Bertekun dalam Kebersamaan

395

HIDUPKATOLIK.com – Sebuah keresahan, yang saya rasa dalam hidup saya, adalah saat saya menyadari waktu berjalan begitu cepat dan merasa stuck atau di situ-situ saja. Menurut Romo, bagaimana umat dapat mengatasi atas kejenuhan hidup? Bagaimana cara menggali motivasi, dan memperbaharui iman umat?

Marcella Y, Jakarta

Penulis Surat Ibrani menuliskan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Pernyataan itu mengisyaratkan dua hal dasar: ketekunan dan kesabaran. Bukan pertama-tama hasil yang segera terlihat, namun kepercayaan dalam menapaki, dalam harapan akan buah dari segala upaya yang dibuat, bahwa
harapan itu akan mendapatkan wujudnya. Maka manusia perlu berupaya dengan tekun, dan menanti dengan sabar.

Kitab Suci memberi gambaran dari dunia pertanian, bahwa manusia mengerjakan ladang,
namun akhirnya hanya menunggu sampai saat panen tiba, dan bukan dia yang menentukan hasil panen. Hidup ini bagai menabur, dan menanti tuaian, namun tidak selalu yang menabur itu yang nantinya menuai (lih Yoh 4:35-38). Dalam gambaran itu diperlihatkan, bahwa segala sesuatu tidak akan serba mudah dan jelas, apa yang kita mulai dengan baik, dalam perjalanannya tidak
akan senantiasa berjalan baik, ada saja ilalang yang menghalangi dan benih tidak baik yang tertanam pula. Maka perlu sungguh ketekunan dan kesabaran untuk bertahan dan menanti, sebagaimana digambarkan dalam Matius 13:24-30.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menyebutkan, prinsip waktu lebih besar daripada ruang, proses lebih penting daripada hasil. Prinsip ini memampukan kita bekerja lambat namun pasti, tanpa menjadi terobsesi dengan hasil langsung.
Hal itu membantu kita untuk dengan sabar menanggung situasi-situasi yang sulit dan saling bertentangan, atau perubahan yang tak terelakkan dalam rencana-rencana kita. Hal itu mengajak kita
untuk menerima tegangan antara kelengkapan dan keterbatasan, dan memberikan prioritas akan waktu. Waktu adalah pembawa pesan Allah, demikian kata Santo Petrus Faber.

Ketika menulis surat ucapan selamat ulang tahun kepada Kardinal Carlo Martini, Paus Benediktus XVI memakai ungkapan “perseverantia”, artinya ketekunan, ketabahan. Menurut Benediktus XVI di dalam hidup ini sering kali itulah yang paling bisa kita buat: tekun dan tabah. Sebab memang kita bukan pencipta atau penentu hasil. Kita ini hanyalah bagaikan pekerja atau hamba yang tak berguna saja, melakukan apa yang harus dilakukan (lih Luk 17:10).

Ignasius Loyola dalam Latihan Rohaninya menyebut, apa yang sedang anda alami sebagai pengalaman desolasi, atau kesepian rohani; jiwa lesu, kendor, seakan hilang harapan, kepercayaan dan cinta. Kesepian rohani bisa terjadi karena kita
sendiri yang kendor, malas dan kurang mau sungguh berusaha.

Namun, desolasi juga bisa terjadi untuk menguji seberapa besar kekuatan kita serta untuk memperlihatkan kepada kita, bahwa segala-galanya toh tidak tergantung pada kita sendiri, sebab ada rahmat yang bekerja. Maka tentu ketika mengalami itu, pertama-tama bertanya mengapa ini terjadi. Bila itu lebih karena diri sendiri maka perlu ada perubahan diri. Namun bila untuk menguji dan menyadarkan kita, maka perlu lebih pasrah dan percaya. Lebih penting, demikian Ignasius: menjadi lebih tekun.

Menjadi marah dan kecewa, putus asa dan patah harapan, hanya akan menjadikan kita orang kalah. Kita bisa bercermin pada tokoh Petrus, rasul agung Gereja. Betapapun beberapa gagal dalam memahami Yesus dan salah dalam mengerti, namun dia tak pernah pergi (lih Yoh 6: 67-69). Dia tidak memilih seperti Yudas yang berkhianat dan gantung diri. Malahan di saat krisis berat karena wafat Tuhan, Petrus bersama kawan-kawan memilih berkumpul dan bertekun dalam kebersamaan. Petrus memperlihatkan itu sampai saat kemartirannya.

Pastor T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.02 2020, 12 Januari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini