Catholics (atau mungkin juga bertobat), para uskup yang mendukung Biden akhirnya luluh. Karena itu, Konferensi Waligereja Amerika memutuskan untuk mengutuk kebijakan politik Presiden Biden yang mempromosikan aborsi. Surat pernyataan tersebut sudah dikirimkan ke beberapa keuskupan sebelum direlease secara resmi oleh presiden Konferensi Waligereja Amerika. Pernyataan sikap Gereja Katolik Amerika tersebut sedianya diadakan pada jam 9 pagi waktu Amerika Pacific, namun secara mendadak dibatalkan oleh Vatikan.

Vatikan membatalkan press release tersebut tanpa memberikan penjelasan. Walaupun demikian, beberapa keuskupan sudah memposting isi pernyataan sikap tersebut di websitenya. Mendengar bahwa pernyataan sikap tersebut dibatalkan oleh Vatikan, beberapa keuskupan langsung menghapus postingan surat pernyataan tersebut dari websitenya. Namun, surat pernyataan tersebut sudah tersebar luas di masyarakat.

Inilah dilema umat Katolik Amerika. Dilema ini diperuncing oleh sikap Gereja yang mendukung kebijakan Politik Presiden Biden yang terang-terangan bertentangan dengan ajaran Gereja. Kita berharap, persoalan ini tidak akan mengendurkan iman umat. Kita juga berharap agar Gereja Katolik Amerika tetap menjadi garam dan terang bagi Presiden Biden sehingga dia bisa memimpin dengan baik.*

Pastor Benny Obon, SVD, Tinggal di Hollywood, Los Angeles, California, Amerika Serikat

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini