HIDUPKATOLIK.COM Romo, iman Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Namun, dari beberapa bagian Injil, kita dapat membaca kisah saat Yesus berdoa pada saat-saat tertentu. Mengapa Yesus masih harus berdoa, bahkan mengajarkan doa kepada para murid padahal, Dia sendiri adalah Tuhan?
Julie Hany Bogor, Jawa Barat
TENTU, kita akan bertanya-tanya dan terkejut ketika kita membaca, mengamati, dan memperhatikan di dalam Injil mengapa Yesus yang adalah Tuhan itu berdoa. Secara spontan, mungkin kita akan mengatakan, “Sungguh aneh, mengapa Tuhan berdoa pada diri-Nya sendiri?” Seolah-olah tindakan Dia berdoa ini memberi pernyataan: bahwa Dia itu bukan Tuhan, sehingga kita menjadi ragu akan kebenaran Dia, yang adalah Allah yang layak disembah dengan mempertanyakan: “Apakah mungkin Dia itu Tuhan kalau Dia itu berdoa?”
Baiklah, pertama-tama mari melihat Injil terlebih dahulu, kapan dan bagaimana Yesus itu berdoa. Kemudian, kita baru memahami Dia berdoa sebagai manusia meskipun Dia Allah.
Injil mencatat beberapa kali Dia berdoa. Tindakan ini menjadi bagian keseharian-Nya. Bisa dikatakan, kebiasaan pagi dan malam, Dia selalu berdoa. Hal ini tercatat dalam kisah, bahwa “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk 1:35; lih juga Mat 14:23).
Selain kegiatan harian itu, Dia melakukan doa ketika pada situasi yang berat, terutama waktu Ia hendak berhadapan dengan kematian diri-Nya. Dia pun pergi ke taman Getsemani untuk berdoa kepada Bapa-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalaulah Engkau mau, ambilah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42).
Catatan kisah dalam Injil tentang Yesus berdoa dapat dipahami dengan baik berdasarkan keyakinan iman Kristiani bahwa Dia sungguh Allah dan sungguh manusia. Dia menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia (bdk 1 Tim 3:6), sebagaimana yang disampaikan dalam Injil Yohanes, yang menjadi dasar iman kita (bdk. Yoh 1:14).
Paulus pun menegaskan, Dia adalah benar-benar manusia; Dia mengosongkan diri-Nya, agar Dia bisa merasakan hal yang sama dengan manusia, termasuk mengalami penderitaan (bdk. Fil 2:7). Dia rela untuk merasakan kelemahan manusia, karena Dia hendak membebaskan manusia, yang adalah saudara-saudara-Nya (bdk Ibr 2:10-11). Itulah sebabnya, Dia berdoa pula demi dan untuk manusia meskipun Dia adalah Allah. Ia berdoa kepada Bapa-Nya yang mengutus-Nya ke dunia karena relasi diri-Nya dan Bapa adalah satu (Yoh 14:10). Dia tak terpisahkan dengan Allah Bapa meskipun Dia adalah manusia.
Berdoa bagi Dia bukan sekadar menunjukkan, bahwa diri-Nya berdoa kepada Bapa, tetapi Dia sebagai manusia dan Allah, hendak mengajarkan kepada para murid, bagaimana harusnya berdoa. Dia mengajarkan doa “Bapa Kami” ketika para murid berkata: “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1). Dia pun tidak sekadar mengajarkan doa “Bapa Kami”, tetapi menunjukkan bagaimana seorang memiliki sikap doa yang benar, yaitu supaya ketika seorang berdoa, tidak bersikap seperti seorang yang munafik, tetapi membuka hati di hadapan Allah dengan sikap yang benar. Ia mengajarkan, agar orang berdoa dengan “masuk dalam kamar, menutup pintu, dan berdoa kepada Bapa di tempat tersembunyi” (bdk. Mat 6:6).
Akhirnya, doa bagi Dia adalah doa bagi semua orang yang percaya kepada Dia supaya tetap bersatu. Karena itu, dia mendoakan para murid-Nya supaya terpelihara di dunia (bdk Yoh 17:1-19). Dia juga berdoa agar mereka yang percaya dan telah mendapatkan kemuliaan merasakan kesatuan dan mendapatkan kesempurnaan (bdk Yoh 17:23).
Pastor Yohanes Benny Suwito Dosen Teologi Istitut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya
HIDUP No.21, 24 Mei 2020