Dia Telah Kembali

126

HIDUPKATOLIK.com – Aku berdiri bagaikan berada di semak berduri. Ketika aku berjalan betapa sakit telapak kakiku. Hidup hanya dalam kemampuan yang terbatas. Apakah mereka mengerti keadaan yang kumiliki sehingga mereka menyia-nyiakan kesempatan itu? Setiap manusia pasti memiliki impian. Impian untuk menjadi seorang yang sukses atau dikenal banyak orang. Impianku hanya satu yaitu dia kembali untukku.

Flora adalah namaku. Aku tidak tahu apakah orangtuaku sungguh memberi namaku demikian. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, aku terlahir tanpa pernah mengingat wajah mereka.
Suster Raymunda mengatakan bahwa ibuku meninggal karena terkena kanker rahim sehingga ibuku lebih memilih aku yang hidup. Sedangkan ayah dan kakakku tidak tahu keberadaannya.

Di sudut jendelaku hanya ada sebuah alat musik biola. Biola itu merupakan hadiah dari ayah Sr. Raymunda. Ia memberi biola itu kepadaku dan
memintaku untuk menjaganya. Sr. Raymunda adalah guru terbaikku sehingga aku bisa bermain biola sepertinya. Ia sering memarahiku, membentakku sehingga aku sering menangis. Di antara anak panti, aku merupakan yang memiliki kemampuan lebih.

“Flo, kamu itu harus sadar, kamu itu cacat. Kalau dari kecil kamu tidak mengasah kemampuanmu, kamu besar mau jadi apa? Apa yang bisa kamu andalkan dalam hidupmu?” gumam Sr. Raymunda dengan kejamnya.

Kata-kata Sr. Ray sangat menyakitkan hatiku. Tapi aku sadar bahwa semua ucapannya demi kebaikanku, demi masa depanku. Aku sering bertanya dalam hatiku mengapa Sr. Ray sangat berbeda dengan suster-suster yang ada di komunitas ini? Sr. Ray tampak lebih memperhatikan aku dibandingkan anak panti lainnya. Apakah karena aku cacat?

Seperti biasanya, sebelum aku tidur aku menyisihkan waktuku untuk menulis di dalam buku diaryku. Tidur sebelum menulis di buku diary seperti ada yang kurang dari dalam diriku. Ketika menulis diary pun aku sering menangis. Dalam tangisanku itu tersimpul doa kepada Bunda Perawan Maria.

“Bagaimana dengan lagu kemarin? Kamu sudah bisa memainkannya?” tanya Sr. Raymunda sembari menarik selimutku.

“Belum, Sr! Lagunya sedikit sulit.

“Flo, seandainya kamu rajin latihan setiap hari, kamu pasti bisa. Minimal kamu harus latihan satu jam sehari. Ayo bangun, kita memainkannya sekali
sebelum sarapan.” Nadanya dengan begitu lembut.

Aku tak mampu mengikuti cara bermain Sr. Ray. Ia begitu hebat. Terkadang aku patah semangat jika
gagal dalam memainkan biola itu.

“Kenapa harus biola yang ditawarkan Sr. Ray kepadaku? Apakah karena bakat Sr. Ray hanya bermain biola saja sehingga ia mengajariku untuk bermain biola.” Tanyaku dalam hati.

“Flo, kamu harus bisa memainkan biola itu tanpa teks lagi. Suster tidak mau dengar alasanmu yang tidak masuk akal itu.”

****

Cahaya malam menemaniku. Seperti biasanya aku menulis diary sebagai refleksi karena hidup tanpa
direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani. Aku menulis betapa bodohnya aku sehingga aku dimarahi Sr. Ray hari ini.

“Mengapa Sr. Ray bisa memainkannya padahal kami sama-sama memiliki tangan yang lengkap.” Gumamku dalam hati. Cahaya malam ini menjadi saksi bahwa aku akan tekun untuk latihan.

Dari sudut ruang musik, kulihat para donatur berkunjung ke komunitas kami. Aku begitu sedih ketika orangtua mereka membawa anaknya. Kakak kandungku pun begitu tega membuangku ke panti. “Apakah dia malu memiliki adik sepertiku? Apakah
dia takut kalau aku akan menyusahkan hidupya dengan kehadiranku? Aku sangat benci dengan kakakku.”Aku tak mampu menahan tangisku dan
kucurahkan seluruh isi hatiku kepada sahabat diary kecilku.

“Flo…?” suara Sr. Ray dari luar pintu kamarku.

“Iya, Sr…?”

“Kenapa kamu tidak latihan hari ini! Sudah merasa hebatkah! Kalau sudah merasa hebat kamu cari sendiri guru musikmu.” Nada kesalnya kepadaku.

“Kenapa Suster begitu egois. Kenapa Suster selalu memarahiku, membentak, dan menekanku dibandingkan anak-anak panti lainnya. Apakah Suster mengerti perasaanku saat ini? Aku sudah berjuang, aku tidak seperti suster yang memiliki kedua kaki. Suster bisa ke mana dengan begitu mudahnya. Sedangkan aku harus menggunakan
kursi roda. Setiap hari aku dibantu orang lain. Aku pengemis yang setiap hari meminta belas kasih orang lain karena keterbatasanku. Suster pernah
merasakan kasih sayang orangtua sedangkan aku hanya mendapat cacian darimu,” ucapku sambil menangis. Suster Ray pergi tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Aku merasa bahwa dia akan marah atas perbuatanku.

Semenjak kejadian, aku tidak mempunyai guru musik lagi. Aku memilih untuk belajar otodidak.
Hubunganku dengan Sr. Ray tidak seharmonis seperti dulu. Aku sungguh merasa bersalah dengannya namun aku segan untuk meminta maaf kepadanya. Aku takut ia akan melukai perasaanku
lagi. Kami tetap berkomunikasi di komunitas namun hal itu hanya sebatas jika perlu.

Dua minggu lagi Sr. Ray akan kaul kekal. Ia akan mengucapkan janji kaulnya kepada Tuhan dan dihadapan umat beriman. Di saat acara kaul kekalnya, kami anak-anak panti diminta untuk menampilkan sebuah hiburan. Aku dengan diam-diam menjumpai Suster kepala komunitas kami.

“Ssuster!. Saya ingin menampilkan sebuah hiburan di acara kaul kekal nanti. Apakah saya diperkenankan untuk tampil di pesta kaul kekal Sr.
Raymunda?”

“Memangnya kamu mau menampilkan apa, Flo?”

“Saya mau menampilkan sebuah lagu kesukaan Sr. Ray dengan menggunakan biola.”

“Ya, tentu saja boleh, tapi kamu harus latihan ya supaya jangan memalukan.”

“Terima kasih Suster… tapi saya mohon Suster jangan beritahu Sr. Ray ya. Saya mau beri surprise kepadanya.”

Para suster yang akan kaul kekal melakukan rekoleksi bersama. Beberapa hari tanpa Sr. Ray di komunitas rasanya hatiku sangat hampa. Mungkin anak-anak panti yang lain juga mengalami hal sama denganku. Kehadirannya memarahiku merupakan suatu bentuk keperhatiannya dengan hidupku. Aku mulai sadar bahwa aku salah. “Sr. Ray, maafkan aku.”

Janji yang akan diucapkannya adalah suatu pelayanan dalam mengikuti Kristus. Aku akan merasa kehilangan sosok Sr. Raymunda ketika dia akan mendapat tugas pelayanan di tempat yang baru. Kami akan dipisahkan oleh jarak namun kasih sayangnya kepadaku selama ini tidak akan pernah terpisahkan. Ketika aku selesai menampilkan lagu kesukaannya, kulihat ia tepuk tangan kepadaku. Aku turun dari atas podium dan Sr. Ray diminta untuk menyampaikan sepatah kata
darinya.

“Terima kasih kepada seluruh umat beriman yang hadir pada acara pesta kaul kekal kami. Ada hal yang akan saya ungkapkan dengan jujur. Saya pertama-tama sudah meminta izin kepada pimpinan saya perihal ini. Ketika saya berumur 17 tahun, ibu saya menderita kanker. Saat itu juga ibu saya sedang mengandung. Ia harus memilih anaknya hidup atau dia yang hidup. Namun, ibu saya memilih untuk menyelamatkan adik saya. Ayah saya seorang ahli bermain biola dan ia juga pergi meninggalkan kami ketika mendengar ibu saya telah meninggal. Pada akhirnya, saya menitipkan adik saya ke panti asuhan. Saya tidak sanggup untuk membiayai keperluan adik saya. Pada akhirnya juga saya memilih untuk menjadi seorang suster. Saya berterima kasih kepada pimpinan saya telah merawat adik saya dan mengizinkan saya untuk menjaganya sampai saat ini. Untuk adik kakak, maafkan kakak telah sering memarahimu. Kakak melakukan itu karena kakak ingin kamu bisa meneruskan misi bapak. Menjadi biolis yang handal, dan berguna untuk orang lain. Kakak ingin membuktikan bahwa orang cacat sepertimu bisa lebih hebat daripada yang tidak cacat. Maafkan kakak, semua karena kondisi. “Flora, terima kasih sudah memainkan lagu kesukaan ayah tadi.” Suster kepala mengantar aku ke atas podium. Sebuah pelukan telah dijawab Bunda Maria terhadapku. Aku ingin dia kembali.

Frater Yohanes Siringo-ringo

HIDUP NO.08 2020, 23 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini