HIDUPKATOLIK.com – Hampir saja masyarakat di Manggarai tidak kenal nama sebenarnya. Karena, dia selalu akrab dengan satu dunia pastoral yang aneh. Seorang pastor bersentuhan langsung dengan semen dan pembangunan insfrastruktur jalan sekitar tahun 1970. Itu “aneh”. Membelalakkan mata umat? Karena, pastor itu harus dekat dengan urusan cura animarum ‘keselamatan jiwa’. Berlutut lama di depan tabernakel Sakramen Maha Kudus.
Di atas kuda harus buka brevir dan komat-kamit berdoa; di tangan mesti menggenggam rosario. Banyaklah ragamnya. Di luar dari urusan jiwa-jiwa,
yang rohani, itu bukan zonanya pastor. Tetapi konteks pastoral menuntutnya banting stir, tentu dengan sadar, untuk berkarya di zona tidak nyaman itu. Orang banyak pun memanggilnya “pastor sak semen”. Bukan pastor sakramen. Mendiang Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Ben Mboi memberinya julukan: Pimpro: pemimpin proyek. “Peran dan karya Pater Stanis tidak lepas dari impian Gereja Katolik di Pulau Flores, bahwa missionering, penyebaran kabar gembira mustahil tanpa melibatkan Gereja dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat Flores. Tidaklah mengherankan ketika ada proyek dari Swiss untuk membangun jalan-jalan di luar jalan sumbu Flores, di Manggarai, Pastor Stanis melibatkan diri dengan
imbalan yang tidak berarti”.
Saya kira Alm. Pastor Stanis sangat memperhatikan dengan serius, merawat dua dimensi penting kehidupan. Bukunya Demi Kebenaran mencatat beberapa pernik indah untuk merapikan dimensi kerohanian, agar tetap mengakar dalam sabda: rekoleksi, perayaan Natal, puasa, adven. Dia tidak stop di situ. Yang rohani dikonkretkan, itu imperatif pastoral! Dia pun berkisah tentang “jalan di Flores”, di muka jembatan bambu, konstruksi diikat dengan tali saja. Om sopir melihat sejenak waktu jembatannya, membuat dengan seksama tanda salib, dan pelan-pelan mulai jalan, jembatan goyang, batang-batang bambu melengkung, ikatan tali merenggang, sampai titik terakhir kemampuannya truk lewat dan sopir (kami juga) bernafas lagi dengan lega. Kami merasa setiap bahaya dengan seluruh diri kami mulai dari telapak kaki sampai ujung rambut.
Kisah vivere periculoso itulah yang juga dihayatinya di Manggarai Flores Barat. Aroma keringat (dan juga air mata) Pastor Stanis dan rekan-rekannya para tukang lokal masih “terbaptis” di bebatuan jalanan Manggarai, yang menantang, sarat bahaya dan nyerempet nyawa. Kebe Gego yang super sulit: terjal, curam, berbatu, sadis, sangar, angker, ditakuti, markas penghuni setan dan jin, tidak membikin nyalinya ciut. Ia menyingsingkan lengan bajunya sampai ketiak, tanpa takut, dengan “iman dalam perbuatan” sang petarung ini membongkar cadas keras, batu yang keras kepala, diajaknya dengan hati untuk berlapang dada membuka sejengkal isolasi komunikasi jalur jalan pantai selatan itu. Keuletan bermental baja, “kemerdekaan aktual” pun dirasakan masyarakat banyak.
Kini, jalur jalan itu sudah menjadi sangat ramah, dengan kelokan yang menawan. Jauh dari aneka kecemasan, membahayakan nyawa manusia.
Sempatlah mampir sejenak napak tilas tentang seorang tokoh. Karena satu spot dengan view yang sangat elok ada di depan mata.
Di satu tikungan tajam, saya sempat menyaksikan rombongan bule. Mereka berfoto ria dengan latar persawahan hijau dan liukan jalan yang indah. Mungkin ini sepercik kisah “The Name of Rose” yang disingkapnya walau tidak tuntas: apa dan
bagaimana itu. Bila tebing nun terjal jalur Todo punya suara pastilah bebatuan itu serentak bilang: Oe, kraeng tuang Stanis itu orang hebat!”
Atas jasanya yang luar biasa itu pemerintah menganuerahkan cincin emas bersama rekannya Pastor Ernest Wasser, SVD. Komunitas masyarakat
Paroki St. Maria Bunda Segala Bangsa Narang punya cerita untuk menggambarkan heroisme itu. “Bagi kami, ada dua juru selamat dunia. Yang pertama, Yesus Kristus orang Nazaret; dan juru selamat yang kedua adalah Pastor Stanis Ograbek,” ujarnya.
Betul, Pastor Stanis itu seorang “hero”. Pahlawan yang wafat dan menorehkan sejarah. Dia sungguh menghayati Firman yang telah menjadi manusia. Dia mati untuk satu kehidupan yang langgeng.
“Tetapi saya tidak merasa menghilang di dalam kegelapan malam. Sama sekali tidak! Barang kali saya akan hancur karena batu-batu penggiling, tetapi kata-kata yang saya sambung ke dalam kalimat, saya sambung dengan jujur atas nama
kebenaran,” ujarnya suatu saat. RIP, Pater Stanis!
Pastor Wilfrid Babun, SVD
HIDUP NO.10 2020, 8 Maret 2020