HIDUPKATOLIK.COM – DALAM pencarian berita
Tak lagi kutemukan fakta
Di manakah sumber terpercaya
Kenyang aku terbelit kata
Karena kutahu sensasi dan informasi itu beda
…
Nah begitu!
Informasi tanpa sensasi konon kurang menarik. Namun informasi sarat sensasi bikin emosi juga. Disebut apa gerangan bila di era digital semacam sekarang, manakala lintas informasi tak terbendung, justru terasa sulit mendapatkan informasi. Sebegitu banyak yang seliweran dari berbagai sumber, tetapi nyaris tak bisa dikenali sebagai informasi sebab lebih mendekati sensasi.
Sesungguhnya segala kabar sudah tersaji lengkap dengan ragam versi. Tak ada istilah minim informasi, malah yang terjadi serbuan. Apa saja tinggal klik, bahkan tanpa dicari informasi bergulir begitu dahsyat merayapi keseharian lewat kotak ajaib yang orang modern bilang gadget. Berkat sentuhan lapisan teratas kulit tipis telunjuk saja seluruh informasi bisa diakses.
Informasi menggelinding bagai bola salju dan berakhir di satu kata: Viral. Ini belum bicara soal akurasi, baru penyebaran informasi. Namun yang menjadi kegelisahan adalah tak lagi mudah memperoleh informasi akurat terpercaya. Bisa jadi memang saya yang salah memilih sumber berita. Tapi saking mendominasinya, kabar sejenis pula yang selalu muncul teratas.
Dalam setiap pencarian berita kerap terbaca (tidak sengaja) berita terangkai rapi tanpa wawancara, liputan atau sebagaimana layaknya sebuah berita di peroleh. Hanya pengembangan dari postingan sosial media, tapi seolah penulisnya sudah melakukan wawancara. Belum lagi judul seringkali tidak berhubungan dengan isi atau dipaksakan berhubungan namun justru makin terlihat tak ada kaitannya.
Dalam perbincangan ringan dengan beberapa teman, mereka hanya bilang, “Jangan dibaca kalau tidak percaya.” Saya tidak membantah. Sebab ada benarnya juga omongan teman itu dan memang salah satu jalan meredam emosi dari rasa terpedaya berita. Tapi masak iya, tak ada kepedulian akan sebuah ketertiban menggelontorkan informasi. Lalu dibantah teman lain lagi, “Itu kebebasan berekspresi.”
Sampai di sini saya mengeluarkan suara meski tidak ngotot… “Yaaaahh… kebebasan berekspresi kan bukan juga berarti bebas menuangkan ‘bahan’ orang lain dari satu media ke media lain hanya karena beda platform. Itu justru tanpa ekspresi.”
Zaman kuliah dulu saya kenal istilah wawancara mendalam dan laporan investigasi sebagai bahan dari sebuh penyajian informasi. Bolehkah ada sensasi? Sah saja sebagai bumbu agar dilirik. Menu utamanya tetap informasi. Bukan sebaliknya, yang disajikan sensasi atas nama olahan informasi.
Lalu sekarang ada istilah ‘digoreng’. Nah, jadi makin meriah! Ternyata bukan cuma tahu bulat yang digoreng, dimakan panas-panas. Kata pun sekarang bisa digoreng bahkan tambah bumbu sedikit, siap dilahap dan dijamin bikin panas. Kalau tahu bulat lezat dimakan panas panas, nah yang ini dilahap dingin pun bisa bikin panas membara akibat ada tulisan tanpa melewati kaidah pengumpulan informasi tapi jadi berita.
Sebut saja perihal pernyataan Paus Fransiskus menyangkut LGBT. Tak usah dibahas lagilah apakah liputan itu berdasarkan hasil interview mendalam penulis secara langsung dengan narasumber atau sekadar mengulas hasil interview orang lain dari sebuh tontonan. Intinya ada tulisan mengutip pernyataan Paus di mana tertera kata ‘berkeluarga’ yang memang bisa jadi bermakna ganda bila tidak dicermati. Apalagi bila memang sengaja dijadikan celah karena beliau seorang pemimpin, entahlah hingga akhirnya jadi kontroversi.
Setiap satu isu muncul, pasti ada isu susulan yang berseberangan di waktu berdekatan. Sebagai pencari berita yang haus informasi, di mana itu juga sudah merupakan kebutuhan khalayak, saya pribadi terlanjur kehilangan ketrampilan memilah mana sensasi mana berita. Mana investigasi, mana konspirasi sekalipun sudah barang tentu di ujungnya akan ada klarifikasi. Ironisnya pula, penyebaran sensasi lebih gencar dari penyebaran klarifikasi yang berupa susulan tersebut. Jadi tetap saja ada opini yang telah tergiring bersumber dari informasi awal.
Betapa mudah pertikaian tersulut hanya karena sebuah informasi sarat sensasi tanpa investigasi bahkan menjurus pada konspirasi hingga menimbulkan kontroversi dan meski disusul klarifikasi, sudah terlanjur emosi memuncak. Dan, untuk saya dalam kesederhanaan seorang ibu di tengah perjuangan merenda masa depan dua anak, tibalah di ujung frustasi. Sambil berharap hanya saya yang diambang frustasi, namun tidak demikian dengan kaum muda yang dalam pertumbuhannya akan tetap kritis dan cerdas serta tidak kehilangan ketrampilan mengolah informasi meski tanpa klarifikasi tapi tetap melakukan ‘investigasi’ bacaan secara mandiri.
Permisiiii …
Ini hanya sebuah pencarian berita bukan cerita
Meski saat ada orang bercerita
Entah kenapa tiba-tiba itu bisa jadi berita
Tak peduli bernilai ataupun kosong belaka
Yang penting sudah tersaji untuk dibaca
Dan saya mencoba paham saja
Sebab kemampuan saya sederhana
Ita Sembiring, Pekerja Seni, Kontributor