HIDUPKATOLIK.COM ROMO Erwin MSF, saya berusia 34 tahun, menikah selama delapan tahun, dan memiliki seorang anak. Saya belum bercerai dari pasangan tetapi sudah tidak ada relasi sama sekali. Saya bertahan, karena anak kami meminta jangan bercerai. Suami terlalu sibuk dengan gadget-nya. Suami saya seorang yang perhitungan, mementingkan keluarganya, dan tidak mampu mengambil keputusan. Ia bilang, ia menyesal menikahi saya.
Saya sendiri mempunyai latar belakang keluarga broken home. Saya dulu percaya kepada suami, karena ia baik. Saya berpikir, ia bisa menggantikan posisi orangtua saya. Ternyata, ia adalah seorang yang egois. Ia bahkan menganggap saya meng-ganggu privasinya. Akhirnya, sa-ya jatuh dalam perselingkuhan men–dalam dengan seorang laki-la-ki. Selingkuhan itu mengajak saya me–nikah dan menceraikan suami, tetapi saya sudah tidak bisa percaya lagi kepada laki-laki. Saya sempat berpikir untuk bunuh diri, tidak kuat menghadapi persoalan keluarga ini. Bagaimana caranya saya bisa bangkit dari kejatuhan ini?
Lucia, Jakarta
Lucia, saya mencoba memahami situasi yang menimpamu. Saya mencoba memahami permasalahan yang begitu banyak dan berantai, dari mulai kecil sampai dewasa dan berkeluarga. Membaca kisahmu yang panjang, membuat saya semakin yakin, bahwa masa kecil bisa amat mempengaruhi hidup seseorang ketika dewasa dan berkeluarga. Terima kasih untuk sharing Anda.
Ketika seseorang menyadari, bahwa dirinya adalah “produk” masa lalu, maka seharusnya, ia menyadari, persoalan yang se-ka-rang terjadi, bukan hanya disebabkan oleh pasangannya atau selingkuhannya, melainkan terutama oleh keputusan pribadi sen-diri. Saya tidak bermaksud menyalahkan Anda sendiri saja, tetapi saya percaya, cara Anda bereaksi, cara Anda berbicara, dan cara Anda mengambil keputusan sampai bertindak, pasti sangat dipengaruhi oleh kebiasaan Anda sejak kecil, dan pengalaman batin Anda selama ini.
Jika Anda berani menerima tantangan dari Tuhan, untuk me-mulai lagi kisah cinta Anda yang sekarang ini terpecah karena masalah komunikasi, saya kira Anda tidak akan terjebak dalam kesulitan-kesulitan lain yang sebenarnya tidak harus terjadi. Perselingkuhan Anda, menurut saya adalah suatu kekeliruan. Pa-da saat Anda mengalami kesulitan, Anda justru mengisinya de-ngan kesulitan baru. Pengalaman Anda dengan ayah, barangkali membuat Anda mempunyai prasangka dengan laki-laki, bahwa mereka semua sulit diandalkan (mengingat ayah Anda sendiri). Akan tetapi, jika pikiran kita berisi hal positif, tidak perlu semua laki-laki diberi standar seperti ayah Anda.
Komunikasi di antara Anda dan suami, menurut saya masih da-pat diperbaiki. Anda juga dapat mem-perbaiki cara bicara Anda (yang dari surat panjang Anda katakan) yang kasar. Cobalah memberi kesempatan suami untuk menjadi pimpinan yang pantas Anda percayai. Jangan terlalu menerornya dengan prasangka bu-ruk. Ajaklah bicara santai, agar ia juga bisa meninggalkan kebia-sa-an sibuk dengan gadget. Jika ko-mu-nikasi Anda menyenangkan, barangkali, ia akan merasa nyaman.
Bercerita, membagi perasaan, me-nyampaikan pujian, memberi apresiasi, menyatakan cinta dan kebutuhan Anda terhadap suami, akan menjadi bahan pembicaraan yang lebih meneguhkan relasi Anda berdua. Berdoa bersama memohon pertolongan Allah adalah sesuatu yang paling baik, agar Anda berdua tidak bercerai. Coba buka Kitab Maleakhi 2:16. Renungkanlah ayat ini agar tetapi setia.
Puji syukur, Allah mengirim anak kalian sebagai ber-kat, sehingga kalian berdua tidak jadi berpisah. Tetapi, ja-nganlah hidup dalam kebersamaan yang semu dan “me-nahan untuk tidak berpisah”. Persatuan harus meng-gem-birakan. Persatuan harus saling melengkapi, bukan hanya me-nguntungkan satu pihak. Persatuan seperti itu hanya bisa terjadi, jika kedua pihak mengembangkan sikap yang bermutu dan tulus mengasihi. Semoga Tuhan memberkati Anda dan keluarga.
HIDUP NO.23, 7 JUNI 2020