JANGAN LAGI: MATA GANTI MATA, GIGI GANTI GIGI

633
(Dok. LDS)

HIDUPKATOLIK.COM

Senin, 15 Juni 2020

Memilih Jalan Kasih

1Raj. 21:1-16; Mzm. 5:2-3,5-6,7; Mat. 5:38-42 

NABOT dibunuh karena mufakat bu-suk yang dirancang Izebel, istri Raja Ahab, agar sang raja dapat merebut kebun anggur miliknya. Kejahatan selalu ada dari zaman ke zaman. Bagaimana menyikapinya, terutama bila kejahatan menimpa hidup kita? Yesus mengajarkan, “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,…” (Mat 5:38-39).

Tahun 1981, Santo Yohanes Paulus II memaafkan dan mengunjungi pe-nembaknya, Mehmet Ali Ağca. Bulan Maret 2014, seorang mahasiswi berusia 18 tahun, Ade Sara Angelina Suroto mening-gal karena dibunuh dengan keji oleh dua orang sahabatnya. Ibu kandung Ade, Elisabeth Diana, umat Paroki Keluarga Kudus Rawamangun, Jakarta Timur, segera menyatakan, bahwa dia memaafkan dua pelaku pembunuhan anaknya. Elisabeth juga datang ke penjara mengunjungi kedua pembunuh anak tunggalnya itu.

Baik Paus, maupun ibu rumah tangga seperti Elisabeth, memilih untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Itulah ciri pengikut Kristus, rela berjuang untuk menjadikan hidupnya sebagai Injil terbuka. “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi” tidak berlaku untuk mereka. Apakah mudah? Tentu saja tidak. Dalam penderitaannya, Elisabeth memilih jalan kasih, bukan dendam.

Selasa, 16 Juni 2020 

Berani Tampil Beda

1Raj. 21:17-29; Mzm. 51:3-4,5-6a,11,16; Mat. 5:43-48 

KETIKA Nabot dibunuh dan dirampas dengan kejam, Allah tidak tinggal diam. Ia mengutus Elia sebagai suara yang menuntut pertanggungjawaban Ahab. Diungkapkan juga, bagaimana Ahab dan keluarganya akan mati, dengan cara yang tidak kalah mengerikan. Keadilan Allah berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Namun di balik keadilan Allah, ada kerahiman-Nya, yang membuka ruang pertobatan bagi si jahat, yang kuat dan berkuasa.

Kita diundang untuk berani tampil beda, yaitu mengasihi musuh, seperti yang dilakukan Yesus. Mengapa harus demikian? Karena, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Mat 5:46-47).

Itulah identitas kekristenan dan jalan kesempurnaan. Kita menjadi sempurna, bukan dengan pandai mengajar atau berkhotbah, bukan dengan rajin ibadah dan memberi banyak kolekte. Kesempurnaan bukan pertama-tama menjadi manusia yang nihil dari kelemahan, tetapi menjadi pribadi yang terbuka menerima anugerah, untuk mengampuni dan mengasihi musuh-musuh yang berbuat jahat.

Rabu, 17 Juni 2020

Mencari Upah Surgawi

2Raj. 2:1,6-14; Mzm. 31:20,21,24; Mat. 6:1-6,16-18

ABRAHAM Maslow (1908-1970) adalah psikolog humanistik dari Amerika Serikat yang terkenal dengan teori hierarki kebutuhan. Ia menempatkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan manusia tertinggi. Sikap ini tak jarang terbawa dalam laku sedekah, doa, dan puasa. Di mana, orang tidak lagi berpusat kepada Tuhan, tetapi kepada pemenuhan diri. Injil hari ini mengingatkan pentingnya intensi murni di balik semua tindakan kita.

Aneka aplikasi media sosial pada era digital saat ini, siap memberi makan kepada mentalitas pamer dan memenuhi kehausan manusia akan popularitas. Ambisi mencari apresiasi publik sangat disuburkan olehnya.  Kewajiban agama mudah dijadikan tontonan atau hiburan dangkal, yang mematikan semangat berkorban. Jika tidak bijak dan kurang cerdas memanfaatkannya, dia siap membelokkan semua ungkapan dan tindakan iman, ke arah pencarian pujian dunia yang sia-sia.

Sedekah, doa, puasa atau laku tapa apapun ingin kita amalkan bukan demi mencari muka. Pelaku mati raga dan amal bakti yang sejati tidak membutuhkan panggung duniawi. Dia rela memasuki keheningan batin dan meniti jalan sunyi, di mana hanya ada dia dan Tuhannya. Ibadah dan amal otentik, ditandai dengan tumbuhnya relasi intim antara manusia dan Allah, yang memampukan orang untuk berjuang serta rela berkorban demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama. 

Kamis, 18 Juni 2020

Doa Bapa Kami

Sir. 48:1-14; Mzm. 97:1-2,3-4,5-6,7; Mat. 6:7-15

DALAM catatan Lukas, Doa Bapa Kami diungkapkan Yesus, ketika Ia menjawab kerinduan salah seorang murid-Nya, yang mohon diajari berdoa. Matius mencatat-nya dalam kesatuan dengan wejangan Yesus perihal berdoa. Godaan untuk menjadi munafik, mencari muka dan bertele-tele dalam berdoa, sangatlah nyata baik pada zaman Yesus maupun pada masa kini. Doa Bapa Kami membantu kita untuk keluar dari doa yang berpusat pada diri sendiri.

Penggunaan kata “kami”, memper-lihatkan bahwa doa ini adalah doa komunal, bukan doa personal. Kita tidak berdoa sendirian, melainkan bersama seluruh Gereja. Banyak orang berdoa, dengan sikap seolah-olah Tuhan harus menyesuaikan diri, untuk memenuhi permintaan dan kehendak si pendoa. Doa Bapa Kami dimulai dengan memuliakan Tuhan, dan mendorong pendoa untuk mau terbuka menyesuaikan dirinya dengan kehendak Tuhan.

Doa Bapa Kami juga menekankan, bagaimana relasi akrab dengan Tuhan, yang harus diwujudkan dalam relasi damai dengan sesama, sebuah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Mereka yang mencari kehendak Tuhan dan merindukan nama Tuhan dimuliakan, tidak bisa hidup dalam permusuhan, melainkan dalam kerelaan untuk mengampuni sesama, sebagaimana dia membutuhkan pengampunan Allah.

Jumat,19 Juni 2020

Datang kepada Yesus

HR Hati Yesus yang Mahakudus.Ul. 7:6-11; Mzm. 103:1-2,3-4,6-7,8,10; 1Yoh. 4:7-16; Mat. 11:25-30

YESUS tidak membenci kebijaksanaan dan kepandaian. Dia mengajukan sesuatu yang perlu diwaspadai pada orang bijak dan pandai, yaitu kepongahan yang menggelapkan mata, sehingga tak mampu melihat apapun, kecuali dirinya sendiri. Yesus mengangkat kesederhanaan hati orang-orang kecil, yang memungkinkan mereka untuk membuka diri dan menangkap rahasia Ilahi. Allah berkenan pada orang yang rendah hati.

Kita sering menerima dan membaca propaganda dunia, yang sangat mengelu-elukan seseorang atas kemahiran, kepandaian, dan kompetensi di suatu bidang tertentu. Yesus menyampaikan sebuah undangan, yang bukan propaganda duniawi. Dia menawarkan diri-Nya sendiri. Yesus ingin membawa semua orang, masuk ke dalam Hati Kudus-Nya, yang lemah lembut, damai, dan penuh ketenangan.

Praktik devosi kepada Hati Kudus Yesus, sebagai lambang cinta dan pe-nebusan-Nya, telah dimulai sekitar tahun 1000. Banyak orang kudus dan tarekat religius yang terlibat untuk mem-promosikannya kepada umat. Orang kudus yang paling sering dikaitkan dengan devosi ini adalah St. Margareta Maria Alacoque (1647-1690), yang mendapat penampakan Hati Kudus Yesus di bawah bimbingan penasihat rohaninya, St. Claude Colombiere. Hati Kudus Yesus, kasihanilah kami.

Sabtu, 20 Juni 2020

Menjadi Ibu Teladan

PW Hati Tersuci SP Maria. Yes. 61:9-11; MT 1Sam. 2:1,4-5,6-7.8abcd; R 1a.; Luk. 2:41-51

INJIL hari ini menampilkan sisi manusia Yesus, yang hidup dalam pengasuhan ayah ibunya, namun, sekaligus keteguhan hati Yesus, untuk menaati kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Usai ibadah Hari Raya Paskah, Yesus tinggal di Bait Allah. Ia duduk di tengah alim ulama, sambil mendengarkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Pada usia 12 tahun, Yesus membuat semua orang merasa heran akan kecerdasan-Nya.

Ketaatan Yesus dan kesucian Maria, ibu-Nya, berpadu dalam kisah ini. Meskipun Yesus menegaskan kepada Maria, bahwa Ia harus berada di rumah Bapa-Nya, Ia toh pulang bersama-sama ayah ibu-Nya ke Nazaret dan Dia tetap hidup dalam asuhan mereka (2:51). Kendati Maria dan Yusuf tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka, Maria menyimpan semua perkara di dalam hatinya (2:50-51).

Para ibu yang ingin berhasil mendidik anak-anak, belajarlah dari Maria. Dari hati tersuci Maria mengalir jawaban “ya”, atas undangan terlibat dalam karya keselamatan Allah. Dari hati tersuci Maria meluap doa dan puji-pujian sejati, atas perbuatan besar Allah terhadap kerendahan hati hamba-Nya. Dalam hati tersuci Maria bersemayam penyerahan diri yang kuat dan mendalam, bukan penyerahan pasif yang melumpuhkan, tetapi penyerahan yang membuatnya berani berkorban melaksanakan kehendak Allah. Ave Maria.

“Mereka yang mencari kehendak Tuhan dan merindukan nama Tuhan dimuliakan, hidup dalam kerelaan untuk mengampuni sesama sebagaimana dia membutuhkan pengampunan Allah.” 

Monica Maria Meifung Alumna Prodi Ilmu Teologi STF Driyarkara Jakarta         

HIDUP NO.24, 14 Juni 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini