BENARKAH PAUS TIDAK BISA SESAT? BERIKUT FAKTANYA BERDASARKAN DOKTRIN TAHUN 1970

757
St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

HIDUPKATOLIK.COM – TULISAN Romo T. Krisnapurwana Cahyadi, SJ (teolog), Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta dalam hidupkatolik.com pekan lalu mengurai kebingungan saya, mungkin juga banyak umat.

Penegasan bahwa Paus Fransiskus tidak menyetujui perkawinan sejenis secara sipil. Bahwa kontroversi yang berkembang dari film dokumenter “Francesco”, tidak bertentangan dengan Konstitusi Gereja tentang Ajaran Iman tahun 2003 yang isinya Gereja tidak menyetujui pengesahan perkawinan gender sejenis walaupun secara sipil. Bahwa pernyataan diberikan dalam rangka pendekatan pastoral dan pemahaman realistis kenyataan sosial masyarakat. Ajaran itu tidak berubah.

Pernyataan paus menjadi kontroversi karena diucapkan oleh seorang Paus (man make news). Apalagi Paus Fransiskus yang sejak masih sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Argentina dengan nama Kardinal Jorge Mario Bergoglio memang dekat dengan LGBT. Saat itu ia menolak pengesahan perkawinan lesbian atau gay (samesex marriage), tetapi mereka perlu didukung aturan yang sama sebagai perlindungan hak-hak pasangan gay. Data tahun 2019 itu menarik dengan dikutipnya kembali dalam film “Francesco” (Jakarta Post, 23 Oktober 2020).

Dengan penjelasan yang mencerahkan dan kredibel Romo Krisnapurwana Cahyadi, menjadi jelas duduk masalahnya. Paus Fransiskus ingin mengingatkan dan mengajak.  LGBT adalah anak-anak Allah yang berhak dicintai, diterima dalam keluarga yang terdiri atas bapak dan ibu. Istilah yang dipakai pun bukan perkawinan (marriage) sipil tetapi kesatuan (union), coexistence (hidup bersama). Yang ditentang adalah diskriminasi terhadap LGBT.

Kontroversi ini —mohon izin para rohaniwan/wati dan teolog yang lebih punya otoritas bicara– mendorong saya berbagi pemahaman dan persepsi tentang eksistensi dan pokok-pokok infalibilitas (bhs. Latin: infalibilis;  Kitab Hukum Kanonik: ketidaksesatan; Robert McClory: ketidak-dapat-sesatan; A. Heuken SJ: kebal salah) seorang Paus; jabatan paling tua, selama hampir 2.000 tahun ada terus sampai sekarang.

Doktrin infalibilitas Paus diumumkan secara resmi tanggal 18 Juli 1870, bertepatan dengan penutupan Konsili Vatikan I (1869-1870), Konsili Ekumenis ke-21 sepanjang 19 abad eksistensi Gereja Katolik. Perdebatan seru terjadi sesudahnya, menyangkut makna teologis. Pro dan kontra antara kelompok papalis (mendukung Paus) dan tradisional dengan para pengritiknya. Doktrin ini merupakan doktrin yang perumusannya paling heboh dari antara doktrin-doktrin Gereja Katolik (Robert McClory: Power and the Papacy, terjemahan Paus dan Kekuasaan, Obor 2010). Menurut para pengritik, doktrin ini tidak akan menjadi doktrin Gereja kalau bukan karena kemauan keras Paus IX sebagai paus ketika Konsili Vatikan I berlangsung. Walaupun sebenarnya Paus Pius IX hanya mengikuti gerak zaman yang sangat memengaruhi Gereja dalam masa-masa yang sulit. Para uskup pendukungnya mengatakan karya Roh Kudus.

Dasar infalibilitas adalah berkat Sabda Allah (Kitab Suci) dan Roh Kudus yang membimbing GerejaNya, seperti dijanjikan Yesus (bdk. Yoh. 14,16). Kepalanya, Gereja tidak dapat salah (Mt. 16,18). Paus tidak dapat mendefinisikan ajaran baru, melainkan hanya memutuskan ajaran mana yang sesuai dengan Wahyu seperti diterima dari para rasul. Kuasa ini hanya berlaku dalam posisinya sebagai kuasa mengajar (ex catredra)- A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja,  Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992).

Doktrin infalibilitas hanya menyangkut iman dan kesusilaan (A. Heuken SJ) atau iman dan moral (Kitab Hukum Kanonik dan Robert McClory). Obyeknya apa yang diwahyukan, kebenaran-kebenaran yang diwahyukan tetapi dapat juga diketahui dengan akal budi (misalnya penciptaan alam semesta), dan prasyarat-prasyarat bagi iman (misalnya adanya Allah dan penciptaan alam semesta). Subyek, Gereja seluruhnya, dewan uskup-uskup (Konsili Ekumenis), kepala dewan uskup, yaitu Uskup Roma (A. Heuken SJ).

Tidak bisa sesat tidak berarti paus sebagai pribadi tidak bisa berkata atau berbuat salah, bukan juga sifat pribadi paus melainkan sifat jabatannya. Doktrin ini digunakan pertama kali  waktu Paus Pius XII mengumumkan dogma tentang Maria diangkat ke surga jiwa dan raganya tahun 1950, yang diumumkan setelah paus berkonsultasi dengan para uskup di seluruh dunia. Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), doktrin infalibilitas ditegaskan dalam rangka eklesiologi yang lebih luas.

Robert McClory, wartawan dan profesor di Northwestern University’s Madill School of Journalism, mengutip ucapan dua teolog kelompok infalibilitas moderat. Tulis Francis Sullivan, “Ketika Gereja melalui magisterium tertinggi menyampaikan sebuah doktrin ‘untuk diyakini sebagai sesuatu yang diwahyukan’, ajaran-ajaran itu harus ditaati dengan kepatuhan iman”. Patrick Grandfield: “Menentang ajaran infalibilitas yang telah disampaikan secara sadar, terbuka dan terang-terangan adalah sesat, dan memisahkan penentang dari Gereja” (Paus dan Kekuasaan, hal. 255).

Dari berbagai sumber.

St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini