KADRUN

267

HIDUPKATOLIK.COM – PANCINGANKU kena. Ibaratnya umpan yang kulempar dimakan dengan lahap, bahkan untuk rayahan. Meski mereka menelan sambil marah. Bagaimana tidak. Paroki, yang sering disebut sebagai pasamuan suci, kumpulan domba Allah, tempat berkumpulnya orang-orang yang taat ibadat, kusindir sebagai kelompok pendukung khilafah. Jelas saja mereka lalu meradang. Andaikata aku umat pendatang baru, pasti sudah dilumat habis tanpa ampun! Untunglah jelek-jelek begini pernah jadi aktivis. Mulai dari jaga parkir waktu masih masuk kategori OMK, sampai jadi prodiakon tiga periode. Karena itu mereka hanya berani mencaci di belakang layar.

Memang tidak semua meradang. Ada satu dua yang waras dan jernih akal sehatnya. Mereka bisa menerima alasan dan argumentasiku. Meski dengan risiko mereka lalu dikucilkan, dianggap umat yang tidak taat, domba yang membelot. Malah diam-diam ada yang menyamakan diriku dengan Yudas Iskariot. Murid pengkhianat, layak dikutuk.

“Saya setuju pendapat Mas Sam. Gereja jangan hanya ngurusi soal akhirat saja. Namun juga harus ngurusi dunia. Surga itu masih bayang-bayang. Tapi hidup ini sebuah kepastian. Jelas ada, kita rasakan tiap hari. Hidup tidak cukup hanya dengan doa, juga harus tahu strategi, jurus-jurus dan kiat menyelamatkan diri juga harus dikuasai. Buktinya di beberapa negara Timur Tengah umat Kristen dibantai ISIS juga tidak ada yang menolong. Gereja dibakar juga tidak ada yang menolong. Kenapa semua itu bisa terjadi, karena Gereja lengah. Mengabaikan dunia mengutamakan akhirat. Begitu ‘kan Mas Sam?” tutur Mas Yon sambil mengangguk-angguk.

“Kurang lebih begitu,” kataku.

“Gereja di mana pun berada, seharusnya juga bisa menjadi beteng budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai kearifan lokal bisa diadopsi, bersanding dengan ajaran iman yang tertulis di Kitab Suci. Bahasa daerah, budaya daerah, kesenian daerah, sejarah leluhur, sekarang ini sedang terancam keberadaannya. Di samping tergerus oleh sistem pendidikan dan modernisasi, juga ada tangan-tangan hitam yang sengaja mau menghilangkannya. Mereka tidak ingin generasi muda kita tahu dan mengerti kejayaan masa lalu leluhurnya. Karena itu secara massif mereka ingin menghilangkannya. Nah, di sinilah Gereja bisa ikut berperan untuk melestarikannya. Bukannya malah cuek bebek tidak punya perhatian sama sekali. Gereja bisa jadi macan ompong. Tidak punya taring dan akan dilecehkan oleh mereka yang tidak senang!”

Mas Yon seolah bisa tahu persis apa yang selama ini kupikirkan. Banyak orang yang sudah lupa bahwa Gereja bisa berkembang karena para leluhur dulu menerima proses inkulturasi. Gereja menjadi bagian dari budaya lokal. Keduanya saling mengisi dan mempengaruhi. Bukannya malah menyingkur dan meniadakan.

“Jadi Mas Yon setuju kalau di hari ulang tahun paroki kita adakan pentas wayang?” tanyaku.

“Setuju sekali!” jawabnya mantap. “Tinggal kita pilih, mau mengambil lakon dari epos Ramayana atau epos Mahabharata. Keduanya menyimpan nilai-nilai luhur yang perlu diketahui umat. Bagaimana tokoh-tokoh berhati mulia harus menghadapi tokoh-tokoh culas. Mereka tidak cukup hanya bertapa mohon pertolongan para dewa, namun juga mengembangkan strategi supaya bisa mengalahkan orang-orang culas dan licik itu. Mengalahkan tidak identik dengan membunuh, namun bisa juga menyadarkan kembali. Itu butuh tindakan, tatanan dan tuntutan. Tidak cukup hanya dengan berdoa,” lanjut Mas Yon berapi-api.

“Bagaimana kalau kita pentas Wayang Wahyu?” usulku.

“Itu juga lebih bagus!” jawabnya spontan. “Malah sebagian umat sudah tahu jalan ceritanya. Terutama mereka yang sudah katam Kitab Suci, he..he..he..”

“Mas Yon belum katam, ya?”

“Kapan mau katam, saya ini anti makan renungan pagi!”

“Lho, tidak pernah baca-baca renungan pagi? Bukankah sekarang ini setiap pagi bisa beredar lebih dari 20 renungan pagi. Di grup WA biasanya saling mengopas dan membagikannya. Saling mendahului seolah itu bukti bahwa mereka itu benar-benar relijius dan tekun membaca firman,” kataku.

Mas Yon tertawa. “Saya justru muak. Bukan begitu caranya mengajak umat untuk semakin dekat dengan-Nya. Beri saja contoh-contoh praktis yang sudah dilakukan oleh orang-orang sederhana dalam menyikapi kehidupan yang berat ini. Kisah-kisah inspiratif yang ada di sekitar kita. Itu lebih bagus dari pada omongan surga yang isinya cuma mirip busa sabun. Kosong tidak ada apa-apanya, ha..ha..ha..” selorohnya.

Aku ikut tertawa. Menertawakan kekonyolan yang berlangsung bertahun-tahun namun tidak ada yang berani mengoreksi. “Yang penting pada saat rapat pleno nanti Mas Yon mendukung usulanku, ya?”

“Pendukung nomer satu!” jawabnya.

“Soal pemaparan nilai-nilai luhur dan budaya daerah tadi juga Mas Yon yang omong lho. Kalau aku yang omong nanti pada emosi. Mereka sudah terlanjur melihat diriku identik dengan Yudas Iskariot, ha..ha..”

“Siap Mas Komandan!” jawab Mas Yon.

Benar juga. Saat rapat dewan pleno Mas Yon yang banyak bicara tentang inkulturasi Gereja, budaya daerah, pentingnya melestarikan bahasa daerah, mengangkat kesenian tradisional dan tradisi setempat ke dalam Gereja, dan pentingnya Gereja ikut menjadi beteng budaya nasional. Aku cuma mengusulkan, untuk mewujudkan gagasan itu, pada saat ulang tahun paroki nanti ada baiknya diadakan pentas wayang kulit. Tidak harus semalam suntuk. Soal biaya sudah kurinci sedemikian rupa. Maksudku tidak memberatkan keuangan paroki.

“Banyak nilai-nilai luhur di dalam lakon epos Ramayana, epos Mahabharata, atau Wayang Wahyu. Nilai-nilai itu disampaikan tidak secara verbal formal, namun dibungkus dalam cerita yang menarik. Biaya menjadi murah karena dalang wayang itu warga kita. Begitu jura para wiyaga atau penabuh gamelan, bisa kita ambil dari para siswa yang tiap minggu sudah latihan. Aku setuju sekali usul Mas Yon, mau tidak mau Gereja harus ikut menjadi beteng kebudayaan!” usulku.

Pastor Kepala Paroki mengangguk-angguk. Peserta yang lain saling bergumam tidak jelas. Ada yang ikut mengangguk-angguk, namun ada juga yang menggeleng-gelengkan kepala. Semua diam. Tiba-tiba berdiri seseorang dan minta pelantang untuk bicara.

“Saya tidak setuju usul Saudara Sam!” katanya menggelegar. “Sudah bukan jamannya lagi kita pentas wayang. Apalagi epos Ramayana dan Mahabharata. Kaum muda tidak ada yang tahu. Jadi sia-sia jika kita pentas nanti. Soal nilai-nilai dalam Wayang Wahyu, itu bisa diangkat dalam homili tiap Minggu. Karena diambil dari Kitab Suci. Apalagi tiap hari kita juga sudah membaca renungan pagi dalam aneka versi. Ditambah kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Lebih baik uang itu dipakai untuk rekoleksi atau pendalaman iman! Ini tanggapan kami!”

“Maaf Mas Kadrun,” selaku.

“Nama saya bukan Kadrun. Tolong dicatat, nama saya Paulus Kadarusman Untara!” tukas orang tadi.

“Kadarusman Untara itu kalau disingkat menjadi Kadrun!” kataku. Peserta rapat tertawa mendengar itu. “Justru wayang itu kita pentaskan agar kaum muda menjadi tahu. Wayang Wahyu tidak bisa diganti dengan homili yang sering bikin ngantuk itu. Soal biaya, jika dewan paroki tidak sanggup mengeluarkan, Mas Yon dan aku sanggup membiayai!”

Kembali peserta rapat saling bergumam tidak jelas. Setelah berembuk agak lama, akhirnya diputuskan ulang tahun paroki nanti tidak ada pentas wayang. Umat cukup diajak makan nasi kuning bersama.

“Baik kalau begitu. Aku dan Mas Yon yang akan mengadakan pentas Wayang  Wahyu di lapangan! Ujudnya bukan ulang tahun paroki, tetapi Gereja yang membumi. Terima kasih!” kataku tanpa basa-basi lagi.

“Mas, saya tidak punya duit,” bisik Mas Yon setelah rapat dibubarkan.

“Aku bisa menggadaikan sertifikat tanah. Tenang saja, Yudas Iskariot itu dulu bendaharanya Yesus. Pasti punya duit, ha..ha..ha..”

Mas Yon meninju punggungku. “Dasar Yudas Iskariot!”

“Yang penting bukan Kadrun, ha..ha..ha..”

Oleh Budi Sardjono   

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini