Air Mata Kebebasan

123

HIDUPKATOLIK.com – Semburat merah di ufuk barat melukiskan panorama indah sang petualang yang tengah mencari kebenaran. Kebenaran bukan lagi perkara damainya embun pagi yang menyejukkan hati setiap penghuni kota duniawi. Apalah gunanya bertahan pada damainya embun, toh ujung-ujungnya raja siang melenyapkan keindahan semu itu. Embun hanya sebatas pelabuhan singgah bagi petualang yang tak memiliki kepastian akan masa depan. Radyt menamai dirinya seorang petualang. Wajah keluguannya menjadi bijak bestari menyerupai semburat merah yang gagah pada posisinya.

“Itu adalah kebenaran,” ia mengangguk-angguk menyetujui pendapatnya sendiri.

***

Radyt segera menancapkan gas motornya dengan kecepatan yang terkontrol. Keramaian kota yang penuh huru-hara tidak digubrisnya sedikit pun.
Bisingnya klakson dalam aneka suara tidak mempan menyuruhnya untuk sedikit mempercepat laju motornya. Tatapan matanya yang sayup tetap fokus melihat barangkali ada kerikil-kerikil kecil yang harus disilih demi keselamatan dirinya.

Baru saja Radyt melepaskan helm dari kepalanya, suara dari arah rumah yang ramai dihiasi bunga langsung menyambut kedatangannya.

“Hey, Dyt….,” dari suaranya dapat diketahui bahwa orang yang memanggilnya larut dalam kebahagiaan.

Radyt menoleh sekadar melacak keberadaan suara yang sudah mengagetkannya itu. “Hey, Naila… kamu tampak ceria dan semakin menarik,” sambut Radyt dengan senyuman khas miliknya.

“Oh jelas… bagaimana? Maksudku, liburannya masih lama?”

Tanpa menunggu jawaban, tangan Naila sudah menyentuh lengan Radyt, tidak peduli apakah saat ini Radyt mau disentuh atau tidak. Tidak ada pilihan lain bagi Radyt selain membiarkan tubuhnya ditarik entah ke mana, yang pasti dia yakin itu tidak akan membahayakannya.

“Ma…..Ma…..lihat nih…siapa yang datang?”

“Radyt……” orang yang dipanggil segera menyambut Radyt dan memberikan rangkulan yang hangat.

Radyt belum juga mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan karena ia gugup. Tapi karena Naila dan ibunya tampak sibuk meluapkan kebahagiaan mereka dengan terus bertanya dan bertanya. Radyt menjado bingung harus mulai menjawabnya dari
mana. Dia memilih untuk diam.

“Radyt….kok diam saja…,” suara Naila menutup nostalgia indah bersama ibunya.

“Hey, ma….,” sapa Radyt dengan muka lugunya.

“Jadi bagaimana…bagaimana kabarmu?” tuntut Mama, entah ini menjadi pertanyaan dalam urutan
keberapa.

“Oh…baik, Ma,” sahut Radyt singkat dengan wajahnya merah tersipu.

“Loh Naila…Radyt nya tidak diberikan minuman?” Mama mencibirkan bibir dan menudingkan matanya ke arah dapur.

“Oh ia, Ma…lupa,” suara Naila begitu manja dan barangkali tidak tega meninggalkan tempat duduknya.

“Begitulah dia. Masih seperti yang dulu. Tingkah manjanya tidak pernah hilang. Apalagi kalau berada di hadapan Radyt,” Mama kali ini mengguruinya dengan nada suara yang sungguh wibawa.

“Woww… segitunya ya, Ma?” Dari tekanan nadanya dapat disimpulkan bahwa Radyt tidak memiliki maksud untuk bertanya. Bisa jadi ia mencoba
meyakinkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Atau juga, reaksinya mau menunjukkan ketidaksetujuaannya pada bahan yang diajarkan mama barusan.

Sejak saat itu, Mama mulai mengisahkan banyak hal kepada Radyt. Semuanya seputar Naila… Naila… dan Naila. Dia bercerita seperti tengah
melakonkan drama klasik di panggung kehidupan. Lancar…menjiwainya… dengan mimik yang menggambarkan keyakinannya pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Radyt membiarkan dirinya tenggelam dalam kisah yang diceritakan. Mata, pikiran dan hatinya secara perlahan terpancing untuk merasakan apa yang dirasakan Naila dalam cerita ibunya. Anggukan kepalanya lama-kelamaan semakin teratur dan terpola. Jari telunjuknya terus memukul lututnya yang rupanya luput dari pandangan mama. Hingga pada akhirnya mama mengulangi kalimat terakhirnya dan memaksa Radyt untuk menjawabnya.

“Dia selalu memikirkanmu. Yang ada dalam ingatannya sekarang hanya Radyt… Radyt dan Radyt. Tidak ada nama lain lagi di hatinya. Jadi, apakah kamu masih melanjutkan panggilanmu dan membiarkan dia hidup dalam ketidakpastian?” kali ini Mama tampak serius dan mengharapkan jawaban yang dapat memuaskan dirinya.

“Woy… jangan gosip namaku,” sambar Naila dari arah dapur yang sekaligus menyelamatkan Radyt dari pertanyaan yang menuntuk kepastian itu.

Mama mengedipkan mata kepada Radyt. Dan Radyt pun tahu itu tanda bahwa pertanyaannya tetap harus dijawab, tidak peduli kapan waktunya.

“Baiklah… Mama masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Lagian mama tidak mau menjadi pengganggu di sini,” pamit Mama dan menghilang entah ke mana.

“Ngomong apa saja kamu dengan mama, Dyt. Jangan bilang tentang Naila?” sambil mengangkat bahunya dan segera mengambil tempat yang nyaman di samping Radyt.

“Kegeerankamu, La… Tapi, ia sih. Mama malahan menceritakan semua tentang kamu yang selalu memikirkan Radyt,” kali ini giliran Radyt yang tertawa heboh.

“Itu kan…sudah kuduga…dasar,” protes Naila manja sambil meninju-ninju badan Radyt.

“Tapi… benar kan?” balas Radyt meminta pertanggungjawaban.

“Kalau ya, kenapa? Frater Radyt yang super sok….,” jelas Naila penuh enjoy.

Jawaban itu telah membuat Radyt menjadi gugup dan termangu. Matanya melotot pada raut muka Naila yang polos lagi menawan. Tatapan itu bukan lagi seperti tatapan tiga tahun lalu. Dulu, tatapan yang sama menunjukkan daya tarik dan kekaguman tulus. Sekarang, tatapan itu lebih menampilkan keengganan dan kecemasan oleh karena kata-kata mama terus terbersit dalam pikiran Radyt.

Apakah kamu masih melanjutkan panggilanmu dan membiarkan dia hidup dalam ketidakpastian?

“Woy… kok melamun sih. Kenapa? Ada yang aneh dengan mukaku?” Naila merapikan rambutnya dan berusaha mencari penyebab keanehan pada dirinya.

“Mmmmm…ti..tidak ada yang aneh, La?” Radyt cukup tertatih-tatih mengeluarkan kata-kata itu dari
mulutnya.

“Tidak ada? Tapi suaranya tidak mendukung, Dyt. Mengapa jadi aneh begini?” tatapan mata Naila begitu tulus meminta jawaban yang sejujur-jujurnya.

“Naila…,” Radyt mencoba mengatur nafasnya kemudian melajutkan kata-katanya. “Kamu kan tahu kalau saya frater”.

“Ia…lah, Dyt. Malahan lebih dari tahu,” sambar Naila sambil menggoyang-goyangkan badan Radyt.

“Baguslah. Tapi ada hal penting yang mau saya bicarakan, La.” Kata Radyt stabil.

“Katakan saja, Dyt. Macam baru kenal Naila saja,” reaksi Naila semakin manja.

“Saya mau kamu bahagia, La. Karena itu, saya minta mulai sekarang, kamu mencoba untuk tidak memikirkan Radyt lagi,” Radyt menarik nafas legah sambil merapikan kerak bajunya.

“Maksudmu apa, Dyt… Ka..kamu mau meninggalkanku? Kamu tidak memiliki perasaan samaku lagi?” suara Naila semakin naik dan ditutup dengan air mata yang jatuh merembesi mukanya yang pucat.

“Bukan begitu, La. Aku sangat mencintaimu, tepatnya lagi mencintai kebebasanmu. Kamu kan tahu panggilan yang kujalani saat ini. Aku memilih jalan itu dengan penuh kebebasan. Aku tidak mau kamu hidup dalam ketidakpastian, La. Aku tidak mau egois dengan merenggut kebbasanmu. Aku berharap kamu mengerti,” terang Radyt.

“Jahat kamu, Dyt…,” Naila bangkit dan lari menuju kamarnya sembari tangannya tidak berhenti menyeka air matanya yang memenuhi tebing pipinya.

Radyt membiarkan Naila pergi tanpa suara sedikit pun. Mama muncul dari arah dapur dan mencari tahu teka-teki apa yang baru saja terjadi. Dia menghampiri Radyt dan kembali mengguruinya.

“Mama mengerti Radyt. Semoga jawabanmu itu membahagiakanmu dan juga membahagiakan Naila”.

***

Perjalanan pulang yang dilalui Radyt tampak lebih panjang. Ia semakin memperlambat laju motornya. Ia mencoba mendamaikan dirinya dalam desiran angin yang mengalirkan kesejukan.

“Tak ada yang perlu disesali. Aku adalah petualang yang sudah menemukan kebenaran. Aku tidak tahu apa yang terjadi di hari esok. Tapi, aku puas karena aku berani beralih dari egoku. Kebebasanku lantas tidak merenggut kebebasanmu, Naila. Barangkali itu menjadi AIR MATA KEBEBASANmu. Sekarang, kamu bebas melukis kisah baru di hari esok”

Elfrid C.

HIDUP NO.10 2020, 8 Maret 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini