JEJAK UNTA

205
Yusuf Marwoto, Kontributor

HIDUPKATOLIK.COM – KITA makan untuk lapar kembali. Kita mengambil nafas untuk mengeluarkannya kembali. Kita tidur untuk bangun kembali. Hidup ini benar-benar sebuah perjalanan jauh untuk kembali ke titik dimana kita berangkat. Tidak ada yang tidak kembali, semua kembali. Hidup ini adalah pengulangan-pengulangan untuk apa yang sudah kita lakukan dan sudah dilakukan oleh pendahulu dan penerus kita, ribuan tahun sebelum dan sesudahnya. Kita mengingat banyak hal untuk melupakannya, menimbun barang yang menggiurkan untuk dibuang ke tong sampah. Kita mengingini sesuatu yang akhirnya tidak kita ingini. Kita memeluk sesuatu yang akhirnya kita lepas. Kita membuat ikatan yang akhirnya kita berpisah juga.

Kembali kepada ketiadaan, seperti api yang panas membara lalu mati, yang tak kita tahu kemanakah nyalanya pergi. Kembali kepada ketiadaan adalah kembali kepada pelukan sang Pencipta, yang membuat kehadiran kita di dunia ini dari “ketiadaan” menjadi “ada”. Banyak musafir yang merindukan lenyap dipelukan ketiadaan, mereka menempuh jalan-jalan kesunyian, karena kesunyian adalah lorong setapak mendekat pada ketiadaan, rahim segala yang ada di muka bumi ini.

Menghidupi Hidup

Jika kita beranggapan kalau hidup ini berharga pada apa yang kita capai dan pada apa yang kita kumpulkan, itu pandangan keliru. Hidup ini berharga karena hidup ini sendiri sudah berharga! Kita menghargai kehidupan ini sendiri: pada sel-sel tubuh yang bergerak membangun konfigurasi untuk mempertahankan kehidupan, pada jantung yang terus berdetak memompa darah, pada hati, lambung, usus, panca indera, pada matahari, rotasi dan gravitasi, alam, dan pada Penyelenggaraan Ilahi yang penuh keajaiban pada sedenyut kehidupan di semua makhuknya.

Apa yang membuat kita tidak mensyukuri hidup ini? Jika kita duduk tenang, menempel pada tanah dan membiarkan diri dipeluk oleh langit, kita akan merasakan dunia ini sedang merayakan kehidupan. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, adalah perayaan akan kehidupan. Hidup yang ada dalam hidup kita, yang ada dalam sebutir telur dan seekor elang, dalam bebijian dan pepohonan, dalam selembar daun dan akar-akar, dalam kepompong dan kupu-kupu, dalam seekor penyu yang menyembunyikan telurnya di bawah pasir, dalam sebatang rumput yang menjalar di bebatuan.

Kehidupan yang sudah kita lalui, tidak akan pernah bisa kita kembalikan. Kita tidak bisa menjadi lebih muda dari usia kita saat ini. Tetapi jatah waktu yang telah kita lewatkan, telah mengembalikan sesuatu yang berharga kepada kita, yakni pengalaman bergaul dengan berbagai peristiwa yang lalu-lalang. Ibarat sepotong cerutu yang dibakar nyala api, cerutunya semakin pendek, tetapi debu yang ditinggalkan api itu semakin panjang. Begitulah kita memandang umur, ada yang tersisa, ada yang tertinggal. Semakin banyak yang habis, semakin banyak yang tertinggal. Kita seringkali tergoda hanya melihat apa yang habis, tanpa melihat apa yang sudah kita tinggalkan.

Memperlambat Hidup

Rotasi bumi berjalan dengan kecepatan yang hampir sama sejak bumi ini ada. Matahari juga terbit dan tenggelam dengan kecepatan yang hampir sama sejak awal mula. Sayang, kita yang berubah. Kita sekarang menjadi lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat, ketika kecepatan matahari dan rotasi berjalan sama. Orang mengira dengan pandemi semua diperlambat? Apakah hipotesa ini benar? Bukankah kita sekarang jauh lebih cepat dari masa-masa sebelumnya dengan kedigdayaan digital? Akibatnya kita melalaikan pergerakan di setiap denyut kehidupan yang sedang berlangsung. Kita kehilangan momen “hidup” dan jarang bersentuhan dengan “hidup.”

Seorang artis, di sebuah tayangan infotainment, menangis ketika mengunjungi pemulung, bertemu dengan seorang anak kecil yang tak memiliki sebelah kakinya karena kekerasan yang dilakukan ayahnya. Meski tak punya sebelah kaki, anak itu tetap ceria, bercanda, tertawa dan lari kesana-kemari. Artis muda ini baru menyadari, “hidup”nya begitu berharga, bahkan jauh lebih beruntung dari anak malang ini, sebab dia punya dua kaki utuh. Seorang sahabat lain, tiba-tiba terbakar semangat “hidup”nya, ketika melihat seekor kupu-kupu yang bersayap indah warna-warni, berayun-ayun di sebuah kuntum bunga, persis di depannya. Bagaimana “hidup” berada di dalam makluk sekecil dan selemah kupu-kupu ini? Bagaimana “hidup” menggerakkan belalainya untuk menghisap madu dan menggerakkan sayap-sayapnya yang elok?

Kita terlalu cepat menjalani hidup, sehingga melewatkan kesadaran untuk berjumpa dengan denyut kehidupan yang tersebar di sekeliling kita. Ibarat naik pesawat dengan kecepatan tinggi, kita hanya melihat bayangan-bayangan yang berseliweran di sekitar kita, dan bukan sebuah perjumpaan kehidupan yang saling meneguhkan. Berdenyutlah dengan kehidupan yang tinggal dalam diri pasangan, anak-anak dan keluarga Anda. Berdetaklah seirama dengan detak orang-orang yang Anda jumpai sepanjang jalan. Bernafaslah dalam hembusan yang sama dengan siapapun yang Anda sayangi di dunia ini. Dengan demikian kita akan sampai ke samudera pencerahan, kalau esensi “aku” dan “kamu”, “kita” dan “mereka”, adalah sama tetapi mewujud dalam bentuk dan sejarah yang berbeda. Maka, setiap hari adalah sebuah perjalanan memperluas cakupan atmosfer kesadaran untuk mencintai, selaras, senafas, sedenyut, sedetak, segerak, dengan semesta sesama kita. Inilah pondasi untuk mencintai sesama seperti diri kita sendiri, memberikan pipi kanan ketika pipi kiri dipukul, mengampuni dan mendoakan musuh, dan ketika mereka bersalah kita selalu mengatakan diri kita lebih banyak berbuat salah, sehingga balok di mata kita lebih terlihat daripada debu di ujung lautan.

Para peziarah batin selalu menerapkan cara untuk memperlambat kehidupan. Dalam tradisi meditasi, diajarkan bagaimana kita sebaiknya memperlambat gerakan makan ketika mengunyah sesuatu di mulut kita. Kita diajak untuk menyadari setiap rasa yang meresap ke lidah, apakah asin, pedas, manis, pahit, asam, tanpa berusaha untuk menghakiminya dengan pikiran “enak atau tidak enak” dan “nikmat atau tidak nikmat”. Di hampir semua tradisi biara, memperlambat gerak hidup adalah cara untuk memberi ruang dan waktu persentuhan antara “hidup” yang ada di dalam diri kita, dengan “kehidupan” yang menjelma di sekitar kita, dan dari sana, kesadaran kita ditransformasi akan kehadiran Sang Sumber Hidup sendiri.

Ada baiknya kita berguru pada tradisi hidup seperti dulu, dimana hidup seirama dengan gerak rotasi bumi, selaras dengan pergeseran bumi atas matahari, gerak kelopak bunga yang memekarkan dirinya, gerak air yang mengalir di sebuah sungai yang jernih, gerak seekor bayi burung yang berusaha menetas keluar dari cangkangnya. Dengan memperlambat hidup, kita akan bersentuhan dengan denyut kehidupan yang tiba-tiba menyeruak membanjiri kesadaran kita. Mata hati kita mulai terbuka: Ternyata “hidup” juga dititipkan dalam seekor laron yang lemah dan mudah mati, dalam diri pengemis, pemulung, anak jalanan dan tukang becak. Hidup yang sama juga ada dalam diri seorang pejabat, konglomerat, narapidana, perempuan dan laki-laki, orang baik dan orang jahat. Semua sama-sama membawa “hidup” dalam diri mereka.

Seorang sahabat menulis, “Kalau kita melihat jejak unta, maka tanpa perlu tahu untanya terlebih dahulu, kita akan yakin bahwa ini adalah jejak unta.” Kehidupan yang terbentang luas di sekitar kita, di muka bumi dari ujung ke ujung ini, adalah jejak Sang Maha Hidup itu sendiri, yang secara ajaib mengejawantah ke dalam setiap bentuk kehidupan: dengan pakaian, bahasa, budaya, tubuh yang berbeda-beda. Maka, hormat pada setiap bentuk kehidupan, apapun wujudnya, adalah sebuah ketaklukan hati kepada Yang Maha Empunya Hidup. Wally Amos menulis, “Life is just a mirror, and what you see out there, you must first see inside of you.

Yusuf Marwoto, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini