Beata Stefana de Quinzanis TOSD (1457 – 1530) : Mistikus Pelindung Anak Terbelakang

736

HIDUPKATOLIK.com – Ordo Dominikan mengenalnya sebagai mistikus sejati, Gereja mengenangnya sebagai ibu bagi puluhan anak yang mengalami keterbelakangan mental.

Dalam sebuah penglihatan, Kristus menampakkan diri kepada Stefana de Quinzanis. Dalam penglihatan itu, ia melihat cahaya berbentuk salib. Kemudian dari dari balik cahaya itu, terdengar suara, “Lihatlah, anak-Ku. Hormatilah Allah-mu, karena inilah jalan menuju surga.”

Suara itu didengarkan Stefana setelah mengikuti Ekaristi pada Pesta Santo Andreas Rasul. Kala itu, ia masih berusia 12 tahun. Sambil mencerna
maksud kata-kata itu, Stefana mencoba memalingkan wajah dari cahaya itu. Sangkanya, cahaya itu datang dari kekuatan setan. Ia tak ingin terlibat mengikuti kehendak setan.

Usai Ekaristi, Stefana mencoba melupakan suara itu. Ia berusaha menyibukkan diri dengan rutinitas
kesehariannya. Sampai pada waktu tertentu, Kristus kembali menyampaikan pesan yang sama,
“Kasihilah Allah, takutlah akan Allah. Engkau harus menyangkal dunia, layanilah orang-orang sakit khususnya mereka yang menderita kelainan mental.” Suara ini menggetarkan sanubarinya, dan menuntunnya sebagai pendoa bagi orang-orang yang kelainan mental.

Keluarga Dominikan
Kedua orangtua Stefana, memberikan nama itu karena sang ayah yang memiliki devosi khusus kepada Santo Stefanus, martir pertama. Ia lahir tahun 1457 di Brescia, sebuah desa kecil di Italia.

Di masa kanak-kanaknya, Stefana dapat melihat bagaimana kedua orangtuanya sungguh terlibat dalam kehidupan menggereja. Dalam situasi ini, alhasil Stefana bertumbuh dalam kasih yang mengakar kuat sanubarinya. Kedua orangtuanya pun sangat dekat dengan para biarawan dan biarawati Ordo Dominikan (Ordo Praedicatorum/OP). Maka, dari sejak kecil, Stefana
pun telah memiliki keinginan untuk bergabung sebagai anggota Dominikan.

Kecintaan Stefana pada ordo ini kemudian ia buktikan saat usia menginjak tujuh tahun. Ia menjadi anggota resmi Dominikan. Ia pun mengikrarkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Ia juga mengucapkan janji istimewa, bahwa kelak akan setia mengenakan jubah Ordo Ketiga Dominikan.

Kecintaan Stefana kepada Ordo Dominikan terinspirasi dari suasana keluarga yang diciptakan kedua orangtuanya. Di dalam keluarga ini, tidak pernah terlihat kekerasan atau pertengkaran. Tidak juga kata-kata bernada kasar yang terucap dari mulut ayah-ibunya. Bila itu terjadi, kedua orangtua akan mengaku dosa dan membuat silih atas dosa mereka. Ayah dan ibu menginspirasi Stefana, agar kelak bisa menjadi pewarta, yang berguna bagi banyak orang.

Keluarga ini bertumbuh dalam suasana doa hingga pindah ke Soncino, Cremona, Italia. Di situ, gadis 10 tahun ini berkenalan dengan Pastor Matthew Carreri OP, seorang pewarta Injil yang terkenal. Imam yang di kemudian menjadi beato ini berhasil meleburkan spiritualitas Dominikan di hati Stefana. Pastor Matthew langkah-langkah rohani untuk bertemu Tuhan kepada Stefana.

Sumber Ordo Dominikan menyebutkan, pertemuan Stefana dengan Pastor Mattew ini menjadi langkah awal Dominikan menancap di hati Stefana. Sejak itu, Stefana memiliki kedekatan dengan Kristus. Dalam beberapa kali penglihatan
yang dialami Stefana, Kristus selalu tampak ditemanin Bunda Allah, Santo Dominikus, Thomas Aquinas, serta Santa Katarina dari Siena.

Transisi Spiritualitas
Pengalaman rohani yang terus dialami Stefana, berangsur membuat hati dan pikirannya semakin terpusat kepada Allah. Seakan-akan tidak ada lagi daya tarik duniawi yang membuatnya terpesona. Hanya satu yang mampu mengalihkan perhatiannya adalah memandang wajah Allah. Rasa rindu untuk bersua dengan Kristus dan para kudus-Nya membawanya pada intensi khusus agar diperkenankan bertemu mereka.

Rasa rindu itu terjawab dengan berbagai penglihatan yang dialaminya. Penglihatan pertama berawal ketika kepergian Pastor Mattew. Sang imam datang dalam mimpinya dan menjelaskan, bahwa Stefana akan menerima stigmata Kristus. Beberapa hari setelah penglihatan itu, satu per satu sengsara Kristus dirasakan Stefana. Ia merasakan sengsara Kristus. Tubuhnya mengucurkan keringat dan darah, dicambuki, dimahkotai duri, dan disalibkan.

Meski menderita, Stefana tidak menyerah. Sebaliknya, sengsara itu makin menguatkan laku silihnya. Ia berpuasa hampir setiap hari, teristimewa hari Jumat. Ia melakukan mati raga tanpa belaskasih kepada dirinya. Ia terlibat dalam doa dan devosi khusus kepada Hati Kudus Yesus.
Jiwanya terus menyeruhkan sengsara suci Kristus.

Stefana menerima jubah Ordo Ketiga Dominikan saat berusia 15 tahun. Hari itu menandai transisinya dari kehidupan yang ekslusif mistik dan kontemplatif ke hidup yang aktif dan apostolik. Dulu kehidupan rohaninya berpusat pada pengalam mistik berubah menjadi pastoral aktif. Ia terlibat dalam pelayanan kepada orang-orang miskin, orang-orang sakit teristimewa anak-
anak yang mengalami keterbelakangan mental. Kepada anak-anak ini Stefana hadir menyapa, mendoakan, sekaligus memberkati mereka.

Permintaan Kristus
Transisi spiritualitas ini terasa lengkap dalam penglihatannya dengan Santo Thomas Aquinas. Orang kudus ini memintanya untuk terlibat mendengarkan curahan hati anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental karena daya pikir yang lemah. Ajaib, dan mempesona karena Stefana mampu berbicara dengan mereka tentang kebenaran-kebenaran Injil. Ia mampu membaca hati dan pikiran anak-anak, serta berhasil menubuatkan masa depan anak-anak.

Tidak sebatas itu, sisi apostolik ditunjukkan Stefana dengan cara mengerjakan berbagai mukjizat melalui tangannya. Lewat Tuhan, Stefana bisa menggandakan roti dan uang kepada orang-orang miskin. Ia mampu menyebutkan anak-anak yang sakit mental karena stres, trauma, atau terlambat dalam pertumbuhan.

Hal ini membuat reputasi dan kekudusan Stefana terdengar hingga Istana Duke dari Mantua serta Republik Venesia. Pemangku istana menawarkan
diri untuk membangun biara di tempatnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Ia justru merekomendasikan agar Duke bisa membangun rumah dan tempat tinggal bagi orang miskin. Duke
menerima permintaan itu dan berhasil menyelamatkan ratusan tunawisma di Soncino.

Stefana meski menghidupi pastoral aktif dan apostolik, ia tidak pernah dilupakan Tuhan. Ia terus
menghidupkan jalan mistik dengan mendapatkan berbagai penglihatan. Bila nafsu duniawi merasukinya, ia akan membuang tubuhnya ke gerobak penuh duri agar menghalau pikiran-
pikiran duniawi. Setelah itu, ia berdoa kepada Tuhan dan segera para malaikat datang mengingkatkan ikat pinggang kemurnian kepadanya.

Segala mukjizat dan karunia yang diperolehnya ia simpan rapat-rapat hingga tutup usia. Beberapa hari setelah menutup mata, Stefana membuka
semua rahasia ini kepada pembimbing rohaninya. Pembimbing rohaninya juga mendapat kesempatan untuk melihat luka-luka stigmata di sekujur tubuh Stefana. “Semua ini atas kehendak
Tuhan. Saya sudah siap sejak dilahirkan menjadi permaisuri Kristus,” ujar Stefana kepada pembimbingnya.

Setelah menyelesaikan sebuah rumah perlindungan bagi anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, Stefana meninggal pada 2 Januari 1530, di usianya ke-73 tahun. Paroki Soncino lah yang kemudian mengawali proses beatifikasinya. Atas jasa-jasa di bidang sosial, dan keutamanaan hidupnya sebagai mistikus Gereja, Paus Benediktus XIV menggelarinya beata. Misa beatifikasi digelar di pada 14 Desember 1740. Beata Stefana selain dikenal sebagai mistikus Dominikan, penerima stigmata, ia juga dikenal sebagai pelindung bagi anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.05 2020, 2 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini