MEMBENTUK PRIBADI YANG EFEKTIF

302
Sidang Umum Nasional di Bandung, 2013. (Dok. CLC Indonesia)

HIDUPKATOLIK.COM Dengan mengemban spiritualitas St. Ignatius, CLC Indonesia membantu seseorang dapat memahami pengalaman hidup.

Perwakilan Delegasi CLC lokal Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Wonosari & Surabaya saling mensharingkan bagaimana keadaan komunitas lokal. (Dok. CLC Indonesia)

SUDAH 40 tahun lebih Nancy K. Suhut berproses mengolah dirinya. Akrab disapa Nancy, alumni Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Brat ini mengakui bahwa pada dasarnya ia  seorang introvert dan mempunyai kencederungan rendah diri.

Sekitar tahun 1974, Nancy mencermati bahwa, komunitas Katolik belum sebanyak sekarang. Namun pada suatu hari, seorang teman bergabung dalam Christian Life Community (CLC). “Sebelum jadi CLC, dulu namanya Students Life Community karena mayoritas anggotanya mahasiswa dan itu dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam komunitas ini saya didampingi oleh salah seorang suster Ursulin,” jelasnya.

Menempa Karakter

Nancy mengenang, pertemuan CLC saat itu diadakan seminggu sekali. Dalam pertemuan itu, anggota akan dimasukkan dalam kelompok kecil. Nancy merasa tidak betah pada awalnya, ada ketakutan-ketakutan dan merasa malu dalam kelompok. “Saya merasa enggak jago ngomong,” ungkapnya.

Namun, di dalam CLC, ada pendampingan dalam berproses mengenal diri sendiri. Nancy merasakan, pendampingan ini ia rasakan bahkan sampai tahap menerimaanya. Ia tadinya memikirkan tentang apa yang dipikirkan orang-orang terhadapnya, padahal orang yang bersangkutan tidak menilainya seperti yang ia bayangkan sama sekali. Alhasil, perasaan itu membuatnya lega. Perlahan ia membuka diri. “Itu yang menyebabkan saya merasa nyaman di CLC,” akunya.

Gregorius Tjaidjadi akrab disapa Rius, selama 14 tahun berproses juga bersama CLC. Kebersamaan di dalam kelompok kecil, membantunya menjadi pribadi yang lebih siap mengahadapi dan menyikapi tantangan hidup. Awalnya perkenalan Rius dengan CLC hanya sebuah perutusan, setelah ia mengikuti sebuah kegiatan kaderisasi. “Sejalan dengan proses yang ada, saya tidak pernah merasa berat dan berkeluh kesah, karena awalnya saya hanya diminta ikut. Saat ini, cara hidup CLC sudah menjadi pilihan saya,” tuturnya.

Latihan Rohani

Sejarah awal CLC terjadi di Tahun 1563 di Roma. Saat itu, seorang Imam Serikat Yesus (Societas Iesu/ SJ) muda, Romo Yohanes Leunis, SJ mengumpulkan para mahasiswa yang sedang belajar di kota itu. Ia bermaksud untuk membantu mereka, agar dapat menyatukan segi-segi kehidupan, seperti studi, pekerjaan, keluarga, persahabatan dalam nilai Kristiani. Perkumpulan ini disebut Konggregasi Maria dan disahkan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1584. Kemudian komunitas ini berkembang sangat pesat sampai pada tahun 1920 kurang lebih 80.000 Konggregasi Maria ada di seluruh dunia.

Saat Konsili Vatikan II tahun 1965 mendorong kelompok dalam Gereja untuk menemukan kembali semangat dasarnya, termasuk Konggregasi Maria. Kemudian kelompok ini terpecah, salah  satunya menjadi CLC. Menurut Rius, proses berkomunitas di Indonesia, ada yang mengawalinya dari Kongregasi Maria, ada yang baru mulai saat komunitas sudah menjadi CLC. Hal ini menjadi keunikan tersendiri, karena ada proses penyesuaian. Dalam CLC ini, latihan rohani St. Ignatius menjadi pola hidup anggotanya.

Rius mengatakan latihan rohani St.Ignatius yang dijadikan pedoman hidup, membantu seseorang menjadi pribadi reflektif. Pribadi reflektif merupakan pribadi yang mampu mengambil keputusan dengan tepat dengan melibatkan Tuhan dalam prosesnya. Di samping itu, soal kesehatan jiwa akhir-akhir ini juga menjadi isu yang hangat. Bagi Rius, latihan rohani yang sudah berusia lebih dr 450 tahun ini dapat dijadikan alat bantu yang efektif dan efisien untuk perkembangan kehidupan setiap pribadi. “Sepertinya, menjadi pribadi reflektif di zaman ini adalah sebuah kebutuhan yang penting dan genting,” ungkap Rius.

Maka dari itu, tambah Rius, CLC mengajak dan menantang setiap anggotanya untuk mengolah diri dengan kegiatan rutin. Di antaranya, CLC membentuk pertemuan kelompok kecil, yang idealnya diadakan setiap 15 hari sekali. CLC juga mengadakan pertemuan kelompok kecil bersama atau kelompok lokal sebulan sekali. Pada saat tertentu, CLC juga menginisiasi retret dan atau rekoleksi tahunan. “Hal ini dilakukan untuk meningkatkan integritas diri sebagai seorang CLC, sesuai dengan Pedoman dan Norma Umum yg dimiliki CLC,” jelas Rius.

Selain itu, kegiatan rekoleksi kerap dibuka untuk umum, agar manfaatnya dapat diperluas ke anggota Gereja dan masyarakat lainnya. “Kami juga memberi pelayanan pendampingan retret dan rekoleksi bagi yg membutuhkan. Seperti, CLC Wonosari  yang menginisiasi dan melestarikan novena di Gua Maria Tritis. Lalu, adanya rekoleksi ekreasi dan ziarah bagi kaum muda dan hari hari studi Ignatian baik secara internal maupun eksternal,” ujar Koordinator Nasional CLC ini.

Nancy menambahkan, Latihan Rohani adalah cara memeriksa batin, meditasi, kontemplasi, dan sebagainya. Anggota diharapkan menyediakan hati untuk menjadi lepas bebas. “Agar kita tidak melekat pada ketidakteraturan. Poin yang mau dicapai salah satunya anggota hanya mencari apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam kegiatan sehari-hari,” jelasnya.

Semangat Luar Biasa

Beda dengan dulu, sekarang sudah banyak komunitas- komunitas Katolik yang berkembang. Hal ini disadari oleh Nancy dan Rius. Menurut Nancy, CLC sendiri pertambahan orang muda tidak begitu banyak dan mayoritas orang tua. “Sebenarnya kami awalnya ikut CLC sejak masih muda, prosesnya saja berkelanjutan,” canda umat paroki Danau Sunter ini.

Sebagai komunitas yang mempersiapkan setiap pribadi menjadi pribadi reflektif, Rius mengakui, bahwa kegiatan rutin dan proses yang dilakukan sering dianggap tidak menarik. Sejatinya, tambahnya, kegiatan ini yang bisa membentuk karakter kuat dari setiap anggotanya. “Proses sharing dan refleksi yang menjadi metode dasar, sering disalah artikan sebagai kegiatan monoton dan tidak bermanfaat,” ungakpnya.

Saat ini CLC Indonesia ada di enam kelompok lokal yaitu Yogyakarta yang sekaligus sebagai pusat kesekretariatan, Jakarta, Bandung, Magelang, Wonosari, dan Surabaya. Jumlah anggota aktif, naik turun, namun CLC tetap mendapat dukungan dan menyokong rekan rekan komunitas dalam karya dan perutusan mereka. Sampai saat ini, menurut Rius, sudah ada empat  generasi di CLC. Setiap fase perubahan status berkeluarga, selalu jadi tantangan bagi komunitas untuk tetap aktif. Rius berharap, bahwa cara hidup dengan berpedoman pada Latihan Rohani, serta berpegang pada spiritualitas Ignatian, selain menjadikan pribadi yang reflektif, juga cakap dalam berdiskresi dan mampu membantu banyak orang dan kelompok berdiskresi secara pribadi dan komunal.

Belajar Peka

Manfaat yang Rius rasakan  dari cara hidup CLC adalah kepekaan diri melihat segala. Bagi umat Paroki Odilia, Stasi Zipur, Keuskupan Bandung ini Latihan Rohani membantu menjawab semua tersebut. Latihan Rohani membantu dalam berproses menjadi pribadi yang utuh. Rius menjelaskan pribadi yang utuh berarti mampu mengelola pola pikirnya, mengenali dan memotivasi pola rasa dalam diri, dan mengaktualisasikan diri dengan pola perilaku yang tepat.

Menjadi lebih peka juga dirasakan oleh Nancy. Ia tidak hanya peka dengan diri sendiri, tetapi sekitar. Misal dari kelompok kecil, dalam CLC setiap anggota dapat saling memperhatikan satu dengan yang lain. Dengan begitu, ia merasakan kepekaan semakin terasah. Dengan peka, Nancy semakin mensyukuri apa yang ada. Lebih tepatnya, sadar akan perjalanan hidup yang tidak mulu dan menerima apa yang terjadi dalam hidupnya.

Karina Chrisyantia

HIDUP No.08, 23 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini