HIDUPKATOLIK.COM – SELAMA masa pandemi Covid-19, kita merayakan Misa ada kalanya secara online. Tentu saja cara ini bukan lazim karena hanya dalam keadaan darurat. Bobotnya dirasakan kurang mendalam dibandingkan dengan perayaan dalam situasi normal. Apa kekurangan itu?
Dari sekian banyak nama, Misa disebut juga sebagai Perjamuan Tuhan (I Kor. 11:20). Kita melaksanakan perjamuan seperti telah dilaksanakan Yesus bersama para murid-Nya sebelum penderitaan dan kebangkitan-Nya. Kita pun merayakan perjamuan sebagai antisipasi perjamuan kawin Anak Domba (Why. 9:9) dalam Yerusalem surgawi. Dan layaknya sebuah perjamuan pesta tentu saja kita berpakaian yang pantas, dihadiri banyak orang, suasana sukacita bersama, kita saling bersalaman dan memandang, duduk bersama dalam sebuah ruangan, mendengar langsung sapaan tuan pesta dan lain-lain. Jelaslah, misa online tidak mampu mengungkapkan seutuhnya Ekaristi sebagai Perjamuan Tuhan.
Misa disebut juga Pertemuan Ekaristis. Mengapa? Dalam Misa terjadilah pertemuan kaum beriman sebagai ungkapan Gereja yang kelihatan. Kata “Gereja” berasal dari bahasa Portugis “igreja” yang diambil dari bahasa Yunani “ekklesia” yang berarti kumpulan, kaum, golongan. Gereja adalah komunitas yang didirikan Yesus Kristus dan diurapi Roh Kudus menurut kehendak Allah untuk menyelamatkan umat manusia.
Pertemuan dalam Perayaan Ekaristi adalah pertemuan saudara saudari seiman, maka jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui perayaan dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik dan ikut serta penuh khidmat, secara sadar dan aktif (Sacrosanctum Concilium, 48). Harus diakui, ketika Misa online kita cenderung menjadi penonton yang bisu dan tidak secara sadar, ikut aktif berpartisipasi.
Kerika merayakan Ekaristi, kita menyambut Komuni. Kita dipersatukan dengan Kristus sebagai Kepala dan Pemimpin yang memberi kita bagian dalam Tubuh dan Darah-Nya supaya kita semua menjadi satu tubuh (I Kor. 10:16-17). Dengan menyambut Komuni terjadi kesatuan dan pertemuan mistik. Kita bersatu dengan Tuhan yang tak terbatas, tak bertepi, mahamutlak yang mendasari seluruh kehidupan kita. Kita ambil bagian dalam Tubuh Kristus yang dikonsekrasikan dalam perayaan Ekaristi. Pengalaman mendalam seperti ini tidak terjadi dalam misa online. Kita hanya merindukan Tuhan. Kita menerima Komuni dalam batin. Untuk Komuni Batin kita harus mempersiapkan diri seakan-akan kita mengikuti Perayaan Ekaristi secara langsung.
Dalam Misa online, kita tidak melaksanakan bentuk ungkapan simbolis seperti gerakan dan bahasa tubuh. Padahal Liturgi sangat kaya dengan simbol-simbol untuk mengungkapkan iman. Kita tidak berada dalam satu ruang gereja bersama umat peraya liturgi untuk terlibat langsung bernyanyi dan berdoa bersama. Kita tidak mengalami suasana cahaya, kesenian ruangan, hiasan-hiasan religius, peralatan liturgis dalam kesatuan bagian, ritus secara utuh terpadu dan menyeluruh. Kita pun tidak mengalami keheningan bersama sebagaimana ditegaskan pentingnya oleh Konsili Vatikan II (1962-1965).
Pandemi Covid-19 menyadarkan kita pentingnya kehadiran imam, karena Ekaristi tidak mungkin tanpa imam. Juga menyadarkan kita yang hidup di kota besar seperti Jakarta bisa memahami kerinduan akan Misa dari umat di stasi pendalaman yang jarang dikunjungi imam karena terbatasnya tenaga imam di sebuah paroki di pendalaman terpencil. Boleh jadi selama ini kita merayakan Ekaristi seperti lazimnya dan karena itu menjadi biasa dan kurang bermakna. Masa pendemi ini menyadarkan kita betapa pentingnya Perayaan Ekaristi.
Kita pun tak boleh meremehkan devosi dan kesalehan umat. Memang Liturgi jauh lebih unggul dari devosi, namun ketika pandemi kita tak dapat merayakan Liturgi di gereja, “kesalehan umat ini merupakan sarana Ilahi untuk menjaga iman orang-orang Kristen dalam situasi di mana mereka tidak mungkin mendapat perhatian pastoral”(Direktorium tentang Kesalehan, No. 64).
Singkatnya, selama masa Covid-19, keluarga dapat berdoa Rosario, Litani, dan doa-doa khusus devosi kepada orang kudus tertentu. Akhirnya Liturgi tidak bisa menggantikan Devosi dan sebaliknya, keduanya saling melengkapi.
Pastor Jacobus Tarigan, Dosen Liturgi STF Driyarkara, Jakarta