Mata-mata Liar di Sebuah Senja

222

HIDUPKATOLIK.com – Pagi yang indah. Kecerahan mentari menunjukkan betapa orang-orang telah bangun dari pembaringan dan memacu tenaganya untuk mencoba berbagai keberuntungan. Adakalanya orang mesti berkejaran dengan waktu. Bukannya berdiam dalam kemalasan. Menunggu begitu saja kapan datangnya keajaiban. Sedangkan di sana- sini, orang-orang pada rame menawarkan jasa, barang dagangan, hingga ada yang hanya tertidur pulas dalam mimpi, menunggu jamahan dari orang-orang yang mungkin sekadar lewat dan memberikan sepeser rupiah.

Dusun yang kecil terletak di daerah yang subur. Kaya akan potensi alamnya. Kata kakekku “Cucuku, desa kita ini penuh dengan perkebunan, persawahan bahkan kita tidak kekurangan sumber daya alamnya, kau tahukan? Itu karena para leluhur tanah ini telah melestarikannya, beribu-ribu tahun lamanya. Karena itulah kau sebagai generasi penerus harus menjaganya,” Percakapan aku dan kakekku waktu itu, masih teringat jelas dalam benakku. Tetapi dalam sekejab mata memandang desaku yang subur telah menjadi mangsa para mata-mata liar yang sedang bersekongkol ingin mendirikan berbagai bangunan yang megah. Kata mereka” kami akan memberikan keuntungan besar bagi rakyat desa ini, bahkan wisatawan akan datang dan bapa mama yang ada di tempat ini akan sejahtera….” Aku yang adalah anak desa ini bersama dengan warga yang lain menjadi orang-orang yang siap bertempur. Membentuk sepasukan tentara, yang takkan membiarkan harta warisan kami direbut begitu saja oleh orang-orang asing yang tidak kami kenal.

Keesokan harinya, sesaat warga sedang berkumpul di sebuah balai dusun, sebuah mobil kijang memasuki pekarangan. Orang ini berkaca mata hitam, sepatunya lancip, bahkan parfum yang ia kenakan berbau bunga melati. Gayanya penuh wibawa. Sama sekali orang yang datang ini, tidak kami kenal.

“Bapa mama, saudara-saudariku yang terkasih, kedatanganku ke mari, bukannya untuk menghancurkan desa ini, aku akan memberikan kesejahteraan, bahkan tawaranku sangatlah menguntungkan, jika bapa, mama dan saudara-saudari di tempat ini menyetujuinya, kita akan buat kesepakatan….”

“ Di desa ini akan menjadi tempat wisata yang indah, akan ada tempat perbelanjaan yang megah, akan didirikan juga berbagai rumah makan.”

“Kami tidak akan menyetujui apa pun tawaranmu, tuan, kata seorang tua yang tak senang dengan gaya bicaranya..

Yang lain lagi berkata “ini tanah leluhur kami. Tak ada orang yang boleh merampasnya dari kami. Sekali pun itu, tuan punya kuasa di dalam negeri ini ..”

“Baik-baik, aku akan ingat setiap kata-kata kalian, tetapi janganlah menyesali apa yang sudah kalian perbuat terhadapku, aku akan kembali lagi.” Dengan senyuman sinis ia pun berlalu pergi tanpa berpamitan dengan warga desa.

“Sialan, memangnya dia siapa, seenaknya saja berbuat sesuai keinginannya…,” kataku diikuti warga yang lainnya dengan ketidaksenangan yang mereka rasakan….

Negeri ini sungguh orang-orang yang punya kuasa, semakin tidak puas dengan segala yang sudah dimiliki, yang kaya semakin makmur dan yang miskin menderita dalam ketidakadilan. Sementara orang-orang yang malang berpikir hari ini kami makan apa? Di baliknya ada kesenangan yang tersembunyi dari kaum yang mengaku dirinya berkuasa, hari ini kami akan memangsa sesuai kehendak kami. Di sebuah sore yang indah senja jatuh pada lautan yang tenang, terkenanglah setiap orang pada jarak yang semakin rindu untuk sebuah kedamaian desa, yang tidak lagi terganggu dengan segala macam ancaman yang sudah beberapa hari ini datang silih berganti.

Kemarin sore terjadi kebakaran di sebuah perkebunan yang tak tahu apa penyebabnya. Lalu berlanjut lagi kebakaran terjadi pada sebuah gubuk tua di desa kami yang tidak terawat. Kejadian ini terjadi terus-menerus di setiap senja yang akan berubah menjadi malam. Sungguh membuat warga desa mencekam dalam ketakutan. Kini kesuraman pada malam yang tak lagi ditemui anak-anak di saat bulan purnama berlari-larian, berkejaran dalam bayangan, bahkan orang-orang dewasa pun tak lagi ditemui saling bercanda-gurau di depan beranda rumah bersama para tetangga.

“Mungkinkah para leluhur murka terhadap tanah ini?”

“Memang kesalahan apa yang kita perbuat?”

“Kemakmuran tanah ini, yang dulunya menghasilkan banyak panenan menjadi gagal. Orang-orang tidak lagi punya semangat untuk menanam berbagai hasil bumi.” Setiap warga desa saling padang. Gelisah.”

Di suatu pagi datanglah berita desa kami akan digusur, perumahan warga akan dihancurkan. Hatiku menjadi tak tenang. “Percobaan apa lagi ini?” Apa salah kami yang telah kami perbuat?” Memang benar orang-orang zaman ini menanamkan keserakahan, mau menguntungkan diri dengan menindas orang lain. Tanpa pernah mau membagi kasih bagi yang menderita, di lorong-lorong negeri ini yang tidak lagi bersahabat dengan kedamaian. Terdengar di luar rumah warga meneriakkan keluhan mereka, “jangan gusur desa kami, ini tanah para leluhur yang telah kami jaga dan rawat bertahun-tahun,” tetapi orang-orang itu tidak mau mendengar keluh-kesah warga, mereka tetap dengan hati bajai dan senyuman sinis, menghancurkan segala perumahan bahkan perkebunan warga. Desa kami menjadi suram, mencekam tak berdaya bahkan tangis-tangis terdengar di mana-mana, tanpa ada lagi damai yang bersarang untuk sebuah kesejahteraan.

Aku diam membisu di sebuah kamar yang tinggalkan puing, di temani lilin- lilin kecil menuliskan sebuah surat untuk menyuarakan rasaku yang mungkin akan didengar oleh siapa saja;

Untukmu setiap mata yang melihat!

Desaku yang indah, ditumbuhinya sayur-mayur, tetumbuhan yang hijau, di mana dulunya kami bercanda-gurau, bermainnya anak-anak dengan berbagai permainan tradisional, bahkan di saat datangnya rembulan yang bertengger di atas kepala kami, kami begitu-riang gembira, sambil mengisahkan berbagai ingatan mengenai sanak-keluarga yang jauh di rantau, mengenai para leluhur, mengenai hasil panen yang berlimpah, kini tinggalkan derita dan tangisan.

Tanah kami, menjadi kehancuran, tak tau lagi di mana kami harus melabuhkan kaki dan kepala kami, kami menjadi kehilangan arah, inilah negeri kami, penguasa memakmurkan diri, rakyat tak punya tujuan mencapai damai. Mana janji sang pemimpin? Kami hanya tinggal puing puing yang meratap dalam heningnya malam. Sepi. Rembulan tak lagi mendamaikan. Kami hanya meninggalkan ingat, ingin kembali pada damai.

Tak ada lagi suara….diam membisu….

Rembulan malam ini tak bersahabat, setiap orang mencari tempat berlindung. Mata-mata liar sesekali mengawasi. Tiba-tiba saja. Doa kami terjawab hujan lebat membasmi habis segala alat berat bahkan orang-orang yang dengan kejinya telah menghancurkan desa kami. Entah mengapa, aku selalu percaya akan kekuatan alam, Dia yang berkuasa akan selalu menjawab setiap penderitaan yang dialami manusia. Aku juga percaya akan leluhur yang takkan meninggalkan kami. Karena ini adalah tanah warisan yang mereka wariskan, inilah tanah kami yang takkan mampu tergantikan bahkan dengan uang dan janji sekalipun.

Kini desa kami kembali menjadi ketenangan dan damai. Hujan rintik-rintik membasahi tetumbuhan di perkebunan maupun pekarangan rumah warga. Karena itu aku selalu percaya akan berkah yang senantiasa Tuhan anugerahkan bagi setiap manusia. Ini adalah doa yang terjawab tanpa perlu ada penyesalan dan kekecewaan.

Veran Making

HIDUP NO.07 2020, 16 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini