Duet Malaikat

183

HIDUPKATOLIK.com – Sentakan kaki sore itu melukiskan melodi indah bagi kedua mempelai yang tampak bahagia di tenda pelaminan. Sedari tadi mata mereka tidak pernah berhenti memandang utusan-utusan Tuhan yang datang dari segala penjuru dan memberikan ucapan selamat kepada mereka. Satu per satu langkah-
langkah kaki menghampiri mereka, kemudian menjauh entah ke mana. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk menghafal langkah-langkah itu.
Semuanya datang dan pergi, muncul dan hilang seperti kunang-kunang di malam hari. Bukan waktunya untuk menghafal nama-nama bintang. Keduanya menamai hari ini sebagai hari senyum. Senyuman menjadi tanda pengenalan mereka.
Senyuman menjadi bahasa keseharian mereka. Senyuman adalah kebaikan di hari yang penuh warna-warna indah.

“Selamat ya Fania,” suara itu sekejap mengubah senyuman mempelai wanita menjadi kegugupan yang penuh tanda tanya.

“Kau hadir?” respons Fania dengan senyuman yang tak dapat menyembunyikan keanehannya.

***

“Kebahagiaan itu lengkap apabila ada yang menyapa dan ada yang menyambut. Pengalaman disapa dan disambut melahirkan dunia cinta. Inilah rangkaian waktu yang ditempuh bersama oleh kedua mempelai dan menjadikan hari ini sebagai keputusan menyatukan ide, sehidup semati.”

Sapaan awal MC ini disambut dengan senyuman terharu dan tepuk tangan meriah oleh para tamu undangan.

“Jack, dengar tidak, kata-katanya luar biasa indah dan mengejutkan,” Aleks tak dapat menyembunyikan rasa bangganya.

“ Entahlah…” reaksi Jack cukup dingin dan seolah melihat peristiwa itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

“Kenapa bro, kamu tergoda ya? Jangan bilang panggilanmu mulai guncang lagi. Tanggalkan saja jubahmu dan segera membuat surat pengunduran
diri. Itulah satu-satunya cara jikalau kamu mau bahagia seturut kata-kata muluk MC berpengalaman itu,” lanjut Aleks tak mau ambil pusing.

“Kacau kamu, Aleks,” sambar Jack.

Keduanya pun tertawa terbahak-bahak, kecuali Jack, yang dengan mata pun masih dapat dilihat bahwa ia sebenarnya tidak ingin tertawa.

***

“Kebahagiaan malam ini terasa lengkap apabila dihibur oleh artis biara. Dengan rendah hati, keluarga besar mempelai, mengundang Frater Jack. Satu nomor lagu untukmu.”

“Jack..Jack.. kamu dipanggil tuh!” sahut Aleks.

Kehebohan itu membangunkan Jack dari dunia indahnya yang hanya dirinya dan sang khaliklah yang mengerti. Dengan muka lugu Frater Jack pun
bangkit dan memenuhi keinginan semua pribadi di kiri kanannya.

“Hadirin yang terkasih,” MC berpengalaman itu mulai mempromosikan frater yang tengah dalam perjalanan.

“Frater yang satu ini adalah artis yang terkenal tetapi tidak mau dikenal. Dia sangat fasih dalam bermusik. Suaranya pun tak mau dikalahkan oleh tangannya. Jikalau seandainya ia masuk audisi The Voice Indonesia, dijamin kemenangan akan menjadi miliknya. Sayangnya ia lebih memilih audisi masuk biara. Jadi, kita tidak mempunyai hak lagi untuk memvotingnya karena dia sudah menjadi milik Tuhan.”

Sorakkan semua tamu yang hadir menghebohkan malam itu.

“Selamat malam frater…tunjukkan pesonamu,” MC berpengalaman itu melemparkan senyuman sebagai ungkapan permohonan maaf atas
kejahilannya.

“Selamat malam…” suara Jack belum terlalu stabil. Serasa mulut dan tenggorakannya sudah kehilangan banyak air liur.

“Baiklah, aku mencoba menghibur kita semua teristimewa kedua mempelai yang berbahagia.”

Suaranya sekejap berubah menjadi matang dan dewasa, barangkali mau mengabarkan pada khalayak umum bahwa semua laki-laki itu perkasa.
Senyuman khas miliknya kembali diberikan kepada semua penonton setianya.

“Aku akan bernyanyi sambil memainkan piano. Mohon kesedian dari mempelai wanita untuk menemaniku dalam membawakan lagu ‘Angels’ dari Robbin Wiliam.”

Tepuk tangan meriah menyambut setiap langkah sang mempelai wanita. Di sela-sela diskusi mengenai lagu yang akan dibawa, Jack menyapa Fania dengan suara yang sangat kecil dan halus.

“Ini lagu untukmu malaikat. Selamat
berbahagia.”

“Terima kasih, frater terbaikku,” tanggap Fania dengan kualitas suara yang sama.

Selamat menikmati…

***

“Luar biasa bro, tadi kamu sudah tampil prima. Kalian tampaknya cocok untuk menjadi teman duet. Aku jamin semua orang begitu takjub dengan
penampilan kalian berdua,” Aleks tak henti-hentinya memuji kehebatan sahabat seperjalanannya itu.

“Sudahlah, Aleks” jawab Jack tampak serius.

“Kamu pantas senang dengan apa yang telah kamu lihat. Tetapi masih ada yang tersembunyi di balik apa yang kamu lihat itu,” lanjutnya.

“Maksudmu?” tanya Aleks penasaran.

“Nanti aku ceritakan jika sudah sampai di biara. Biarkan aku fokus menyetir motor dulu.”

Kata-kata ini menjadi akhir dari pembicaraan mereka yang mulai berjalan dalam keheningan.

***

Suasana malam itu begitu sejuk. Barisan kursi kapel sepi penghuni dan hanya dua pribadi yang mengambil tempat di deretan kursi paling depan.
Hening. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya lampu Tabernakel.

“Dengarlah Aleks,” suara Jack mulai menepis heningnya malam itu.

“Dapatkah engkau merasakan sakitnya hati bila harta terindahmu diambil orang lain? Lebih lagi, bila engkau menyaksikan sendiri ia mengambilnya dan hak kepemilikanmu dicabut serta tidak dipandang lagi”.

“Maksudmu? Aku belum mengerti, Jack,” Aleks menyambut indah cerita sahabatnya.

“Aku dan Fania sudah lama menjalin relasi. Hanya ada kata bersatu dalam hubungan yang kami jalani. Itu terjadi kurang lebih enam tahun yang lalu. Tidak pernah ada kata berpisah. Seingatku, terakhir kali kami bertemu empat bulan yang lalu. Waktu itu dia meminta kejelasan atas hubungan kami dan aku lebih memilih untuk diam. Setelah itu, perjumpaan selanjutnya adalah malam ini.”

“Aku pasti akan bersyukur apabila sempat melihat harta berhargaku sebelum ia akan hilang untuk
selamanya,” kini kesempatan Aleks untuk berbicara.

“Bersyukurlah atas waktu yang menghadiahkanmu malam ini. Malam ini, kau menyaksikan sendiri bahwa harta terindahmu diambil orang lain. Itu bukan kehilangan. Sebaliknya kamu merelakannya untuk pergi. Ingatlah, kamu merelakannya dan menyebutnya diakhir cerita sebagai malaikat ‘Angel’. Itu lagumu Jack, lagu kalian berdua.”

***

Tuhan, aku bersyukur atas waktu yang ada. Aku menamai hari ini ‘Duet Malaikat’. Terima kasih untuk malaikat yang pernah menemaniku dalam kisah kehidupankku. Aku melepaskanmu dengan rela teruntuk Dia yang lebih berharga dari apapun juga.

Ell-fridz

HIDUP NO.02 2020, 12 Januari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini