Caecilia Kapojos: HIKMAH DI BALIK WABAH

235
(Dok. Pribadi)

HIDUPKATOLIK.COM Ia berjuang merawat sang ibu yang terpapar Covid-19 secara mandiri di rumah tanpa alat pelindung diri. Teladan Santa Teresa dari Kalkuta menginspirasinya.

PERJUANGAN Caecilia Kapojos merawat sang ibu, Jeanne Novemke Elia Sinjal, yang terpapar virus korona atau (Covid-19) berbuah manis. Pertengahan Mei lalu, Rumah Sakit (RS) Stella Maris Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan Jeanne telah terbebas dari Covid-19.

Menurut informasi dokter, pasien Covid-19 dinyatakan sembuh, apabila setelah dua kali berturut-turut dilakukan swab test hasilnya negatif. Hasil swab test kedua yang dilakukan Jeane, setelah 14 hari dari swab test pertama yang menyatakan si pasien terpapar Covid-19, hasilnya negatif. Dengan hasil ini, Jeanne dinyatakan sembuh. Dinas Kesehatan Makassar lalu memasukkan namanya ke dalam daftar nama pasien yang sembuh dari Covid-19. “Halleluyah, puji syukur kepada Allah di surga,” tulis Sesil di akun pribadi Instagram-nya, @c1p1ka, Minggu, (17/5/2020).

Sembuh dari Covid-19, Jeanne selanjutnya tetap menaati protokol kesehatan. Ia menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya. Ia berolahraga ringan, serta mengonsumsi makanan bergizi. Hal serupa juga dilakukan Sesil dan asisten rumah tangga yang tinggal dan merawat ibu bersamanya. Bagi Sesil, ada pengalaman iman yang dijumpainya selama menemani dan merawat ibunda. Ada hikmah di balik wabah, kata perempuan kelahiran Makassar, 28 Februari 1982 ini.

Karantina Mandiri

Suatu hari pada awal Maret, Jeanne mengirim pesan di grup keluarga. Ia menulis, semakin senja usia rasanya semakin berkurang nafsu untuk makan. Pesan itu sontak membuat Sesil khawatir. Opanya dulu juga seperti itu. Ia tak ada gairah untuk menyantap makanan. Selang beberapa waktu kemudian, opanya meninggal. Sesil tak ingin “pratanda” seperti itu dialami oleh perempuan yang paling dicintainya di dunia ini.

Sesil terus memikirkan keadaan sang ibu. Terpisah oleh lautan, membuat ia tak bisa segera bertemu dengan perempuan yang telah melahirkannya. Ketika mendengar kantornya akan menerapkan bekerja dari rumah, terkait pandemi Covid-19, Sesil pun berencana pulang kampung dan menemui ibunya. Namun, niat Sesil tak disetujui oleh keluarganya di Jakarta. Mereka khawatir, di tengah pagebluk Covid-19, Sesil justru pembawa penyakit ke sana, hal ini justru kian memperparah kondisi kesehatan ibunya yang telah berusia 74 tahun.

Sesil tak mendengarkan larangan keluarga. Ia kekeh untuk menemui ibunya. Tiket pesawat sudah ia beli secara daring. Namun, beberapa jam sebelum terbang, Jeanne sendiri yang meminta putri sulungnya itu agar tak kembali ke Makassar. Sesil pun takluk. Ia membatalkan niat ke Makassar. “Itu karena permintaan mama sendiri,” ujar Sesil dalam siaran langsung di Instagram Majalah Hidup, @hidupkatolik, Senin, (4/5/2020).

Sepekan kemudian, persisnya Sabtu, 22 Maret 2020, Sesil kembali panik. Ia tak mendengar kabar ibunya. WhatsApp atau teleponnya kepada sang ibu tak berbalas. Di grup WhatsApp keluarga juga tak nongol satu pun pesan ibunya. Padahal menurut Sesil, ibunya salah satu anggota yang terbilang aktif mengirim pesan di grup WhatsApp keluarga.   

  Sesil menghubungi adik kandungnya di Makassar. Di situ, ia baru mengetahui, bahwa sang ibu dibawa ke RS dan diopname. “Ade saya mengabarkan pelan-pelan, mungkin maksudnya biar saya jangan panik, tapi justru saya yang malah semakin khawatir,” ujar Sesil, mengenang.

Sehari kemudian, sang ibu menghubungi Sesil dari RS. Saat itu, kata Sesil, napas ibunya terasa ngos-ngosan, suaranya juga pelan. Sesil amat sedih. Ia amat mengkhawatirkan kondisi ibunya. Rencananya untuk pulang ke Makassar kembali menyala. “Saya dan suami juga sebetulnya takut dan khawatir, tapi bagaimana lagi. Ini ibu sendiri,” ujarnya.

Keluhan awal Jeanne adalah mag. Itulah yang membuatnya tak bernafsu untuk makan. Ia kemudian mengalami batuk. Dari hasil pemeriksaan ditemukan pneumonia (paru-paru basah). Pada Minggu, 26 Maret 2020, hasil pemeriksaan mengonfirmasi kalau ibunda Sesil terpapar Covid-19.

Sesil menemani ibundanya menjalani swab test ke-2 di RS Stella Maris Makassar, Sulawesi Selatan. (Dok. Pribadi)

Selama di ruang isolasi, ibunya merasa kesepian, tak bersemangat, dan mentalnya down. Khawatir kondisi ibunya semakin parah, Senin, 30 Maret 2020, ia membeli tiket pesawat untuk pulang ke Makassar. Perjalanannya menuju tempat kelahirannya terasa dimudahkan, meskipun ada kekhawatiran di batin Sesil. “Saya pergi sendirian (ke bandara) di tengah wabah. Saya khawatir terjadi apa-apa pada saya. Tapi syukur, semuanya baik-baik saja. Saya tak putus berdoa,” akunya. 

Teladan Santa Teresa

Sepekan berada di RS, Jeanne memaksa untuk pulang, dokter akhirnya mengalah dan mengizinkannya untuk dirawat di rumah oleh Sesil. Pulang dari RS, dokter membekalinya dengan obat-obatan, antara lain obat batuk, obat lambung, antimual, obat antibiotik untuk paru, serta klorokuin. Namun, obat klorokuin itu akhirnya dihentikan dokter karena diduga menjadi penyebab jamur pada lidah dan pasien tidak nafsu makan.

Selama di rumah, kondisi Jeane dipantau dokter melalui aplikasi WhatsApp. “Saya diminta memantau napas, menghitung napas per menit, dan secara berkala melakukan video kondisi pasien, tampak wajah dan dada, lidah dan bibir saat kesulitan makan. Saat pasien berjalan juga harus divideokan,” ujarnya.

Sesil mengaku, mengalami banyak tantangan selama merawat sang mama. Selama lima hari pertama, kondisi ibunya lumayan parah. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemah, batuk, tidak nafsu makan karena merasa lidah pahit, serta membuang dahak terus.

Selama menjadi “perawat”, ujar Sesil, dirinya tidak memakai alat pelindung diri. Namun, ia patuh selalu memakai masker, rutin mencuci tangan, sering mandi, dan mengganti pakaian.

Takut tertular malah tidak terbesit di benak Sesil. Bukan berarti ia Covidiot. Sesil tetap patuh untuk menjaga jarak fisik dan menjaga kondisi tubuh dengan minum vitamin. Ia bersyukur, kondisi sang ibu berangsur-angsur membaik setelah hampir seminggu. Namun, pada awalnya, ia sempat merasa takut, ia tidak bisa merawat ibunya dengan baik sampai sembuh. “Yang paling ditakuti itu kalau gagal memotivasi mama supaya mau makan, minum obat, dan ikut anjuran dokter. Apalagi mama juga masih sering mengeluh karena adik-adik tidak ke rumah dan masih meminta pendeta datang untuk mendoakan,” katanya.

Ada satu peristiwa yang menguatkan semangat dan iman Sesil selama merawat ibunya secara mandiri di rumah. Suatu kali, sang adik berkata kepada Sesil. “Dia bilang, ‘berdoalah kepada Tuhan melalui perantaraan Santa Teresa dari Kalkuta. Santa Teresa semasa hidupnya selalu merawat orang sakit. Dia tak pernah sakit atau tertular dari pasien yang dirawatnya’,” ungkap Sesil, meniru kembali ucapan saudaranya itu.

Teladan Santa Teresa dari Kalkuta, aku Sesil, menginspirasinya selama merawat sang mama. Dalam tiap doanya, ia selalu memohon kepada Tuhan, melalui orang kudus itu. Teladan pendiri Kongregasi Para Suster Misionaris Cinta Kasih itu jugalah yang senantiasa menguatkan dirinya. 

Dukungan Sekitar

Banyaknya tantangan yang dirasakannya selama merawat sang mama. Hal ini membuat sesil memahami beratnya kerja para tenaga kesehatan, yang harus merawat banyak pasien Covid-19. Ia mengapresiasi karya para tenaga kesehatan, yang telah banyak berkorban, bahkan hingga bertaruh nyawa.

Sesil berterima kasih kepada banyak pihak yang telah membantunya, selama merawat sang mama hingga sembuh. Ada keluarga, tetangga sekitar, dan sebagainya. Sesil mengakui, selama mengarantina diri di rumah, tetangganyalah yang membelanjakan segala keperluan rumah tangga. Ia juga berterima kasih kepada asisten rumah tangganya yang setia dan sigap menemani dan membantu dirinya.

Menurut Sesil, Tuhan menampakkan kuasa-Nya yang begitu besar lewat peristiwa yang dialaminya. Ia bisa berkumpul bersama dengan ibu dan keluarganya. Serta merasakan kasih Tuhan yang teramat mulia dari tangan-tangan orang sekitar. Ada hikmah di balik wabah, pungkas Sesil.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.23, 7 Juni 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini