HIDUPKATOLIK.com – Paroki ini menyadari menjaga tali silahturahmi penting demi merawat iklim perdamaian.
Deru motor tua membumbung di sepanjang jalan. Kendaraan beroda dua itu dikendarai oleh seorang
imam berusia 79 tahun. Walaupun telah memasuki usia senja, ia masih aktif melayani umat di stasi-stasi Paroki St. Yohanes Penginjil Masohi, Ambon,
Maluku. Pastor Alfons Hayon, SVD tidak sendirian. Ia juga berbagi suka duka pelayanan bersama sang sahabat, Kepala Paroki Masohi, Pastor Pius Lawe, SVD.
Keduanya melayani 13 stasi dengan jarak stasi terjauh hampir menempuh jarak beratus-ratus kilometer. Umat paroki ini datang dari suku beragam. Di antara mereka ada orang asli Seram di Stasi Nawei serta orang Kei, Flores, Tanimbar,
Toraja, dan Jawa. Di tengah tantangan alam dan situasi sosial demikian, para imam terus saling menguatkan satu sama lain.
Semenjak kedatangannya ke Masohi pada tahun 2004, Pastor Pius langsung aktif bergerak dalam hubungan antaragama. Luka pasca konflik Ambon
menimbulkan kondisi sensitif hingga membentuk jurang yang dalam antara umat Muslim dan non-Muslim. “Dahulu tempat tinggal masyarakat beda agama bersatu sekarang terbagi. Sehingga kita
bekerja keras antar pemimpin agama,” ungkap imam yang menjadi kepala sekolah SMA Katolik Yos Sudarso Masohi ini.
Dialog sangat penting, karena Gereja Katolik memiliki peran untuk menjembatani. Imam yang sempat mengecap pendidikan pastoral di Amerika
Serikat ini pun mengakui jumlah umat berkurang tetapi tidak dalam segi kualitas. “Kualitas kita sebagai juru bicara damai senantiasa dihargai. Inilah misi utama yang harus dijaga. Itulah sebabnya ketika Lebaran, saya selalu mengusahakan agar berada di Masohi,” ungkapnya.
Melanjutkan tradisi, setiap tahun saat Lebaran para pastor akan berkeliling sepanjang hari mengunjungi pemuka agama dan umat yang bermukim di sekitaran paroki. Namun sayang, sambutan baik itu belum bisa dibalas langsung oleh Paroki Masohi, karena kondisi gereja dan pastoran yang masih sangat minim untuk menyambut tamu dengan layak.
Pembangunan gereja sudah dimulai sejak tahun 2010, tetapi masih dalam proses hingga saat ini. Pastor paroki bersama Dewan Pastoral Paroki berupaya sekuat tenaga untuk menyelesaikan cita-
cita ini. “Saya berharap, sesegera mungkin Paroki Masohi juga dapat melakukan open house saat Natal agar umat lain bisa datang berkunjung,” harap Pastor Pius.
Menyadari menjaga tali silahturahmi penting demi merawat iklim perdamaian, umat juga aktif menjalin relasi antaragama. “Mereka menjalani relasi antar umat beragama sangat baik. Saya belajar banyak dari mereka,” sebut Pastor Pius.
Ada tradisi Muhabet yang sudah mendarah daging di antara umat Katolik, Protestan, dan Muslim. Kebiasaan ini untuk merawat kepedulian kepada umat lain dalam keadaan duka. “Siapapun yang
meninggal, mereka akan datang terlepas apapun agamanya. Misalnya umat Katolik meninggal, ibu-ibu berjilbab datang bantu masak di sana,” imbuh Pastor Pius. Bisa dilihat sebelumnya, peran sebagai katalisator itu sangat menonjol terlebih saat kerusuhan berlangsung pada saat itu. (Alm) Pastor Yoseph Kuda Makin, SVD, mantan kepala Paroki Masohi mendirikan sebuah LSM bernama TIRAM. LSM ini melayani umat Muslim dan Protestan, hingga ketika Pastor Yos menembus batas demarkasi bersama tim mereka tetap dipersilahkan untuk masuk menolong masyarakat. “Buah ini saya panen dan akan terus saya rawat peran Gereja sebagai jembatan perdamaian,” tutur
Pastor Pius.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.07 2020, 16 Februari 2020