MENGENANG SANG BUNDA

698
Henry C. Widjaja/Kontributor

HIDUPKATOLIK.COM – “APAKAH saya mengenal Sang Bunda?” Begitu pertanyaan saya di Bulan Rosario. Yang spontan teringat adalah kandang Natal dan patung Pietá, yang menandai momen istimewa kehadiran-Nya. Maklum, ketika saya mendapat giliran mendaraskan doa dalam Doa Rosario, masih saja tergagap-gagap, “mulainya ‘Santa Maria’ atau ‘Salam Maria’?”. Lalu karena takut lupa, ketika mendaraskannya pun serba terburu-buru, supaya cepat selesai. Doa pun muncrat dari kepala, bukan mengalir dari hati. Kontras sekali dengan mengaumkan “om” di akhir yoga, di mana kata bersatu dengan nafas dan menggetarkan raga.

Lalu saya mencari-cari seperti apakah Sang Bunda? Apakah wajahnya secantik Olivia Hussey. Imut tanpa dosa, tanpa termakan usia, seperti dalam film “Jesus of Nazareth.” Ataukah wajah yang menua penuh gurat derita, menyimpan ketabahan duka, menyaksikan kekawatiran seorang Bunda yang menjadi kenyataan, seperti seni akting yang diekspresikan oleh Maia Morgenstern, dalam film “The Passion of the Christ.” Terutama dalam adegan Sang Bunda menyaksikan Anak Lelakinya disiksa laksana tikus got yang tertangkap massa. Wajah Olivia jelas lebih nyaman untuk dipuja, dipandang berlama-lama dan dipatungkan, namun wajah Maia terasa lebih manusiawi, deritanya adalah derita kita, paling tidak derita yang bisa kita bayangkan.

Dahulu, bundaku sendiri mempunyai kebiasaan berdoa setiap sore, sambil menyusuri jalan setapak di samping rumahnya. Jalan setapak pendek yang dilangkahinya bolak-balik dengan Rosario yang dikalungkan di tangannya. Bunda mendaraskan doa sambil menghapus debu kota yang melekat pada dedaunan tumbuhan di halaman kecil rumah itu. Seorang teman kuliah saya yang pernah menginap di sana, begitu terkesan menyaksikan momen itu, sampai secara khusus hadir dalam acara pemakaman bundaku, yang sepi tamu karena pandemi, khusus untuk menyampaikan memorinya. Sementara di rumahku rosario hanya dikalungkan di salib, yang tergantung di tembok. Salib yang hanya disentuh kala mengganti daun palma yang sudah mengering, setahun sekali, itu pun kalau sempat ke gereja.

Melihat patung Bunda di setiap sudut gereja, mengingatkan saya pada ‘the power of emak-emak’. Bahkan seorang Tuhan perlu emak. Itulah power yang sama yang membuat Gereja tetap berjalan. Sempat saya menyaksikan persiapan sebuah Misa agung. Betapa banyak emak-emak dan para wanita yang bekerja sukarela. Ada yang menghias altar sampai penuh bunga-bunga, ada yang menjadi lektor, menyanyi untuk kor, puteri altar, administrasi, dan entah apalagi yang dikeroyok oleh mereka. Tapi yang paling penting adalah makan pagi, siang dan malam untuk para pastor, tidak pernah terlewatkan dari tangan para emak. “Wanita di gereja lebih penting dari pada uskup dan imam.” Begitu pengakuan Paus Fransiskus, fans berat Bunda Maria.

Dengan pengetahuanku yang sedalam kulit, saya membayangkan Sang Bunda sebagai petugas PR (Public Relation) Kerajaan Surga, Sang Influencer Agung, yang bertugas menampakan diri ke berbagai pelosok dunia. Sebagai seorang emak, Bunda tentu sangat mengerti tentang ekonomi, karena biasa mengelola dana pas-pasan untuk membuat dapur tetap mengepul. Bunda membuat lokasi penampakkan-Nya menjadi makmur, karena wisata rohani. Peristiwa penampakan itu pun memberi inspirasi bagi banyak pihak untuk membangun gua dan patung Maria, sebagai daya tarik bagi para peziarah, menjadi industri pariwisata yang menjadi sokoguru perekonomian daerah.

Saya mengenal Bunda, via lagu dari kelompok musik rock, The Beatles, “Let It Be” yang bait awalnya berbunyi “Saat waktuku penuh masalah, datanglah Bunda Maria, memberi nasihat penuh hikmah: tiada perlu kau risaukan, biarlah.” “Biarlah, biarlah,” yang diulang-ulang dalam refrain, menjadi seperti latihan nafas dalam meditasi, yang memanggil kerelaan menerima kondisi yang tak kusuka, memanggil ketenangan dan kedamaian sebagaimana bayi dalam rahim.

Mengenang Sang Bunda adalah mengenang Rahim yang menjadi media bagi Sang Kerahiman menjadi daging. Tanpa tahu mengapa, di mana, kapan, siapa dan bagaimana, Bunda nekat menjawab “Fiat Voluntas Tua.” Sementara, jika ingin membantu sesama atau berbagi, hatiku selalu bertanya “apa imbalannya? aku dapat apa?” Sementara jika tidak mau korupsi, saya takut kalah kaya dari tetangga. Sementara jika mau melakukan perbaikan, selalu saja ada bisikan, “Main aman saja, jangan jadi pahlawan kesiangan.” Sementara Bunda berserah “Terjadilah KehendakMu,” dan sebuah malapetaka kemudian menjadi ganjaran buat Buah Tubuhnya.

Merujuk perkawinan di Kana, saya “menghadap” Sang Bunda, untuk menyampaikan bahwa hidupku lelah oleh pandemi super tak pasti, “anggur telah habis,” dan memohon bantuan Bunda untuk melaporkan masalah ini kepada Puteranya. Namun tak lama kemudian Bunda akan kembali dan berbisik kepadaku, “Puteraku sudah memberimu petunjuk berkali-kali, tetapi tidak ada yang mau kamu ikuti.” Upss!

Oh ya, tentang perkawinan dan pandemi, saya teringat pada sebuah cerita tentang cincin kawin yang sempat didoakan di hadapan patung Sang Bunda. Sebuah cerita tentang karya penebusan. Meski bukan penebusan yang monumental seperti karya Sang Putera, namun sebuah penebusan untuk melanjutkan kehidupan keseharian, penebusan cincin kawin dari kantor pegadaian.

Doakanlah kami yang berdosa ini. Sekarang dan waktu kami mati. Amin

Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis buku/IG/FB: @henrycwidjaja

4 KOMENTAR

  1. Woww,sangat menyentuh Henry.Kebetulan,sy adalah pendoa Novena dan Rosario.Rosario sy selalu daraskan disetiap pagi,dg tidak lupa mendoakan suami,anak2,sekarang ditambah mantu2 dan Cucu2.Pandemi?sangat luar biasa pengaruhnya thdp bisnis kita.Tapi dg kekuatan doa yg sy lakukan setiap pagi,syukurlah sampai sekarang saya masih tegar menghadapi setiap persoalan.Banyak berdoa,bersyukur atas segalanya kunci menghadapi setiap masalah hidup.Tq Henry untuk pencerahannya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini