Ngaca Yuk, …! Mirror, Mirror on the Wall. Who is the Most Truthful Person in the World?

338

HIDUPKATOLIK.COM – Aku, kamu, dia, merasa benar
Lalu kita mencari kebenaran
Yang benar benar sebuah kebenaran
Tapi kenapa yang kita temukan justru kekacauan?

Ngaca dulu ah…..!

Bukan buat merapihkan rona merah di pipi, sekadar refleksi diri biar tidak menyakiti apalagi tersakiti. Padahal tidak ada salahnya mengkoreksi, sekalipun kita belum tentu benar. Makanya berkaca itu penting karena bisa sebagai pengingat bahwa tidak semua orang harus suka dengan apa yang kita buat sekalipun bertujuan kebaikan. Maksud baik saja tidak selalu bisa diterima dengan sukacita kok. Malah berbuntut perdebatan panjang efek dari niat koreksi, kritik atau saran. Dan saat itu terjadi salah satu pihak tinggal memilih, balik menyerang atau tetap berbuat baik.

Nah, apa akan dilakukan andai itu menimpa kita? Balik menyerang atau tetap berbuat baik di saat emosi tengah membara?

Bila itu ditanyakan padaku, jawabnya simpel: “Ngaca yuk …!”

Masih ingat tokoh ibu tiri jahat Lady Tremaine  dalam kisah Cinderella yang melegenda, dengan kaca ajaibnya? Selalu bertanya siapa wanita  paling cantik di negeri itu. Pada awalnya kaca ajaib selalu bilang kalau dialah wanita tercantik, sampai akhirnya Cinderella hadir di tengah mereka dengan kecantikan tersembunyi di balik kesederhanaan. Entah sudah sekejam apapun fitnah dilimpahkan kepadanya, baik oleh ibu tiri maupun saudara tirinya, tetap saja kebenaran tersaji di akhir peristiwa membawa kebahagiaan. Orang bijak selalu lantang berucap, kebenaran pasti menang, cepat atau lambat. Lewat jalan berliku maupun lurus. Pasti …!

Sembilan hari terakhir ini tiba tiba aku ingin memiiki kaca ajaib Lady Tremaine. Tapi bukan untuk memastikan siapa wanita tercantik di negeri ini (dan kupastikan bukan aku juga). Sekiranya bisa mendapatkan kaca itu, segera kuubah program pertanyaan yang terlontar, bukan lagi siapa paling cantik, tapi siapa yang paling benar di tempat aku menapak ini. Tiap orang merasa paling benar sendiri, sesuka hati menyerapah lalu berdalih bahwa semua itu terjadi karena ada sebab maka muncul akibat.

Jika semua orang merasa benar serta wajib didengar karena benar, lalu siapa yang akan jadi pendengar dan merasa salah? Telinga pun mengalami iritasi akut hingga tak paham lagi mana ucapan layak serap, mana yang segera dilepeh saja. Saat ini menyerapah bagai sebuah aktifitas normal tak pandang keluar dari mulut siapa.

Dulu kupahami kebenaran diketahui dari sebuah ajaran maupun ujaran sebab tertera jelas berikut normanya. Kalau sekarang kebenaran seakan tergantung dari seberapa banyak jumlah pengikut turut menyerapah. Seolah semakin banyak berteriak itulah yang akhirnya dipandang sebagai sebuah kebenaran.

Sama seperti saat terjadi kecelakaan. Bukan penyebab maupun peristiwa bagaimana sampai bisa terjadi kecelakaan yang pertama  dibahas untuk mengetahui siapa  bersalah. Namun justru siapa paling berani membentak keras lebih dahulu, itulah bakal mendapat ganti rugi.

Masih menempel dalam ingatan ada pepatah klasik Berani karena Benar, Takut karena Salah. Nah.., sekarang semua bergeser, dimana yang salah saking takut disalahkan mendadak nekad membentak, sehingga tetap tampak berani meski tidak benar. Apalagi kalau merasa punya pengikut banyak.

Begitu lelahnya bicara kebenaran di negeri ini, terlebih dengan situasi dimana banyak sekali terjadi peristiwa ‘kecelakaan’. Tapi terus berharap akan tetap ada KEBENARAN dan KEBERANIAN menegakkan kebenaran itu sendiri di persada nusantara.

Permisiiii …
Ini hanya soal cara memaknai kebenaran
Bukan mencari pembenaran
Apalagi sampai menuduh orang lain tidak benar
Hanya mencoba memaklumi
Bila tak mampu memahami

Salam Cinta: Ita Sembiring, Pekerja Seni, Kontributor

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini