HIDUPKATOLIK.com – Cita-cita semasa kecil selalu berubah-ubah. Ia pernah ingin jadi menteri luar negeri, terinspirasi sosok Adam Malik kala itu. Ia juga pernah ingin jadi perwira TNI, sebelum akhirnya hatinya tertambat untuk mengabdi sebagai dosen.
Agustinus Supriyanto sempat kepincut ingin jadi
perwira TNI. Ia begitu gigih untuk mengusahakannya, sebab dilingkungannya amat banyak peminatnya.Ia juga pernah diajak rekannya masuk Taruna, namun ia tak mau. Akhirnya ia
berjumpa dengan teman yang ayahnya ahli hukum. Ia pun meminati itu hingga akhirnya kuliah di Fakultas Hukum mengambil S1 Ilmu Hukum konsentrasi Hukum Internasional di Universitas
Gadjah Mada.
Ia lalu melanjutkan mengambil gelar Magister Sains dan Program Doktor Ilmu Hukum di kampus yang sama. Terhitung sejak 1 April 1994, ia melayani mahasiswa Fakultas Hukum di almamaternya tersebut. Hingga kini, ia telah mengabdi selama 25 tahun sebagai dosen hukum.
Penegakan Hukum Migran
Di usia 44 tahun, Agus diganjar gelar Guru Besar di bidang hukum dari Universitas Gajah Mada. Meskipun SK Guru Besarnya terima di tahun 2010, ia baru mempunyai kesempatan menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar pada 21 Juli 2011. Salah satu yang datang saat pidato pengukuhan ini adalah Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja,
SJ. “Saya bersyukur atas kelancaran studi yang saya jalani. Guru Besar di usia muda ini adalah bentuk rasa syukur saya mengembangkan talenta yang Tuhan anugerahkan kepada saya,” ujarnya.
Pada pidato pengukuhan ini, Agus menyoroti perlindungan hukum untuk para pekerja migran dari Indonesia. Pekerja migran dari Indonesia diketahui menjadi yang paling besar dibanding
negara lain. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
menyebutkan, pekerja migran berjumlah sekitar 120 ribu orang. Dari jumlah itu, lebih dari 75 persen adalah pekerja perempuan.
Dari data ini, pekerja migran perempuan sebagian besar bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Padahal, kawasan ini sering dijumpai kasus pelanggaran terhadap hak-hak asasipekerja perempuan dari Indonesia. Sangat mudah dicari contohnya kasus-kasus pelecehan seksual, penganiayaan, gaji tidak dibayar maupun PHK secara sepihak yang dialami pekerja di kawasan ini.
Agus menyayangkan, terhadap kasus yang menimpa pekerja migran di Arab Saudi maupun negara lainnya, mereka cenderung bersikap reaktif menangani permasalahan pekerja migran ini. Idealnya, lanjut Agus, hal ini ditangani dengan perencanaan yang menyeluruh dan kreatif.
Indonesia sebenarnya tidak sendiri, sebagai negara dengan jumlah pekerja migran besar di kawasan Asia Tenggara. Filipina juga memiliki jumlah pekerja migran yang besar. Namun, menurut Agus, Filipina hanya menempatkan pekerjanya di negara-negara yang dapat melindungi hak para pekerja. Filipina memiliki
perwakilan di luar negeri, di bawah Departemen Luar Negeri Filipina, dan tugas mereka memberikan perlindungan terhadap para pekerja dari Filipina. Agus menuturkan, Indonesia dapat mencontoh langkah semacam ini.
Dengan cara seperti yang ditempuh Filipina, maka sejak awal, pekerja sudah dalam pengawalan diplomasi negara. Agus menuturkan, agar sejak awal perlindungan perempuan pekerja migran Indonesia diperjuangkan secara diplomatik, perlu adanya perubahan dalam mengelola pekerja migran ini. “Sebaiknya pengelolaan tidak dimonopoli oleh Depnakertrans dan BNP2TKI, tetapi dikelola secara lintas sektoral,” jelasnya.
Agus menyebutkan, cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memperbanyak dan memperkuat kelembagaan konsuler di wilayah-wilayah yang banyak perempuan pekerja migran Indonesia. Agus membandingkan yang dilakukan Meksiko.
Negara ini juga memiliki banyak pekerja migran. Mereka membuka 50 kantor konsuler di Amerika Serikat. Selanjutnya, Agus juga menekankan pentingnya ratifikasi terhadap konvensi migran 1990. Ia menunjukkan, bahwa selama lebih dari
20 tahun, Indonesia tidak memanfaatkan peluang perlindungan HAM bagi pekerjanya. “Ratifikasi dilakukan bagi terciptanya kondisi yang kondusif untuk perlindungan hak asasi perempuan pekerja migran Indonesia,” ujar Agus.
Satu lagi yang tak kalah penting, pada level individual, perempuan pekerja migran perlu diberdayakan. Agus menjelaskan, kepekaan gender juga harus tertuang dalam berbagi kebijakan pada level mikro dan makro sehingga pekerja migran perempuan memahami hak-hak
spesifik yang mereka miliki.
Tak Hanya Hukum
Agus memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan lanjut tertinggi. Kesempatan melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat pun terbuka lebar baginya. Tak terhitung jumlah sarjana, magister, dan doktor yang ia bimbing.
“Hal tersebut merupakan sebagian kabar suka-cita yang bisa saya sampaikan”, ungkapnya.
Jam terbangnya kian meninggi. Agus juga diangkat sebagai tim ahli penelitian fakultas, senat fakultas. Sebagai tim ahli, ia banyak berinteraksi dengan berbagai pihak. Ia pun kerap diudang sebagai narasumber.
Sebagai pendidik, meski mengajar di Fakultas Hukum, namun bidang ini tak hanya menjadi dunia satu-satunya bagi Agus. Ia juga banyak mengabdi
untuk masyarakat. Ia juga berelasi sangat baik dengan lingkungan Keraton Surakarta. Keterlibatannya yang aktif ini mengantarnya pada penyematan nama keraton di depan namanya. Ia mendapat gelar Kanjeng Raden Aryo Tumenggung
oleh Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono XIII, pada 2011 silam. Karyanya sebagai pendidik juga memiliki korelasi dengan nama baru dari keraton. Ia mendapat imbuhan nama Pradoto Pusponegoro. Pradoto berarti hukum dan
Pusponegoro merujuk pada kiprahnya di bidang perlindungan perempuan Indonesia.
Sebagai seorang peneliti, Agus juga berkecimpung di dunia keadilan dan kesetaraan gender. Pada 2009, ia diusulkan untuk melamar ke Komnas
Perempuan, dan akhirnya ia diterima. Ia mengisahkan, pengalaman berharga sekaligus memprihatinkan dalam suatu kunjungannya ke luar negeri. Saat itu ia menjumpai perempuan yang
menggendong bayi di dalam penjara. “Ini begitu memprihatinkan, bahwa sejak kecil bayi itu sudah dipenjara,” ungkapnya.
Dari perspektif pendidikan ia melihat, pengalaman ini sungguh miris, bahkan mengundang perhatian yang sangat besar. Ia pun tak bisa membayangkan kronologi perempuan yang membawa bayinya ketika ia melakukan kejahatan, dan kemudian
ditangkap dan dikurung di negeri orang. Sebagai seorang dosen, selain diperkaya dengan pengalaman semacam itu, ia pun juga tetap setia mengasah diri dengan membaca dan menulis.
Akrab dengan Kitab Suci
Perhatian Agus di dunia pendidikan dan keaktifannya dalam berbagai kegiatan, baik nasional dan internasional juga ia topang dengan semakin akrab dengan Kitab Suci. Sedari kecil, ia mengakrabi Alkitab dan tekun mengikuti Misa harian saat di bangku SMP dan SMA. “Ketika
berhadapan dengan Kitab Suci, saya selalu memosisikan diri saya sebagai pribadi yang diajar dan dibimbing, bahkan ditegur,” tuturnya.
Dalam hati Agus, terbersit banyak mimpi untuk berbagi pengalaman yang belum terwujud dalam hal kegiatan misioner. Ia merasa, ia juga masih perlu menguasai soal misiologi. “Kata ‘misiologi’
itu sendiri sangat menantang saya, apalagi ‘kursus misiologi’ sangat mendorong saya untuk bisa mengikutinya,” ujarnya.
Yang paling menarik dan menantangnya untuk memenuhi panggilan misi adalah menyangkut keanekaragaman situasi dalam misi penginjilan. “Ada situasi orang-orang yang belum mengenal
Kristus. Ada komunitas-komunitas Kristen dengan tatanan-tatanan gerejawi yang memadai dan kokoh. Mereka itu teguh dalam iman dan dalam kehidupan Kristiani. Gereja melaksanakan kegiatan
dan reksa pastoralnya. Ada juga evangelisasi baru atau proses penginjilan kembali,” katanya menjelaskan. Baginya, ini merupakan materi fundamental untuk mendalami, mengembangkan, dan mempraktikkan lebih lanjut aspek lain dari misiologi.
Agustinus Supriyanto
Lahir: Salatiga, 24 Oktober 1966
Pengalaman Kerja:
– Dosen Tetap Fakultas Hukum UGM (1994-sekarang)
– Peneliti di Pusat Studi Wanita UGM (1996 – 2012)
– Koordinator Pendidikan, Penelitian, dan
Pengabdian kepada Masyarakat pada Pusat Studi Wanita UGM (2010-2012)
– Erasmus Mundus Visiting Scholar dengan mitra kerja UGM dan Universitas Groningen di Belanda (2006-2007)
– Tim Ahli pada Pusat Studi Asia Pasifi k UGM (2006-sekarang)
– Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2010-2014)
– Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas
Hukum UGM (2010-sekarang)
– Ketua Departemen Hukum Internasional UGM
(2016-sekarang)
Pengalaman Organisasi:
– Sekretaris I Paguyuban Kaluarga Karaton Surakarta (2011- 2014)
– Anggota Komunitas Verbum Domini (2016 – sekarang)
Fr. Nicolaus Heru Andrianto/Antonius E. Sugiyanto
HIDUP NO.02 2020, 12 Januari 2020