GEREJA DAN PERILAKU ONLINE

1159
RUY Pamadiken, Kontributor

HIDUPKATOLIK.COM – JAGAD online telah mengubah perilaku manusia. Lihat saja ibu-ibu rumah tangga tiba-tiba berubah peran menjadi guru harian anak-anak. Entah belajar atau tidak tentang pedagogi atau metodologi mengajar, yang penting tugas sekolah anak yang diberikan melalui sfh alias school from home sudah selesai. Besok urusan besok karena harus belanja, memasak, nyuci, nyetrika dan lain-lain. Bayangkan kalau ada anak 5 (lima) biji di rumah dan semua online sementara ayah bekerja. Tinggal ibu sendiri di rumah, mengawasi semua yang online. Iya kalau   internet di rumah lancar, kalau ada yang lemot jadi ribut. Anak yang dari pagi duduk manis, setengah siang mulai ngulet dan siang hari kemudian mulai berbaring di lantai. Budrek.

Seragam-seragam sekolah sudah jarang dicuci dan disetrika. Rambut siswa-siswa sekolah menengah dibiarkan panjang. Banyak yang suka dengan keadaan ini karena bisa sekolah tanpa mandi dan pakai seragam, atau harus upacara bendera. Ada yang tampil dengan dua scenes di layar. Satu layar kelas sekolah, satu layar game. Dan sukses dua-duanya. Mungkin tiga-tiganya.

Barangkali Abraham Maslow perlu menambahkan dalam teorinya tentang Hierarki Kebutuhan dengan Wi-fi sebagai kebutuhan dasar manusia. Mungkin paling dasar saat ini. Ibu boleh telat masak di rumah asal wi-fi lancar. Ketika internet bermasalah semua komplain dan anak-anak keluar dari kamar masing-masing karena merasa tidak ada yang bisa dikerjakan tanpa internet, dan baru bertemu muka entah dari pagi, atau sudah dua hari tidak bertemu dengan orang serumah. Yang lain boleh hilang asal jangan handphone.

Orangtua, yang lahir dari generasi baby boomers syok karena terbiasa dengan tatap muka – kalau tidak bertemu tidak afdol – tiba-tiba kesepian tidak ada teman, atau kalau harus bertatap muka melalui aplikasi di layar komputer. Ada yang gratis (terbatas waktu), ada yang berbayar. Perubahan perilaku yang terpaksakan namun lama-lama bisa karena biasa.

Perilaku industri karena wabah pandemi Covid-19 dan keharusan ber-online ria juga berubah. Sebut saja misalnya pariwisata, perhotelan, kuliner, perbankan, jasa, dan lain-lain. Tiba-tiba cara berbisnis berubah sangat efisien melalui kemajuan teknologi. Untuk membuka bisnis restoran saya tidak perlu memerlukan ruangan yang luas, cukup membuat dapur 3×3 meter persegi dan promosi masakan melalui aplikasi atau media sosial. Yang mengantre adalah para sahabat ojek untuk di-take-away. Praktis dan murah. Ibu-ibu rumah tangga untuk memulai bisnis kuliner hanya perlu meng-upload makanannya di depe, dan orderan sudah datang. Dia berproduksi based-on pesanan. Efektif. Asisten di rumah tidak perlu ke luar rumah untuk beli bawang merah dan cabai, cukup WA tukang sayur dan diantar ke rumah. Cepat dan murah. Industri perbankan juga mengalami perubahan yang luar biasa. Banyak fungsi dan pekerjaan di dalam perbankan sudah dihapus dan digantikan oleh mesin dan aplikasi di smartphone terutama transaksi-transaksi.  Mengambil uang cash dalam jumlah ratusan juta pun di bank sudah dilayani oleh aplikasi dan mesin. Rapat-rapat bisnis atau kantor tidak memerlukan ruangan lagi, cukup dengan aplikasi atau e-conference. Ekonomis. Perjumpaan antarmanusia semakin jarang dan berjarak.

Ketika perjumpaan dengan manusia semakin jarang, bagaimana dengan upacara-upacara Liturgi Gereja? Bagaimana sosialisasi kekerabatan antarumat untuk menumbuhkan iman bisa dirambatkan? Pertanyaan selanjutnya bagaimana anak-anak bersosialisasi dengan kehidupan Gereja di paroki? Apakah Gereja perlu mengubah perilaku beribadah sesuai dengan zamannya? Dan banyak pertanyaan lain yang bisa muncul. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena dua hal yang sudah disebutkan, yakni, pandemi Covid-19 dan tawaran fasilitas kemajuan teknologi komunikasi yang memadai. Praktiknya, otoritas keuskupan sudah menanggapi dengan mengadakan Misa online dengan partisipasi umat terbatas. Kolekte bisa ditransfer melalui online atau QRIS. Bagaimana dengan komuni batin? Hal terakhir ini masih pro dan kontra di kalangan para pemikir Gereja. Generasi terdahulu secara umum dan acak lebih menginginkan situasi ibadah kembali seperti sebelum wabah. Kumpul bareng dan guyub. Mak nyes kalau terima komuni langsung. Hal yang mungkin harus dipendam lama seiring dengan menghilangnya virus. Kapan? Nobody knows. Sementara anak-anak yang lahir dalam generasi millennials akan lebih akrab dengan online.

Beberapa pertanyaan yang saya sampaikan kepada anak-anak memberikan gambaran nyata kepada saya, meskipun bukan sebagai prototype.

Bagaimana tanggapanmu mengenai Misa online?

“Ya, efisien. Saya tinggal turun ke bawah dari kamar, kalau sudah selesai tinggal naik lagi. Tidak perlu berpantas dengan pakaian, make-up, parfum, rambut, irit di ongkos dan tidak meresikokan diri terkena covid”. Jawaban cepat, spontan dan tidak perlu berpikir lama. Saya kemudian bertanya kepada adiknya (yang sering ikut misa online hari Minggu tapi jarang mandi):

Apakah kamu merasa pantas di hadapan Tuhan melalui misa dengan keadaan seperti itu?

“Ya pantas, karena menurut saya berpakaian bagus-bagus dan tampak good looking kalau misa di gereja itu hanya memenuhi kepantasan sosial, tapi tidak fokus kepada Tuhan. Konstruksi sosial yang mengharuskannya. Klo di rumah saya merasa lebih bebas bertemu dengan Tuhan. Saya mau berlutut atau berdiri itu sesuai dengan hati saya”. Saya tercengang. Saya bertanya kepada mereka berdua:

Apakah ada perbedaan antara mengikuti misa online di rumah dengan di gereja?

Nggak ada. Sama saja. Itu tergantung dari penghayatan masing-masing. Kan tidak tergantung tempat”. Saya semakin penasaran dengan anak-anak ini:

Apakah kamu merasa ada semacam kebebasan dengan tiadanya keharusan untuk Misa di gereja, padahal kamu dari sekolah Katolik yang rutin menyelenggarakan Misa?

“Justru karena itu. Di sekolah banyak hal diharuskan tapi tidak dijelaskan. Kami ngerti peraturan tapi nggak “why”nya. Banyak kok yang agnostik dan cenderung ateis. Klo kita baca di Injil kan lebih banyak mengajarkan cinta dan kebebasan anak-anak Allah, tapi pelajaran agama di sekolah dan praktik beragama di sekolah tidak menampakkan itu”.

Jadi kamu “enjoy” aja dengan Misa online ini? Bagaimana kamu berjumpa dengan teman-teman gerejamu?

“Yeee … kuno. Kami lebih sering ketemu di Instagram, Line, Tweet, WA, Google Meet, Zoom, dan banyak berbagi juga. Iyalah kami enjoy. Irit”.

Saya merenungkannya. Barangkali tidak mewakili keadaan nyata yang lebih besar dan kompleks karena tidak semua keluarga mempunyai fasilitas perangkat teknologi, atau mungkin ruangan rumah terlalu sempit dan panas untuk bersama mengikuti Misa online, namun saya melihat satu hal yang jelas bahwa Gereja sedang menghadapi tantangan yang sangat besar di bidang katekese dan pastoralnya.

Belajar dari kondisi gereja-gereja Katolik di Eropa Barat yang ditinggalkan oleh orang mudanya, ketika Gereja tertatih untuk mengontekstualisasikan ajarannya maka pelan tapi pasti, akan tiba saat tiba-tiba merasa left behind.

RUY Pamadiken, Kontributor (Tangerang)

 

 

 

 

1 KOMENTAR

  1. Kisah keselamatan datang lewat “perjumpaan”. Masihkah relevan? Masihkah perjumpaan dg sesama diperlukan? Kisah Matius, Petrus, Zakeus, Markus sbg murid Petrus dst dst. Gereja lewat kurnia adikodrati dalam Sakramen? Cukupkah OL? Arti kata “paroki” masih ada artinya? Tuhan transendent, ttp manusia merindukan imanensi Tuhan dlm sesama. Perenungan masih panjang, selamat mencari mutiara dlm lorong Tuhan yg secara khusus br sj kita kewati dalam BKSN 2020. SALAM IN XTO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini