SAH VS BENAR

666
Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis Buku

HIDUPKATOLIK.COM – DISEBUT sah, jika setiap pengeluaran uang ada kuitansi tanda terima pembayarannya. Disebut benar jika uang yang dibayarkan sesuai dengan harga yang sesungguhnya. Namun, selama ada kuitansi, auditor keuangan, yang tidak mau capai, tidak akan repot-repot mengecek berapa harga barang yang sama di toko yang lain.

Disebut sah, jika pernikahan itu berdasarkan surat nikah. Disebut benar jika pernikahan itu berdasarkan cinta. Namun terdengar kabar, pria asing bisa tinggal serumah dengan wanita lokal secara sah, dengan menggunakan mekanisme surat kawin kontrak.

Dalam mengambil SIM, tanggal lahir yang sah adalah yang tercantum dalam KTP, meskipun bisa berbeda dengan tanggal lahir yang sebenarnya, misalnya dalam praktek curi umur.

Dalam proses adopsi, orang tua yang sah adalah orang tua angkat yang namanya tercantum dalam akta lahir si anak, dan bukan orang tua kandung yang melahirkannya.

Tidak ada yang melarang seorang mantan kasir, yang pernah menggelapkan uang perusahaan, diangkat kembali menjadi kasir. Sah-sah saja. Tetapi pastinya terasa ada yang mengganjal. “Kok begitu?” Apa penyelewengan lama tidak akan terulang lagi? Apa tidak ada posisi lain, jika masih mau diberi kesempatan? Ada persoalan yang terasa tidak lurus logikanya.

Tidak ada yang melarang mantan napi korupsi menjadi pejabat publik. “Sah-sah saja”, sambil mengurut dada karena terasa ada yang mengganjal, tidak bisa menerima kenyataan, meski Yesus telah meneladani dengan berkata, “Sekarang pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi,” (Yoh. 8:11) kepada wanita pezinah yang menurut hukum Musa seharusnya dilempari batu sampai mati.

Sesuatu disebut sah, jika sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Sesuatu disebut benar, jika sesuai dengan sebagaimana adanya, sebagaimana aslinya.

Contoh dari dunia usaha, dalam membentuk koperasi, jika ingin langgeng, jauh lebih penting untuk menumbuhkan dahulu nilai luhur yang sama di antara anggotanya, seperti penyamaan misi, kejujuran, kesaling percayaan, kekompakan dan keterbukaan, ketimbang buru-buru ke notaris untuk mengurus keabsahan legalitas badan hukum koperasi itu.

Nilai luhur itu adalah sesuatu yang benar, sedang badan hukum adalah sesuatu yang sah. Hal yang benar adalah ‘isi’. Sedang hal yang sah adalah ‘bentuk luarnya’. Nah, kalau dicocok-cocokkan dengan paham para arsitek bangunan, dikatakan bahwa “bentuk mengikuti fungsi” bukan sebaliknya.

Sesuatu yang benar mengandung kejujuran, apa adanya, sedang sesuatu yang sah mengandung kepentingan, agar amannya. Dalam proses penciptaannya, hukum memang melalui proses adu kepentingan, dan terkadang kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama, yang mempunyai jumlah suara terbanyaklah yang menang. Terbanyak, tidak mesti terbenar.

Karena menyangkut kepentingan, soal keabsahan memang lebih seksi, lebih kasat mata. Sedang soal kebenaran karena mesti jujur, menjadi urusan hati, bakalan rempong menggali yang hakiki. Apalagi sejak zaman Romawi, Pontius Pilatus, sebagai pemegang supremasi hukum, sudah bertanya kepada Yesus, “Apa artinya kebenaran?” (Yoh. 18:38).

Dalam kehidupan keseharian, persoalan ‘sah versus benar’ ini pun juga terjadi. Misalnya, ketika mencari asisten rumah tangga, yang manakah yang akan kita pilih? Asisten yang ngomongnya njeplak, genre Bu Tejo (Tilik), tapi kerjanya rajin dan rapi, atau yang tata bahasanya santun tetapi sukanya “kucing-kucingan”.

Dan lebih pribadi lagi, adalah tentang agama. Kelihatannya, agama cenderung semakin kuat memperkokoh diri menjadi sistem hukum yang mengatur perilaku masyarakat. Soal keabsahan, yang tertuang dalam perkara tatacara dan keseragaman perilaku, menjadi yang utama. Sehingga kembali, berbagai kepentingan ikut bicara. Yang patuh mati mengikuti aturan ritual akan lebih terkesan kudus dan terpandang, ketimbang ia yang melayani kebutuhan sosial umat, yang biasa bekerja dalam senyap.

Kalau ditarik ke soal keabsahan komuni batin yang kita jalani selama masa pandemi ini, misalnya, atau juga keabsahan doa tanpa membuat tanda salib, secara bergurau bisa dijawab, “Kalau mau lebih sah, lebih baik komuni batin atau mendaras doa, dilakukan di hadapan notaris, dengan dua saksi dan bermeterai cukup.”

Sebagai jalan menuju yang Ilahi, yang memang sumbernya di hati, semoga agama tidak terjebak melulu mengedepankan keabsahan dan mengesampingkan Kebenaran. Semoga agama tidak melupakan bahwa ia adalah bentuk luar dari isi yang hakiki, isi yang merupakan bintang pemandu dalam mengarungi samudera kehidupan, yaitu Cinta Kasih, sebagaimana juga diingatkan-Nya, “Hari Sabat dibuat untuk manusia; bukan manusia untuk hari Sabat.” (Mrk. 2:27)

Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis buku “Merayakan Sang Momen, Kumpulan Puisi Foto Hitam Putih”/@henrycwidjaja

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini