HIDUPKATOLIK.COM – DOA Bapa Kami adalah doa terindah yang diwariskan Yesus kepada para pengikutnya sampai zaman ini. Rumusan asli dalam bahasa Yunani dapat ditemukan dalam teks Injil Matius 6:9-13 (atau versi lainnya dalam Injil Lukas 11:2-4). Namun, persoalan muncul ketika doa Bapa kami dalam terjemahan versi Katolik dibandingkan dengan versi Protestan. Sekurang-kurangnya, ada dua terjemahan yang berbeda. Pertama, versi Katolik berbunyi “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu”, sementara dalam versi Protestan, “Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu.” Kedua, versi Katolik berbunyi, “Berilah kami rejeki pada hari ini”, sementara versi Protestan, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Doa Bapa Kami versi Protestan jelas mengikuti rumusan dalam Alkitab Indonesia Terjemahan Baru (ITB).
Lantas, doa Bapa Kami versi Katolik mengikuti terjemahan yang mana? Jika membandingkan dengan terjemahan doa Bapa Kami Katolik dalam terjemahan bahasa Jawa, ada sedikit kemiripan arti. Rumusan “Asma Dalem kaluhurna” (bahasa Jawa) sangat dekat “Dimuliakanlah Nama-Mu”. Kata luhur bersinonim dengan kata mulia. Sementara itu, rumusan “kawula nyuwun rejeki kangge sapunika” sangat dekat dengan “berilah kami rejeki pada hari ini.” Sulit untuk mendeteksi, apakah terjemahan versi bahasa Jawa ini memengaruhi terjemahan versi bahasa Indonesia atau sebaliknya. Persoalan ini dapat ditanyakan pada ahli sejarah liturgi.
Hanya Sebuah Pengandaian
Tulisan ini hendak mendeteksi apakah terjemahan ‘dimuliakanlah’ ini sudah tepat? Persoalan ini sebenarnya sudah lama menjadi bahan diskusi hangat di kalangan umat Katolik. Tidak ada maksud di sini untuk menggugat rumusan yang telah mentradisi berpuluh-puluh tahun dalam Gereja Katolik. Ini hanya sebuah pengandaian: Jika kata “dikuduskanlah” yang dipakai, apa implikasi teologisnya?
Kita mulai dengan rumusan asli dari doa Bapa Kami. Dalam bahasa Yunani baik dalam Matius 6:9 maupun Lukas 11:2 dikatakan: hagiasteto to onoma sou. Dalam bahasa Latin, mengikuti versi Vulgata: sanctificetur nomen tuum. Jika keduanya diterjemahkan secara harfiah, maka berbunyi: “dikuduskanlah nama-Mu”. Seandainya terjemahannya “dimuliakanlah namamu” direkonstruksi menurut teks aslinya, maka rumusan akan berbunyi doxastheto to onoma sou (dalam bahasa Yunani) atau glorificentur nomen tuum (dalam Latin). Tapi, ini tidak muncul dalam Alkitab. Dalam liturgi, rumusannya mengikuti versi Vulgata “santificentur nomen tuum”. Menimbang arti etimologis ini, ‘dikuduskanlah’ lebih memiliki cocok daripada ‘dimuliakanlah.’
Pertama-tama perlu dipahami, doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus tidak dapat dipisahkan dengan sejumlah pandangan teologis masyarakat Yahudi pada zamannya. Dengan kata lain, meskipun doa Bapa Kami adalah doanya orang Kristiani, tetapi studi tentang doa Bapa Kami tidak boleh dilepaskan dari konteks Yahudi. Dalam perspektif Alkitabiah, kata “kudus” (Ibrani: qodes) berarti “terpisah, dikhususkan, unik, dan berbeda dari sekelilingnya.” Yang “kudus” selalu dipertentangkan dengan “yang tidak kudus/duniawi” (Ibrani: hol). Jadi, kudus di sini tidak pertama-tama menunjuk pada situasi bebas dari dosa dan kejahatan. Itu hanyalah makna sekunder.
Selain itu, dalam tradisi Israel kuno, “kudus” selalu mengandung muatan ‘ilahi’. Semua yang berkaitan dengan Allah harus dipisahkan (dikuduskan) dari segala sesuatu yang duniawi. Misalnya, Tabut Perjanjian, Kemah Suci, dan Bait Allah harus dikuduskan (dipisahkan). Sebab, di situlah diyakini bahwa kehadiran Allah sangat nyata dan terasa. Allah itu misteri dan tersembunyi. Hanya manifestasi-Nya saja yang bisa disadari oleh manusia. Bandingkan dengan manifestasi kehadiran Allah, seperti api, awan, angin, suara, dsb (bdk. Kel 19:16-17). Di antara semua manifestasi itu, Nama (Allah) adalah manifestasi paling penting dan dekat dengan Yang Ilahi.
Dalam tradisi Timur Dekat Kuno, termasuk Israel, nama adalah sesuatu yang sakral. Nama merupakan bagian tak terpisahkan dari mereka yang menyandang nama itu. Jadi, Nama Allah adalah yang paling dekat dengan Allah sendiri. Bahkan, cukup identik. Sebab, itu menampilkan Diri Allah sendiri. Nah, karena Allah itu kudus, maka nama-Nya juga kudus. Orang Yahudi sekarang ini terkadang menyebut TUHANnya dengan sebutan HaShem, yang artinya ‘Sang Nama.’ Dalam Perjanjian Lama, Salomo sendiri tidak pernah menyebut Bait Allah sebagai rumah TUHAN, tetapi rumah nama TUHAN : “…seperti yang difirmankan TUHAN: aku telah mendirikan rumah ini untuk nama TUHAN, Allah Israel (1 Raj. 8:20). Nah, jika dalam doa Bapa Kami versi Alkitab, dikatakan “dikuduskanlah nama-Mu”, secara tidak langsung itu berarti “Dikuduskanlah Engkau” atau “Kuduslah Engkau” atau “Engkau sungguh kudus, unik, berbeda dari kami”.
Selain itu, dalam Alkitab banyak ditemukan frase “nama Allah” atau “nama-Mu”. Frase ini lebih sering dikaitkan dengan kata “kudus” daripada “mulia”. Ambil salah satu contoh dari nubuat Yehezkiel: “Bukan karena kamu Aku bertindak, hai kaum Israel, tetapi karena nama-Ku yang kudus yang kamu najiskan di tengah bangsa-bangsa di mana kamu datang. Aku akan menguduskan nama-Ku yang besar yang sudah dinajiskan di tengah bangsa-bangsa (Yeh 36:22-23). Allah sendirilah yang “menguduskan” (memisahkan sekaligus membedakan) nama Ilahi-Nya untuk memperlihatkan Diri-Nya mengatasi segala allah-allah dan kuasa lainnya.
Muatan Teologis Mendalam
Dari penjelasan singkat di atas, kata “dikuduskanlah” jelas memiliki muatan teologis yang mendalam. Dengan mengatakan “dikuduskanlah” kita sedang mengafirmasi bahwa TUHAN itu berbeda dengan kita. Dia lebih daripada ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Dia harus dihormati, diluhurkan dan dimuliakan. Dimuliakan adalah konsekuensi dari ‘dikuduskanlah” nama TUHAN itu.
Ketika sedang mengatakan “dikuduskanlah nama-Mu”, ini tidak berarti, kita sedang menambah sesuatu ke dalam kekudusan Allah. Seolah-olah Allah Pencipta sedang kekurangan sehingga perlu ditambahkan oleh manusia. Sebab, rumusan “dikuduskanlah nama-Mu” dapat dibahasakan lain: “semoga nama-Mu [atau Diri-Mu] tetap kudus” atau “Perlihatkanlah diri-Mu sebagai Allah yang kudus”. Ini mengungkapkan permohonan agar Allah menempatkan diri secara terpisah dari manusia dan ciptaan lainnya. Ini tidak berarti agar Dia menjauh dari kita. Sebaliknya, dengan menempatkan diri sebagai Pencipta yang berbeda dari ciptaan-Nya, Allah menjadi tempat layak bagi ciptaan untuk bergantung. Ungkapan kerendahhatian, bukan? Selain itu, dengan memperlihatkan Diri sebagai Allah yang kudus, Allah juga hadir sebagai sosok yang agung dan mulia. Kekudusan Allah (atau Allah yang kudus) adalah kebesaran dan kemuliaan Allah dalam segala aspek kesempurnaan-Nya.
Mungkin ada yang berkata, “Karena Allah dalam nama-Nya adalah kudus, maka orang wajib memuliakan-Nya, jadi tidak masalah jika orang berdoa ‘dimuliakanlah nama-Mu’ daripada ‘dikuduskanlah nama-Mu”. Memang tidak masalah jika mengingat tujuan setiap doa adalah Allah. Bukankah hening saja dapat dianggap berdoa? Masalahnya, doa itu bukan sekadar berbicara kepada Allah, tetapi juga mengenal Allah secara lebih dalam melalui doa itu. Doa Bapa kami adalah sarana mengenal Allah yang digambarkan dalam kata-kata di doa itu. Dengan mengatakan “dikuduskanlah nama-Mu”, kita mengenal keberbedaan Allah dari kita. Dia adalah Pencipta dan Pemelihara yang agung dan mahakuasa. Dari situ, kesadaran kita mengajak untuk tunduk, hormat, dan memuliakan-Nya. Lex Orandi Lex Credendi.