Tak Ada Kue Jahe di Atas Meja

171

HIDUPKATOLIK.COM – MAS Yosa berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang. Ia  mengulurkan sebuah tas kertas berukuran besar dengan tulisan nama toko kue miliknya.

“Aku bawa kue-kue buatanku. Ada kue jahe juga.”

“Oh kue…ja..he..?” tanyaku gugup. Duh! Aku ingat belum pernah memberi tahu kekasihku ini  tentang hal yang menjadi pantangan di rumah ini.

“Iya. Kamu pernah bilang kan kalau kamu suka kue jahe?” tanyanya masih dengan senyum yang sama.

“Iya memang. Tapi anuu… aduuhh… maksudku ibu tuh nggak suka…”

“Oh ibumu nggak suka kue jahe? Ya nggak apa-apa. Aku juga bawa kue-kue lainnya kok. Nih ambil,” potong Mas Yosa tanpa menunggu aku menyelesaikan kalimatku. Ia masih   menyorongkan tas  kertas itu. Dengan ragu aku menerimanya. Satu stoples kue jahe berukuran besar tampak menyembul di tumpukan paling atas. Sesaat aku measih termangu melihat stoples kue jahe itu.

“Aku nggak kamu persilakan masuk?” tanya Mas Yosa mengingatkanku bahwa ia masih berdiri di depan pintu.

“Eh iya Mas.Yuk masuk,” ucapku masih gugup dan bingung. Duh, ini pasti gara-gara kue jahe yang dibawa Mas Yosa!

“Ada siapa Mala?” Tiba-tiba suara ibu terdengar dari dalam ruangan sesaat setelah Mas Yosa duduk  di ruang tamu.

“Ada tamu, Bu. Mas Yosa,” kataku sambil buru-buru merapatkan bagian atas tas kertas yang kuletakkan di atas meja. Stoples kue jahe itu masih terlihat sedikit dari celah tas  yang terbuka.  Terdengar langkah kaki ibu menuju ruang tamu. Duh bagaimana ini?

***

Sudah lama ibu tidak membuat kue jahe. Jangankan membuat, melihatnya pun ibu sudah tidak mau. Padahal ibu seorang pembuat kue jahe terkenal di kota. Sejak ibu berhenti membuat kue jahe, banyak pelanggannya yang kecewa. Namun ibu tidak pernah menjelaskan alasannya. Ibu  bahkan tidak lagi memajang kue jahe di atas meja. Saat aku menanyakan hal ini,  ibu hanya diam lalu menangis. Akhirnya aku tak ingin menanyakannya lagi karena tak ingin melihat ibu bersedih.

Aku hanya bisa menduga-duga barangkali semua ini ada kaitannya dengan peristiwa enam tahun lalu. Waktu itu beberapa hari menjelang Natal, ibu menerima pesanan kue jahe dari seorang pelanggan. Setelah kue siap, ibu meminta ayah untuk mengantarkan kue jahe itu ke alamat  pemesan. Kala  itu sebenarnya ayah sedang kurang sehat. Namun ibu memaksanya. Akhirnya ayah berangkat mengantarkan kue jahe itu. Namun di tengah perjalanan pulang, ayah dibegal orang. Beberapa luka tusukan di perutnya membuat ayah tak bisa bertahan. Aku masih ingat betapa histerisnya ibu waktu itu. Beberapa waktu setelah ayah dimakamkan, ibu membuang semua cetakan kue keringnya dan  berhenti membuat kue jahe. Ibu tak henti menyalahkan dirinya sendiri atas musibah yang dialami ayah.  Barangkali memang kue jahe selalu mengingatkan ibu pada peristiwa itu. Lama setelah  itu kami tidak pernah membicarakan kue jahe lagi. Setiap Natal tak ada kue jahe di atas meja. Ibu benar-benar membenci kue jahe.

***

“Ada tamu?” kata ibu dengan senyum ramah. Mas Yosa langsung berdiri dan mengulurkan tangannya menyambut ibu.

“Saya Yosa Bu.” Mas Yosa memperkenalkan dirinya. Lalu entah kenapa wajah lelaki itu  berubah  tegang. Ia tampak begitu intens menatap wajah ibu.

“Oh ini toh yang namanya Yosa. Mala sudah banyak cerita tentang kamu. Duduk Nak.” Ibu lalu mempersilakan Mas Yosa duduk kembali. Namun kulihat Mas Yosa masih berdiri dengan pandangannya yang tak lepas ke arah ibu.

“Mas, duduklah!” bisikku berusaha membuyarkan keterpanaannya pada ibu. Aku masih bertanya-tanya dalam hati apa yang membuatnya bersikap seperti itu.

“Oh oke…” sahut Mas Yosa seperti tersadar kembali. Ia  lalu duduk di depan ibu. Sedikit kikuk.

“Ibu, maaf apakah ibu masih ingat saya?” Mas Yosa membuka percakapan dengan suara hati-hati. Ibu mengerenyitkan alisnya lalu menggelengkan kepalanya.

“Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?” tanya ibu. Aku hanya diam sambil memandang  wajah ibu dan Mas Yosa berganti-ganti. Mas Yosa lalu memperbaiki posisi duduknya.

“Saya tidak mungkin salah. Apakah ibu masih ingat peristiwa sekitar lima belas tahun lalu? Waktu itu  ada seorang pengamen kecil  berdiri di depan toko kue di  pasar. Lalu ada seorang ibu mendatanginya. Ibu itu  membawa satu kantong plastik berisi kue-bue buatannya. Katanya ia akan menitipkan kue-kue  itu ke toko kue. Namun saat melihat pengamen kecil itu menggigil dan kelaparan,  ibu itu  membuka satu stoples kue dan membiarkan  pengamen kecil  itu memakannya. Kue itu beraroma jahe yang sangat nikmat. Karena lapar, pengamen kecil  itu menghabiskan separuh isi stoples. Namun ibu yang baik hati itu tidak marah meskipun kue yang akan dijualnya berkurang satu stoples. Bahkan ia mempersilakan pengamen kecil itu  untuk membawa sisanya.” Suara Mas Yosa terdengar bergetar.

“Ak…aku ingat. Iya… itu sudah sangat lama. Bagaimana kamu tahu kejadian itu?” tanya ibu dengan napas sedikit tertahan. Mas Yosa memajukan tubuhnya ke arah ibu.

“Tahukah ibu? Sejak itu, pengamen kecil  itu berjanji kelak akan membuat kue selezat itu. Ibu… pengamen yang kelaparan  itu kini duduk di depanmu.” Mas Yosa bangkit dari duduknya lalu meraih tangan ibu dan menciumnya dengan hormat. Ibu hanya menatap Mas Yosa dengan pandangan berkaca-kaca.

“Sungguhkah? Itu…kamu?”

“Betul Bu. Saya pengamen kecil itu. Saya berasal dari keluarga sederhana. Mengamen adalah cara saya untuk membantu orang tua saya waktu itu. Ibu sudah menjadi seseorang yang menginspirasi saya. Kini saya memiliki usaha toko kue kecil di sudut kota. Kalau ibu tidak membagikan  kue jahe itu, saya tidak akan seperti sekarang.” Mas Yosa menambahkan. Mendengar itu aku menjadi terharu. Aku tahu bagaimana Mas Yosa memulai usaha toko kuenya. Kekasihku itu banyak bercerita  tentang perjuangannya itu. Namun baru kali ini aku tahu ada kisah kecil yang menjadi penyemangat perjuangannya. Dan kisah itu melibatkan ibu.

Kulihat ibu menundukkan wajahnya sambil berkali-kali membesut air matanya. Ibu menangis lagi. Pasti itu karena Mas Yosa menyebut kue jahe!

“Sampai kini, kue jahe menjadi favorit  di toko kue saya. Kue itu selalu habis terjual beberapa hari menjelang Natal.” Mas Yosa masih melanjutkan.

Aku mulai gelisah saat Mas Yosa tak berhenti   menyebut kue jahe. Bagaimana pun aku tidak ingin ibu bersedih lagi karena teringat kepergian ayah. Kegelisahanku bertambah saat  Mas Yosa mengeluarkan stoples kue jahe dari dalam tas kertas di atas meja. Diulurkannya  stoples itu pada ibu. Napasku tertahan saat  melihat kue jahe itu telah terulur ke depan ibu.

“Eh anu Mas. Lebih baik kamu simpan dulu kue jahenya.” Aku tergeragap sambil berusaha meraih stoples kue dari tangan Mas Yosa.

“Ke…kenapa La?” tanya Mas Yosa tak mengerti. Apalagi saat dilihatnya ibu masih diam memejamkan matanya sementara kedua pipinya membasah oleh air mata.

“Tuh… Mas udah bikin ibu sedih. Sudah masukin lagi kue jahenya,” sergahku. Meskipun terlihat bingung, Mas  Yosa pun memasukkan kembali stoples kue jahe itu ke dalam tas kertas itu.

“Ibu maafkan Mas Yosa. Aku belum memberitahu dia kalau ibu  tidak suka kue jahe.” Aku mengelus punggung ibu berusaha menenangkannya. Mas Yosa masih terlihat bingung.

“Ada apa Mala?” bisiknya. Aku menggelengkan kepalaku memintanya untuk tidak bertanya-tanya dulu. Sesaat ibu masih terisak-isak. Aku masih berusaha menenangkannya dengan mengelus-elus punggungnya.

“Ibu, maafkan saya  kalau  membuat ibu sedih. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan ibu waktu itu. Tak terkatakan rasa bahagia saya  bisa bertemu ibu lagi dan mengetahui bahwa  ibu adalah perempuan yang melahirkan gadis yang saya cintai,” ucap Mas Yosa lagi. Tak lama ibu lalu  tersenyum sambil  membesut air matanya lagi.

“Tak apa, Nak. Aku yang berterima kasih. Kamu membuatku sadar bahwa ternyata ingatan tentang kue jahe tidak selalu buruk. Aku lega karena kue jaheku pernah memberi manfaat bagi orang lain.” Suara ibu terdengar serak. Lalu ibu menoleh padaku.  “Tak usah merasa bersalah Mala. Ibu baik-baik saja,” ujar ibu lembut.

“Ibu beneran nggak apa-apa?” tanyaku masih khawatir. Ibu mengangguk lalu perlahan bangkit dari duduknya.

“Temani Nak Yosa dulu. Ibu ke belakang ya,” katanya lalu  beranjak meninggalkan kami.  Namun setelah beberapa langkah ibu kembali membalikkan tubuhnya.

“Oh ya Mala, kue jahenya bisa di pajang di atas meja,” kata ibu kemudian membuatku makin terharu.  Saat kutolehkan kepalaku ke  Mas Yosa lagi aku menangkap pandangannya yang  menuntut penjelasanku atas sikap ibu.

“Nanti aku cerita padamu. Kali ini sudah ada  bagian yang membahagiakan. Natal ini sudah ada kue jahe di atas meja.”

Oleh Tantrini Andang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini