Nyong Franco: MENGHIBUR DUNIA DENGAN KEARIFAN LOKAL

853
Nyong Franco menerima piagam MURI di Balairung Jaya Suprana, 5/9/2018. Secara massal, lagu Gemu Fa Mi Re telah ditarikan di seluruh Nusantara. (Dok. MURI)

HIDUPKATOLIK.COM Melalui musik, Nyong Franco mempromosikan budaya Maumere. Bukan hanya untuk menghibur tetapi menonjolkan nilai-nilai budaya agar bisa terus hidup dalam diri generasi muda.

“PUTAR ke kiri e… Nona manis putarlah ke kiri… Ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri manis e..”

Siapa yang tidak kenal dengan penggalan syair lagu di atas? Hampir pasti semua masyarakat Indonesia, mulai dari pelosok desa hingga ke pusat kota pernah mendengar lagu “Gemu Fa Mi Re”. Para pendengar seakan diajak bergoyang bersama dengan iringan musik lagu ini. Tak hanya di Nusantara, berkat musiknya yang enak didengar, lagu ini juga populer hingga ke mancanegara. Banyak orang yang menyanyikan ulang ke berbagai versi dan mengunggahnya di media sosial.

Adalah Frans Cornelis Dian Bunda yang menciptakan lagu dengan syair, serta irama musik yang riang ini. Pria yang lebih dikenal dengan nama Nyong Franco ini mengatakan, ia menciptakan “Gemu Fa Mi Re” pada tahun 2011. Baru setahun kemudian, lagu ini mulai meluas dan menjadi fenomena tersendiri. Tahun 2018, “Gemu Fa Mi Re” bahkan memecahkan rekor dunia Museum Rekor Indonesia, lagu ini dibawakan serentak oleh TNI di 15 Kodam dan melibatkan 346.829 prajurit dari seluruh Indonesia. Momen ini dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun TNI yang ke-73.

Oleh-oleh

Nyong mengatakan, ide lagu “Gemu Fa Mi Re” muncul saat ia, bersama teman-temannya, tengah menyutradarai pembuatan sebuah album yang berisi lagu-lagu yang dikemas ke dalam VCD. Kebetulan, saat itu Nyong bertanggung jawab atas pembuatan syair, aransemen, pemilihan musik, hingga masuk ke dapur rekaman. Di tengah kesibukan itu, terbersit di benaknya ide membuat lagu dengan mengangkat bahasa daerah, dan bisa menjadi oleh-oleh dari tanah kelahirannya. “Saya ingin membuat lagu yang membuat orang datang, mereka merasa senang, dan saat pulang, mereka ingat lagu itu. Orang-orang boleh dengar lagu ini dan mereka boleh menjadikannya sebagai oleh-oleh dari Maumere,” ujarnya saat dihubungi awal bulan ini.

Nyong mengungkapkan, ia lebih suka menyebut “Gemu Fa Mi Re” ini “lahir” daripada “diciptakan”. Sebab, hampir semua kandungan musik, telah ada dalam dirinya sejak kecil. Dalam lagu ini pun, ada sepenggal syair yang merupakan nyanyian turun-temurun dalam keluarganya. Tak lupa, Nyong memasukkan unsur-unsur musik tradisional Maumere, Nusa Tenggara Timur, yaitu alat musik gong waning dan memberi sentuhan usil.

Dalam musik, Nyong menjelaskan, ada keselarasan bunyi atau disebut harmoni. Namun, yang muncul dalam musik “Gemu Fa Mi Re” adalah nada nonharmonik. “Pola atau pattern gong di Kabupaten Sikka itu paten bukan seperti akor, tetapi pola melodi yang diulang-ulang,” tutur Nyong yang juga mengajar seni musik di SMK Yohanes XXIII Maumere ini. Dia menambahkan, secara tidak sadar orang mendengar “konflik”. Namun di situlah keunikan lagunya.

Musik dan seni budaya daerah bukan hal baru bagi Nyong. Dia mewariskan darah seni dari ayahnya, Alm. Herman Yosef, yang menghidupkan berbagai kesenian daerah dengan mendirikan Sanggar Seni Bentara Zaman (Benza) bahkan sebelum Nyong lahir. Meski demikian, Nyong mengaku lagu, “Gemu Fa Mi Re” bukan genre yang sepenuhnya sesuai dengan minatnya. Ia justru lebih menggemari musik rock yang dikenalkan oleh seorang sepupu saat masih remaja. Karenanya, ia ingin membuat karya yang bisa mengawinkan genre musik etnik dengan genre lain, agar dia pun bisa menunjukkan sisi lain yang tersembunyi dalam dirinya.

Soal perbedaan genre ini bukan menjadi hal besar bagi Nyong. Ia tetap berupaya memajukan musik lokal. Bahkan sebelum “Gemu Fa Mi Re”, sudah ada beberapa lagu yang ia ciptakan. Dalam karya-karya musiknya, ia menampilkan irama, syair, tarian, dan busana yang kuat akan identitas lokal. Ia juga menyampaikan, sangat menikmati berkarya dalam dunia seni ini. “Tidak ada dukanya. Bisa menghibur orang itu ada kebahagiaan tersendiri, dengan musik banyak relasi yang terbangun, dan saya bisa mengumpulkan pundi-pundi rezeki untuk menghidupi keluarga,” ungkap Nyong.

Namun, Nyong juga tak menampik sempat dicurangi oleh label rekaman atau produser. Hak cipta “Gemu Fa Mi Re” pun pernah diklaim oleh beberapa pihak, berikut soal royalti, ketika syair dan lagu ciptaannya digunakan untuk kepentingan komersial. Yang disebutkan terakhir adalah ihwal yang kerap dialami para musisi daerah.

Kini, Nyong membocorkan, dirinya sedang mengerjakan proyek terkait musik gong waning. Ia menjelaskan dalam musik dikenal birama atau nilai ketukan. Pada gong waning, ada gong yang memiliki nada satu birama. Ini berbeda dari yang lain. Nyong terpacu membuat karya musik menggunakan birama itu, dan mengenalkannya kepada dunia. Harapannya, keunikan budaya ini tidak didiamkan begitu saja, apalagi sampai menunggu dikenalkan oleh orang luar.

Perhatian Nyong yang besar pada seni budaya daerah membuatnya dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Sikka. Tanggung jawab ini tentu tidak ringan. Wadah yang mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di kabupaten ini baru hidup kembali akhir tahun lalu, setelah vakum sekitar 14 tahun.

Kepada para seniman dan budayawan, Nyong berharap, mereka tidak membiarkan dirinya berjalan sendirian. Ia juga berharap, pemerintah daerah lebih memberi perhatian pada karya seniman lokal. Bukan hanya soal pendampingan agar kualitas karya semakin baik, tetapi juga agar nilai-nilai dalam karya seni yang dihasilkan para seniman, agar tidak melenceng dari ajaran sosial budaya tentang sopan santun, terutama penggunaan kata-kata dalam syair lagu berbahasa daerah. “Saya berharap, pemerintah bisa menggunakan kuasanya untuk lebih memperhatikan giat seni masyarakat, dan lebih lanjut memanfaatkan seni budaya untuk pengajaran budi pekerti, terutama anak-anak usia emas,” kata umat Paroki Katedral St. Yosef, Maumere ini.

Budi Pekerti

Nyong rupanya menaruh perhatian besar pada pembangunan karakter generasi muda. Ia mengungkapkan, dalam mengelola Sanggar Benza, panggilannya justru lebih besar tertuju kepada pendidikan karakter, karena melihat pola perilaku dan tata tutur anak-anak muda saat ini. Berbagai kegiatan seni di sanggar, antara lain tari, musik, teater, Nyong pakai sebagai pintu untuk mengajarkan budi pekerti.

“Sebelum dan sesudah berkegiatan kami berdoa bersama, kami juga memakai cerita rakyat dan mitologi yang mengandung ajaran budi pekerti yang luar biasa, seperti menghormati orangtua, juga bagaimana hidup berdampingan dengan sesama manuisa dan alam,” ujarnya lagi.

Bagi Nyong, ilmu dan keterampilan anak zaman sekarang boleh setinggi langit, tetapi bila tidak dibekali budi pekerti, akan menjurus pada penyimpangan. Inilah alasan, mengapa Nyong ingin mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai kearifan budaya ini dalam setiap karyanya.

Hermina Wulohering

Nyong Franco bersama Andre Hehanusa dalam Maumere Jazz Fiesta 2016. (Dok. Facebook/Tribuana Wetangterah)

Frans Cornelis Dian Bunda (Nyong Franco)

Lahir: Maumere, 3 Maret 1973

Isteri: Bernadetha Yunita Fransiaka

Anak: Elisa, Enya, Aljero, Icel, Ui, Jonathan

HIDUP NO.24, 14 Juni 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini