SOLIDARITAS MENCARI ALLAH

170
(Ist)

HIDUPKATOLIK.COM GEREJA kita senantiasa menekankan agar dijalin dialog dengan agama lain. Bagaimana konsep dialog yang diinginkan oleh Gereja? Dalam tataran mana dialog dapat terjadi, Pastor?

Tommy, Pematangsiantar

TOMMY yang baik, benar sekali bahwa Gereja Katolik me­nekankan dialog dengan agama lain. Dialog menunjuk pada akti­fitas perjumpaan dengan agama-agama lain, di mana terjadi kesempatan berbicara, mendengarkan, memberi dan menerima, bertumbuh bersama dan saling meneguhkan dan memperkaya pengalaman iman masing-masing. Dalam perjumpaan dialogis itu Gereja Katolik, bersama atau secara pribadi, dapat memberi ke­saksian imannya sekaligus be­lajar dari pengalaman beragama saudara-saudara yang lain.

Apa dasarnya? Tak lain karena Allah sendiri juga dialogis da­lam menyampaikan wahyu ke­se­lamatan-Nya. Dialog meru­pa­kan hal mendasar bagi Ge­re­ja, yang dipanggil untuk ber­kolaborasi dalam rencana Allah dengan metode kehadiran, rasa hormat, dan kasihnya terhadap se­mua orang (lih. Ad Gentes, 10-12; Ecclesiam Suam, 41-42; Redemptor Hominis, 11- 12). Semua manusia mempunyai ke­rin­duan hati akan kebenaran. Allah menanggapi kerinduan ini dengan dialog, melalui sabda-Nya, melalui para nabi, dan akhirnya melalui Kristus,  Sabda yang menjadi manusia. Pemahaman ma­nusia akan kebenaran bisa keliru atau sesat karena itu manusia membutuhkan rahmat Allah untuk memperolehnya.

Dialog merupakan sikap solidaritas kita sebagai umat Allah da­lam perjalanan kita mencari Allah. Sebagai ciptaan kita ini se­derajat, tidak lebih tinggi dan lebih rendah. Tetapi dalam pencarian kebenaran, kita perlu saling membantu. Orang bukan Ka­tolik juga ada dalam perjalanan mencari kebenaran Allah atau Yang Absolut. Tak jarang, pencarian dan penemuan mereka melahirkan juga peri kehidupan yang sangat baik. Sikap Gereja tidak menolak apapun, dalam agama-agama itu yang serba benar dan suci. Tak jarang, kaidah-kaidah, cara bertindak, dan cara hidup itu memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (Nostra Aetate No. 2). 

Dialog menuntun kita untuk memperdalam kebenaran iman masing-masing. Seperti kata Paus Benediktus XVI: Dialog hen­dak­nya tidak berhenti pada “mengidentifikasi seperangkat ni­lai-nilai umum, tetapi lanjut untuk menyelidiki fondasi utama me­­reka, yaitu kebenaran yang “mengungkap … Hubungan pen­ting antara dunia dan Allah” (lih. PCID, Dialog in Truth. Pas­toral Orientation for Interreligious Dialog, 14). Karena itu dialog tidak sama dengan menyamaratakan iman kita pada Yesus, sebagai satu-satunya penyelamat, melainkan menjadi jalan membagikan keyakinan iman kita, sekaligus ke­sempatan diperkaya oleh te­rang kebenaran dari saudara se­per­jalanan itu. Dengan sharing timbal balik ini, kita akan be­kerja sama dengan semua orang untuk membangun dunia yang le­bih baik.

Gereja Katolik (PCID. Dia­logue and Proclamation tahun 1991) membedakan empat ben­­­­­tuk dialog: Pertama, dialog ke­­­­hi­dupan yang dilakukan de­­­­ngan hidup bertetangga da­lam se­ma­ngat terbuka, saling ber­­­bagi su­ka duka dan saling membantu. Ke­dua, dialog ak­­si,­­­ di mana orang Kristen bekerja sama de­ngan yang lain untuk mengembangkan dunia dan pembebasan ma­nusia, mi­salnya dalam menjaga lingkungan, pengentasan kaum mis­kin, pendidikan dan pelbagai aspek lainnya. Ketiga, dia­log pertukaran teologis, di mana para ahli memperdalam pe­ma­haman mereka terhadap warisan agama lain, dan untuk saling menghargai nilai-nilai agama lain. Keempat, dialog pengalaman religius, di mana setiap orang, berakar dari pengalaman tradisi keagamaan mereka, membagikan kekayaan spiritual mereka, misalnya berkaitan dengan pengalaman doa dan kontemplasi, iman dan cara mereka mencari Allah atau Yang Absolut. Semua anggota Gereja berhak dan bertanggung jawab untuk terlibat sesuai dengan peran masing-masing.

Pastor Gregorius Hertanto, MSC Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

HIDUP NO.19, 10 Mei 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini