HIDUPKATOLIK.COM – SUARA ketukan di pintu membuatku terbangun. Kulirik jam di dinding. Sudah lewat jam sembilan malam. Hujan masih menyisakan derai tipis-tipis di luar. Oh, mungkin itu Johan. Tadi suamiku itu sempat menelepon akan pulang terlambat karena ada masalah di kantornya. Dengan gerakan perlahan aku bangkit dari ranjang agar tak membangunkan Adven, bayiku yang baru berumur lima hari.
“Iya sebentar Jo,” sahutku saat sampai di pintu depan. Namun aku terkesiap. Ternyata bukan Johan yang mengetuk pintu. Rasanya tak percaya melihat sosok yang berdiri dengan tubuh agak basah di depan pintu. Hampir saja aku lupa cara bernapas. Mulutku ternganga hingga beberapa saat.
“Ma…maaa?” Suaraku terdengar serak. Hatiku diliputi rasa haru. Benarkah ini Nyonya Nike Satyawan? Mama Johan? Keajaiban apa yang membuatnya bersedia datang kemari?
Kemudian peristiwa empat tahun lalu itu muncul lagi dalam ingatanku. Semua tergambar jelas, bagai sebuah film yang diputar ulang.
***
“Kamu tahu kan apa yang dilakukan kakekmu pada ayahku?” tanya Nyonya Nike Satyawan dengan wajah yang menyiratkan rasa tak suka. Aku menganggukkan kepalaku pelan. Tentu saja aku tahu tentang peristiwa itu dari cerita mendiang ibuku. Konon kakekku dan kakek Johan dulunya bersahabat. Namun suatu ketika mereka terlibat perkelahian yang membuat kakek Johan mengalami luka parah lalu meninggal di tangan kakekku. Meskipun kakekku sudah menjalani hukuman penjara, namun peristiwa tragis itu masih membekas di hati mama Johan.. Tidak terima dengan kematian ayah kandungnya, mama Johan memusuhi keluarga kami setelah itu.
Saat aku dan Johan saling jatuh cinta, kenyataan itu menjadi masalah besar bagi kami. Mama Johan sangat menentang hubungan kami. Aku tak mengerti mengapa kesalahan kakekku yang sudah ditebusnya juga dibebankan padaku.
“Itu sudah lama berlalu, Ma. Ratri tidak tahu apa-apa tentang masalah itu. Tidak semestinya mama menyalahkan Ratri atas apa yang dilakukan kakeknya,” Johan berusaha membelaku waktu itu. Namun mama Johan tetap tidak merestui hubungan kami.
“Aku tidak akan merestui kalian. Kalau kamu tetap mau menikahi Ratri, kamu bukan putraku lagi. Dan jangan harap perkawinan kalian akan bahagia tanpa restuku.” Begitu kata-kata yang keluar dari mulut mama Johan waktu itu. Hancur hati kami mendengar itu. Bagaimana mungkin kebencian itu menumbuhkan doa-doa buruk dari seorang ibu pada putranya? Namun begitu kuatnya cinta kami berdua, hingga Johan tetap menikahiku. Ia rela diabaikan oleh mamanya sendiri demi aku.
Akhirnya kami saling menerimakan Sakramen Perkawinan hanya disaksikan oleh Pakdhe Suryo, kakak kandung ibuku dan Mas Reno, kakak kandung Johan. Aku bersyukur masih ada mereka berdua yang memiliki pemikiran yang bijak hingga tak mempedulikan dendam yang ada di hati mama Johan.
Tahun-tahun pertama pernikahan kami sangat tidak mudah. Johan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan usaha percetakan kecil yang dirintisnya pun mengalami kebangkrutan. Kami hanya bertahan hidup dari penghasilanku sebagai guru les yang tak seberapa.
Tahun ketiga perkawinan kami, Johan benar-benar menganggur. Sementara aku sendiri makin tidak mampu memenuhi tagihan-tagihan bulanan. Kesulitan hidup membuatku setres hingga mengalami keguguran di awal kehamilan anak pertama kami. Waktu itu dunia seolah sedang menertawakan aku.
“Mungkin kita kualat pada mamamu, Jo. Hidup kita jadi terlunta-lunta seperti ini. Bahkan anak kita pun gagal tumbuh. Doa-doa buruk mamamu benar-benar terjadi, ” keluhku dengan nada putus asa. Namun Johan selalu menguatkanku.
“Jangan bilang begitu. Tidak ada doa buruk yang dikabulkan Tuhan. Kita masih punya doa-doa baik yang pasti akan terkabul pada waktu yang tepat,” katanya meyakinkanku.
Di tahun keempat perkawinan kami, Johan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang bagus. Kehidupan kami perlahan mulai membaik hingga akhirnya aku kembali hamil. Kali ini aku menjaga kandunganku dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin kehilangan buah hatiku lagi.
“Tuhan sudah mengabulkan doa kita, Ratri. Perkawinan kita ini suci. Jangan lagi mengingat doa-doa buruk yang pernah diucapkan mamaku. Tuhan lebih sayang pada kita yang tak henti berdoa dan berusaha,” kata Johan beberapa saat setelah bayi kami lahir.
***
“Ratri, aku tidak kamu persilakan masuk?” Suara mama mertuaku itu membuyarkan ingatanku.
“Oh iya, Ma. Silakan masuk. Maaf aku terlalu kaget.” Kubimbing tangan mama mertuaku yang terasa dingin itu memasuki rumah mungil kami. Lalu aku bergegas mengambil sebuah handuk bersih dan kuberikan pada mama. Sejak aku menjadi menantunya, mama mertuaku ini tak pernah menyapaku. Kini tiba-tiba ia mengunjungiku. Sungguh ini kejutan yang istimewa.
“Sebentar lagi Johan pulang, Ma” kataku. Mama hanya mengangguk. Matanya mengarah ke perutku.
“Aku dengar kamu habis melahirkan?”
“Iya Ma.”
“Mana cucuku? Aku mau lihat.”
“Oh ya Ma. Dia lagi tidur di kamar. Sini Ma.” Kubimbimg mama mertuaku itu ke kamarku untuk melihat bayiku yang masih tertidur lelap. Sampai di kamar, mama menatap cucunya dengan pandangan penuh kasih. Lega rasanya saat melihat wajah mama yang tak lagi diliputi kebencian. Mama terlihat tulus dan lebih tenang.
“Siapa namanya?’ tanya mama lembut.
“Namanya Adven, Ma. Ia lahir di masa Adven.”
“Nama yang bagus. Jangan lupa tambahkan nama keluarga Satyawan di belakangnya,” ujar mama. Aku membelalakkan mataku lalu tersenyum senang.
“Boleh Ma?”
“Tentu saja. Dia cucuku.”
“Oh terima kasih, Ma.” Aku terharu. Itu artinya mama mertuaku bersedia menerima bayiku sebagai bagian dari keluarga besar Satyawan. Tentunya ia juga telah menerimaku sebagai menantunya.
“Maafkan mama ya, Ratri,” ucapnya lagi sambil menatapku. Tanpa membalas kata-katanya, aku langsung memeluk mama mertuaku itu dengan penuh haru. Aku tak tahu berapa lama kami berpelukan sampai akhirnya aku ingat belum membuatkannya minuman.
“Ma, aku ke belakang dulu bikin teh ya,” ujarku. Mama mengangguk sambil tersenyum, senyum terindah yang pernah kulihat.
Aku membuat teh sambil bersenandung. Rasanya sangat bahagia melihat mama mau berkunjung melihat Adven. Seluruh kesedihan masa lalu pun terhapus. Apa lagi yang lebih membahagiakan selain diterima oleh mama mertua yang dulu membenciku?
Setelah teh siap, kudengar pintu depan dibuka.
“Ratri?” Terdengar suara Johan memanggilku.
“Ya, Jo. Aku di sini,” sahutku. Lalu terdengar suara langkah kaki agak bergegas menuju dapur.
“Kenapa pintu depan nggak dikunci?” tanyanya dengan nada khawatir. Aku hanya tersenyum.
“Oh aku lupa menguncinya, Jo. Ada tamu istimewa.” Aku lalu tersenyum. Johan mengerenyitkan alisnya.
“Tamu? Siapa malam-malam begini bertamu?” tanyanya. Aku lalu menunjuk ke kamar.
“Kamu pasti enggak percaya, Jo. Tadi mamamu datang. Sekarang sedang di kamar melihat Adven,” ujarku sambil tertawa kecil. Johan makin mengerutkan keningnya.
“Mama?”
“Iya.”
“Enggak mungkin, Tri. Aku baru mau cerita kalau tadi Mas Reno telepon aku. Katanya mama sedang kritis. Aku akan berangkat ke Bandung besok pagi. Kamu di rumah saja ya jagain Adven. Ia masih terlalu kecil untuk ikut perjalanan jauh,” katanya. Aku membelalakkan mataku heran.
“Kamu bercanda ya Jo? Sekarang mama ada di sini kok.”
“Enggak mungkin, Tri. Kata Mas Reno mama enggak bisa bangun. Mama sedang koma.” Johan lalu menunjukkan data waktu teleponnya bersama kakaknya di gawainya. Itu terjadi sekitar satu jam lalu. Aku mengerutkan keningku heran. Bukankah tadi mama…
Aku pun bergegas menuju ke kamar. Cangkir teh di tanganku masih kupegang erat-erat. Johan mengikuti langkahku di belakangku. Sampai di kamar hanya ada Adven yang menggeliat sendirian. Di mana mama?
“Mama…mama…” panggilku. Johan mendesah lalu menyentuh bahuku.
“Mungkin kamu bermimpi, Tri. Bukankah tadi kamu sempat tidur?”
“Aku enggak mimpi, Jo. Tadi beneran mama datang. Mama juga menanyakan nama bayi kita lalu meminta agar kita menambahkan nama keluarga Satyawan di belakangnya. Lalu mama juga…sempat minta maaf padaku.” Aku terisak dan bingung sendiri.
“Tapi Tri kata Mas Reno tadi…”
“Aku mau cari mama. Dia pasti sudah kembali ke ruang tamu. Mamaaa…mamaa…” Aku masih memanggil-manggil mama mertuaku itu sambil berjalan menuju ruang depan.
“Aku tadi kan lewat ruang depan, Tri. Enggak ada mama di sana…” Johan mengikuti langkahku lagi sambil berusaha menenangkanku. Sampai di ruang depan, tak kulihat mama sama sekali. Kemana dia pergi?
“Mamaaaa…” Aku masih memanggil mama mertuaku dengan putus asa. Tak lama terdengar suara dering gawai milik Johan. Dengan sigap suamiku langsung menjawab panggilan masuk itu. Wajahnya langsung berubah muram. Bahunya turun ke bawah. Ada genangan di kedua matanya.
“Kenapa Jo?”
“Dari Mas Reno. Mama barusan pergi, Tri. Aku… Oh aku nggak sempat ketemu mama.” Suara Johan terdengar serak.
Praaaanggg…
Cangkir teh di tanganku terlepas.
“Mamaaaa…” jeritku pilu.
Oleh Tantrini Andang