Resesi di Ujung Mata, Gereja Harus Berbuat Apa

186
Adrianus Meliala, Guru Besar UI, Anggota Komisi Kerawam KWI

HIDUPKATOLIK.COM – GAGA-GARA pandemi, banyak negara telah masuk jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi yang melambat secara drastis mengakibatkan pertumbuhan ekonomi berbagai negara menjadi minus. Itu artinya, ada hasil produksi tak terjual, ada semakin banyak orang yang  menganggur, ada dana yang idle  karena tidak ada orang mau buka usaha, ada gaji yang mesti dipotong.

Saat roda produksi melambat dan bisnis melemah, maka arus supply barang dan jasa amat terganggu.  Orang yang punya uang pun tidak  bisa memanfaatkan uangnya karena tidak ada yang menjual barang atau menawarkan jasa.  Kebutuhan atau demand yang awalnya tinggi lalu lama-lama melemah seiring dengan terbatasnya penghasilan.

Itulah problema kita mendatang. Namun Indonesia, anehnya, hingga pertengahan Agustus lalu belum juga masuk dalam situasi resesi. Walau juga mengalami minus sekitar 5% lebih serta belum menunjukkan tanda-tanda bahwa pandemi ini bakal berakhir, namun resesi konon masih jauh dari Nusantara.

Penulis tidak memiliki kapasitas untuk berdiskusi tentang mengapa hal itu terjadi. Tetapi, jika diasumsikan bahwa resesi memang telah di ujung mata, apa yang harus dilakukan? Terkhusus sebagai masyarakat Katolik Indonesia, apa kontribusi yang bisa diberikan?

Secara umum, saat resesi, individu-individu diharapkan sebisa mungkin menghemat sumber daya yang ada padanya. Secara gampang, kita sering mengatakan “ayo berhemat”. Kebutuhan tertier ditunda dulu dan kebutuhan primer diutamakan. Dalam situasi resesi, jangan-jangan, untuk membeli beras pun kita tidak lagi memiliki daya beli. Maka, uang atau pun harta yang ada perlu diirit.

Selanjutnya, sejalan dengan menekan pembelanjaan (spending), kita juga seyogyanya dan sebisanya mencari alternatif pemenuhan kebutuhan tanpa perlu spending. Hari-hari ini kita mendengar upaya Gereja mendorong pemanfaatan lahan kosong untuk ditanami tanaman sayur-mayur dan sebagainya. Hari-hari ini pula ada baiknya kita  melihat kembali jangan-jangan ada polis asuransi  jiwa yang masih hidup, atau fasilitas asuransi kesehatan gratis dari kantor. Kebiasaan ibu-ibu atau gadis remaja mencari toko atau supermarket yang menawarkan promo diskon kemungkinan baik untuk dilakukan guna mengurangi pembelanjaan terkait hal-hal yang mau tidak mau kita butuhkan.

Ada baiknya pula kita makin serius dengan komunikasi via daring. Dengan investasi awal untuk membeli laptop, desktop serta handphone yang dilengkapi dengan wifi plus bandwith yang cukup, bisa membuat kita betah di rumah. Juga kita tidak perlu ke mana-mana, namun tetap produktif dalam rangka WFH. Selain sehat (karena mengurangi kontak dengan kerumunan orang yang tak dikenal), juga mengurangi biaya untuk bepergian (transportasi, konsumsi) yang dewasa ini kerap mencekik leher.

Sejalan dengan itu, cobalah untuk mencari sumber penghasilan baru. Berbekalkan jejaring internet, kita bisa berselancar di dunia maya dan mencoba peruntungan baru. Upaya pemasaran produk kita bisa jauh lebih mudah karena dilihat oleh lebih banyak orang. Apa yang mau dipasarkan? Apa saja, mulai dari makanan rumahan, perbaikan barang elektronik hingga jasa-jasa yang tak pernah terpikirkan akan bakal laku sebagai jasa. Kita tidak perlu malu sekaligus cukup ngotot memperoleh penghasilan tambahan tersebut, ‘toh semua orang mengalami situasi yang serupa.

Setelah melakukan langkah-langkah tersebut, lalu bagaimana mengkaitkannya dengan kehidupan beragama?

Sebelum pandemi, beberapa orang menganggap aktivitas beragama sebagai aktivitas konsumtif. Ada yang melihat kegiatan menggereja sebagai menghabiskan waktu atau menghabiskan uang. Pada era pandemi ini, kelihatannya dimensi konsumtif agak berkurang mengingat orang lebih banyak beribadah dari rumah.  Situasi di mana orang “tidak melihat” kita konon membuat kita  kurang terpaksa atau dipaksa menyumbang.

Tentu itu memberatkan bagi Gereja yang membutuhkan kolekte kita bagi rumah tangga Gereja. Dalam Era Resesi mendatang, sebagai kelanjutan dari Era Pandemi, semua lembaga sosial yang tidak memiliki usaha produktif mandiri tentu akan terguncang. Ini juga menjadi wake-up call bagi entitas Gereja (khususnya di tingkat paroki) untuk, jika masanya sudah tepat, mulai menginvestasikan dana umat dalam satu atau lebih aktivitas produktif (baca: menghasilkan).

Bagi umat, hal ini mesti disadari dan tidak bisa dibiarkan berlangsung terus. Umat selama ini sudah memperoleh banyak hal dari Gereja, salah satunya berupa deretan panjang teman yang bisa dijadikan network saat berbisnis. Maka, carilah saat yang baik untuk pay back atau memberikan kembali apa yang seyogyanya diberikan  kepada Gereja.

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.38, 28 September 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini