HIDUPKATOLIK.COM Perahu dan kapal motor tidak hanya mengantar para misionaris ke seberang lautan. Sarana transportasi itu dipakai oleh setiap orang untuk berbagai berbagai keperluan.
LITURGI selama masa Paskah mem-beri kesempatan kepada kita untuk mengingat sejarah awal Gereja. Bacaan Pertama setiap hari, diambil dari Kisah Para Rasul, mengisahkan kar-ya Roh Kudus mendampingi jemaat per-dana Kristiani mengonsolidasi diri dan memaklumkan Injil ke pelbagai wilayah. Gereja yang berawal sebagai kelompok sem-palan dalam jemaat Yahudi, perlahan merangkul semua orang dari berbagai latar belakang. Batas politik dilalui, sekat etnis dilampaui.
Satu figur utama dalam Kisah Para Rasul adalah Paulus, rasul bangsa-bangsa. Pau-lus mengadakan banyak perjalanan, seba-giannya ditempuh melalui laut, dengan segala konsekuensinya, seperti dihantam ba-dai dan pengalaman kapal karam.
Karya misi Gereja selalu menggunakan moda transportasi yang tersedia. Pela-yar-an mengarungi laut dan samudera, memboncengi armada para penguasa dan pengusaha, telah memungkinkan pe-war-taan Injil secara masif di luar Eropa. Ke-datangan para misionaris Kristen ke Indonesia tidak terkecuali. Sarana trans-por-tasi diperlukan, bukan hanya untuk menyeberangkan para pewarta, te-ta-pi juga mengangkut bahan-bahan yang diperlukan untuk hidup dan karya. Karya misi Ge-reja selalu menyangkut dimensi jiwa dan raga manusia sebagai satu kesatuan. Pem-ba-ngunan sekolah, sarana kesehatan, kur-sus keterampilan adalah bagian tak ter-pisahkan dari misi Gereja ini.
Misi di Kepulauan
Misi Gereja Katolik di Kepulauan Nusa Tenggara (selanjutnya: Nusra) diserahkan secara resmi dari para Serikat Yesus (Ye-suit/SJ) kepada Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/ SVD) pada tahun 1912. Setahun setelah serah terima itu, misionaris pertama SVD tiba di Timor, dan secara bertahap mulai mengambil alih karya Gereja di seluruh wilayah kepulauan ini. Pada awalnya mobilitas para misionaris, antara Jawa dan Flores, bergantung sepe-nuh-nya pada sarana transportasi milik Pemerintah Kolonial Belanda. Sementara itu, untuk kebutuhan pelayanan di pulau-pu-lau di Nusra, digunakan sampan-sam-pan kecil.
Ketergantungan pada transportasi milik pihak lain pada awal karya SVD di Nusra perlahan diatasi, dengan pengadaan sebuah perahu motor. Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, Mgr. Petrus Noyen, SVD, mem-beli sebuah sekoci kecil bermotor dari seorang penyelam mutiara. Sekoci itu dinamai Arnoldus. Setelah beberapa ta-hun Arnoldus mengalami kerusakan, di-ganti dengan Arnoldus II (lebih dikenal dengan nama “Nodu” oleh orang-orang La-rantuka), dan kemudian diganti dengan Arnoldus III.
Setelah kemerdekaan, pada 1946, pim-pin-an regio SVD di Flores berhasil membeli sebuah kapal motor dari Darwin, Australia. Kapal itu diberi nama Santa Theresia, mengenang santa pelindung karya misi yang doanya diyakini turut membantu men–dapatkan kapal motor tersebut. Dipan-du oleh sebuah kapal dagang yang berlayar dari Darwin ke Makasar, lima misionaris SVD berhasil membawa kapal motor itu mengarungi samudera Hindia sampai ti-ba di Ende, Flores dengan selamat. Yang men-jadi nakhkoda adalah Pastor Antonius Thijssen, SVD (kemudian menjadi uskup di Ende dan di Larantuka), yang tidak berpengalaman dalam urusan pelayaran.
Sejak awal 1950-an, armada misi di-per-kaya oleh kapal motor Siti Nirmala yang di-bangun di Indonesia. Selanjutnya, para pe-nanggung jawab wilayah misi Nusra, para uskup dan dua serikat religius, SVD dan Suster Misi Abdi Roh Kudus (Servae Spi-ritus Sancti/SSpS), dengan bantuan orang-orang Katolik Jerman pembaca Majalah StadtGottes, majalah keluarga yang dipra-karsai oleh Santo Arnoldus Janssen, pen-diri SVD, SSpS dan SSpS Adorasi Abadi, berhasil mengadakan kapal Stella Maris. Kapal ini diproduksi galangan kapal Tra-vermunde, Jerman pada 1958, dan tiba di Surabaya pada 1959. Mgr. Thjissen juga ber-jasa mendatangkan kapal AMA pada 1971 dengan dukungan dana dari anak-anak muda Austria.
Pembangunan Sosial
Tak lama setelah Stella Maris beroperasi, dalam rangka Flores-Timor Plan, sebuah proyek besar Gereja Nusra dalam kerja sama dengan Pemerintah Jerman Barat untuk pembangunan sosial, disertai du-kungan dana tambahan dari para pembaca StadtGottes, kapal Ratu Rosari dapat di-pesan di Hamburg. Mgr. Gabriel Manek, Uskup Agung Ende saat itu, menulis ke-pa-da para pembaca StadtGottes: “… se-tiap kali saya melihat kapal Stella Maris ber-la-buh di dermaga Ende membawa untuk kami berbagai bahan kebutuhan hidup, saya teringat dalam rasa syukur akan keluarga besar StadtGottes, yang telah menghadiahkan kepada kami pembantu misi yang demikian penting. Sekarang, saya, juga atas nama para uskup Indonesia, lima tahun kemudian, meminta sekali lagi bantuan untuk pengadaan sebuah kapal misi yang lebih besar, Ratu Rosari. Saya lakukan ini dalam keyakinan, bahwa Anda semua memahami situasi kami dan rela membantu kami”.
KM Ratu Rosari terpahat dalam ingatan banyak orang Flores dan Timor, karena untuk waktu yang amat lama, bersama Stella Maris, menjadi sarana transportasi utama yang mengubungkan wilayah ini dengan pulau Jawa. Sebagaimana ditulis dalam artikel StadtGottes edisi Juli-Agus-tus 1964, kapal ini dibutuhkan bukan ha-nya untuk keperluan internal Gereja. Se-ba-gaimana kapal-kapal motor terdahulu, yang diadakan dan beroperasi di wilayah Nusra, KM Ratu Rosari adalah realisasi ko-mitmen Gereja untuk membangun ma-nu-sia Nusra dan wilayahnya.
Para misionaris tidak hanya memajukan dan memenuhi tugas-tugas religius, teta-pi juga dalam cakupan luas, mereka men-ja-lankan tugas-tugas kebudayaan, sosial dan perekonomian. Perahu dan kapal-ka-pal motor tidak hanya mengantar para mi-sionaris, suster, bruder, frater, pastor, dan uskup ke seberang lautan untuk men-jalankan karyanya. Sarana transportasi ini pun dipakai untuk menyeberangkan anak-anak sekolah dan para mahasiswa, para pedagang dan pembangun, orang-orang sa-kit dan para pejabat negara.
Rasa aman dalam sebuah pelayaran tidak hanya bergantung pada kokohnya sebuah kapal, tetapi suasana keseluruhan yang membuat para penumpang, merasa sebagai satu keluarga yang tengah mengarungi samudera. Untuk itu, para awak kapal ber-peran penting. Kapal-kapal misi Nusra mencatat satu sosok, yang mula-mula ber-tugas di kapal Theresia (dari tahun 1947), kemudian dipercayakan untuk me-na–nga-ni Ratu Rosari. Sosok itu adalah Bru-der Marianus, SVD yang bernama lengkap Henricus Klein-Koerkamp.
Bruder Marianus begitu identik dengan Ratu Rosari, dialah yang merancang kapal ini pada tahun 1964, dan di atas kapal ini pulalah, dia melewati waktu terakhir hi-dupnya. Dia meninggal di Bali ketika Ratu Rosari berlayar dari Surabaya ke Flores, 21 Agustus 1991.
Pastor Alex Beding, SVD, peneliti dan pe-nulis sejarah SVD Nusra, pernah menulis: “Para imam sering pindah dari paroki ke paroki. Bruder Marianus pindah dari kapal ke kapal”. Kapal adalah wilayah misinya karena kapal Ratu Rosari mengantar para penumpang tanpa membedakan agama dan keyakinan mereka, Bruder Marianus menjalankan misinya melintasi batas geo-grafis, melampaui sekat agama dan ras. Ka-pal Ratu Rosari yang dilengkapi dengan kapela, menjadi alasan mengapa kapal ini dikenal juga sebagai “gereja terapung”.
Mempersatukan Manusia
Inti misi Gereja tetap sama, yakni me-lak-sanakan misi Allah yang hendak mem–persatukan seluruh umat manusia men-jadi masyarakat Allah yang hidup saling meng-hargai dan memberdayakan. Namun, cara dan sarana yang digunakan mesti berbeda me-nurut konteks tempat dan waktu.
Ketika sudah semakin banyak sara-na transportasi tersedia untuk meng-hu-bung-kan berbagai tempat di Nusra, Gereja ti-dak lagi harus mempertahankan kapal-ka-pal motor yang pernah amat berjasa itu. Kisah tentang armada misi ini dituturkan bukan untuk sekadar bernostalgia, tetapi untuk menimba inspirasi bagi karya misi sekarang.
HIDUP NO.22, 31 Mei 2020