HIDUPKATOLIK.COM— Seorang sahabat yang lama tak kontak mengirim pesan melalui WA. “Payah. Jalan masuk ke rumah dipasang banyak ‘polisi tidur’. Berdekatan, tinggi, dan curam”. Pengurus RT berinisiatif memasangnya, karena ‘keamanan’ jalan mulai terusik. Lalu-lintas hiruk-pikuk, motor ngebut, dan mobil berlenggang seenaknya.
Lantas apa yang salah dengan ‘polisi tidur’? Jawabnya adalah cara memasangnya. Ketika pemuda-pemuda RT diberi wewenang memasang ‘polisi tidur’, terjadilah ‘penyalahgunaan kekuasaan’. Mereka merasa bisa berbuat semaunya, tanpa batasan, tanpa aturan, dan tanpa tenggang-rasa. Dendam kepada pengguna lalu-lintas yang mengganggu kenyamanannya selama ini, terlampiaskan.
Membangun ‘polisi tidur’ memang perkara sepele. Tapi, kisah di atas mengajarkan bahwa kekuasaan, besar atau kecil, bila tak disertai mekanisme kontrol yang memadai, mudah melahirkan kekeliruan.
Fenomena ini sudah lama diungkapkan oleh seorang tokoh sejarah, politisi dan penulis terkenal dari Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton (1834-1902). Lord Acton menulis surat kepada Uskup Anglikan, Mendell Creighton, pada tahun 1887. Nadanya mengingatkan pemimpin agama itu. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men”.
Mungkin Lord Acton berlebihan. Tetapi kepekaannya dalam melihat “bahaya” kekuasaan, pantas dicermati dan diwaspadai.
Drama ‘polisi tidur’ sekaligus membuktikan bahwa “kekuasaan” tak dibedakan oleh besar atau kecil. “Kekuasaan” tanpa kontrol, tanpa check and balance, tanpa pengawasan, tanpa penegakan aturan hampir pasti membuahkan penyelewengan.
“Kekuasaan” membuat orang gamang, sekaligus membingungkan. “Power is absurd”. Orang mudah tergelincir karena menerjemahkan sekehendak hatinya.
Plato (428-348 SM), pemikir terkenal asal Yunani, berpendapat bahwa dari power yang digenggamnya, orang bisa ditandai sikapnya. Ini sangat tergantung kepada tata-nilai yang berada di dalam dirinya. “The measure of a man is what he does with power.”
“Kekuasaan” dibayangkan sebagai musuh yang senantiasa mengancam. Bersama “harta”, ia digambarkan bak dua bayangan hitam yang siap menerkam si pemegangnya. Ironis, meski menakutkan, ketika mendapatkannya, kebanyakan orang malah bersuka-cita. Lengah dan kemudian terjerumus karenanya.
Seharusnya ia digenggam dengan hati-hati, prihatin atau malah “ketakutan”. Sedikit alpa, berubah malapetaka. Power is a mandate. Amanah, tanggung jawab, tetapi gampang berubah menjadi beban dan harus dikembalikan kepada si pemberi, pada saatnya.
Pembuatan ‘polisi tidur’ adalah contoh “kekuasaan” sederhana yang melenceng. Tapi jangan lupa, “kekuasaan” baru saja menerjang tiga jenderal Polisi yang diduga menyalah-gunakannya. Soeharto diturunkan dari takhta setelah 32 tahun berkuasa. Begitu pula banyak pemimpin dunia yang jatuh karena alasan yang sama.
Suami atau isteri, bisa berlaku tak semestinya kepada pasangannya. Untuk urusan yang simpel sekali pun, seperti petugas admin dari sebuah grup WA atau pengurus dari sebuah kumpulan sosial, “kekuasaan” bisa berubah bentuk menjadi monster yang menakutkan.
“Kekuasaan” biasanya identik dengan jabatan. Jabatan adalah pengabdian. Posisi adalah melayani. Takhta adalah menghamba. Itu yang ditulis oleh Robert K Greenleaf dalam buku “Servant Leadership” (1977).
Greenleaf, seorang ahli yang passion di bidang people development dan leadership, mengatakan, pemimpin adalah seseorang yang mendapat tanggung jawab memegang kekuasaan. Tugas utama dan pertamanya adalah melayani yang dipimpinnya.
Spirit kekuasaan bukan menguasai, bukan mencari keuntungan untuk pribadi, bukan menyilakan materi masuk ke dalam pundi-pundi, tapi melarut bersama komunitas yang dipimpin. Kemudian, tumbuh bersama-sama dengan seluruh anggota.
“The servant-leader is servant first.” Prinsip itu menghilangkan kondisi licin dari sebuah “kekuasaan”. Pemegangnya tak mudah tergelincir. Dalam konteks itulah “kekuasaan” akan aman, sejahtera dan bermakna. Kekuasaan akan berkah bila punya hati bersih dan tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. (Mat 10;16).
Sri Sultan Hamengku Buwono IX memaknainya dalam buku “Takhta untuk Rakyat” (1982). Ia mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. ”Memayu hayuning bawana. Ambrasta dur hangkara”.
Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Muhamadiyah dan pergerakan nasional, serta pahlawan nasional mengungkapkan dengan kata-kata yang berbeda, dengan arti yang senada. “Leiden is lijden” (Memimpin adalah menderita).
Robert Greenleaf, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Mr. Kasman Singodimedjo berasal dari tempat atau zaman yang berbeda. Mungkin mereka tidak pernah mendiskusikan hal ini. Tetapi konsep tentang pemimpin dan power yang digenggamnya, tak berbeda. Takhta adalah menghamba. Baru kepemimpinan bisa dirasakan.
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,” (Mat 20;26).
PM Susbandono
(Pengamat SDM & Penulis buku-buku inspiratif)