Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara (IKKSU) : Berbuat bagi Gereja dan Kampung Halaman

968

HIDUPKATOLIK.com – Tidak melulu memikirkan diri sendiri, IKKSU belajar mengorbankan dirinya bagi Gereja dan masyarakat.

Ketidaknyamanan dirasakan Aloysius A. Siregar dan istrinya, R. Fransiska R. Nasution (keduanya
sudah almarhum) saat pertama kali pindah ke Jakarta. Di tahun 1955, Jakarta masih sebuah kampung besar, dengan tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah. Infrastruktur pun masih minim.

Pasutri tersebut merasa kesepian karena tidak mengenal siapa-siapa, khususnya orang Batak yang Katolik. Kondisi ini sangat berbeda ketika mereka masih di Palembang, Sumatera Selatan. Di sana, mereka memiliki banyak kenalan dan kerabat. Bisa dikatakan, saat itu, satu-satunya pasutri Batak yang Katolik di Jakarta atau setidaknya di wilayah Menteng dan sekitarnya, hanyalah mereka.

Setelah menetap di Ibu Kota selama lebih dari setahun, Siregar, yang akrab disapa dengan Oppung Doli (kakek), bertemu dengan beberapa orang, yang tengah berbincang dengan bahasa Batak. Sontak, hatinya berbunga-bunga, lalu menghampiri mereka.

Ternyata mereka adalah guru di sekolah bruderan yang terletak berdekatan dengan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, lokasi ini kini berdiri Gedung Perusahaan Listrik Negara (PLN). Oppung Doli pun menyapa mereka dengan Bahasa Batak. Awalnya,
mereka meragukannya. Setelah berhasil meyakinkan, Oppung Doli sangat gembira lalu mengundang para guru itu berkunjung ke rumahnya.

Batak Guyub
Semenjak perjumpaan itu, para guru tersebut rutin mengunjungi Oppung Doli setiap hari Minggu. Semakin lama, yang berkunjung semakin banyak, karena mereka saling mengajak kerabatnya. Terasa di rumah Oppung Doli ada kegembiraan,
karena mereka bisa berjumpa dan bercengkerama dengan teman satu suku, sekaligus satu iman. Mereka pun mengobati kerinduan terhadap kampung halaman dengan berdoa dan bernyanyi dalam Bahasa Batak.

Josef Siregar, salah satu putra Oppung Doli merasakan keguyuban di dalam rumahnya. Banyak orang Batak yang berkumpul di rumah mereka. Momen-momen ini pun menjadi kesempatan bagi
anak-anaknya untuk bisa bertemu dan bergaul. “Saat itu, rumah kami menjadi semacam basecamp untuk umat Katolik dari Sumatera Utara,” kenang Josef.

Melihat keakraban yang tercipta di dalam rumahnya, R. Fransiska R. Nasution, yang kerap disapa Oppung Boru (Nenek), melontarakan ide kepada Oppung Doli agar membuat sebuah perkumpulan. Hal ini juga karena jumlah teman yang berkunjung semakin banyak. Tujuan utamanya, agar mereka semakin guyub dan bisa
terorganisir dengan baik, sekaligus untuk
belajar berorganisasi.

Kemudian, keduanya berdiskusi untuk mendirikan semacam perkumpulan yang menaungi para “Katolik perantau” dari Sumatera Utara. Setelah mencapai suatu kesepatakan, Oppung Doli menggulirkannya kepada para kerabat dan disambut dengan sangat antusias. Selain Oppung Doli dan Oppung Boru tersebut, beberapa nama lain yang terlibat dalam pembentukan awal adalah Almahrum J. Hutagalung dan Almarhum M.W. Datubara. Setelah berbagai diskusi yang hangat, mereka sepakat membentuk perkumpulan, lengkap dengan pengurusnya.

Pada 4 Januari 1959, di Aula Gereja Santa Theresia, Menteng diresmikan berdirinya perkumpulan dengan nama Punguan Batak Katolik Indonesia (PKBI). Dalam PKBI, para anggota saling menguatkan dalam iman dan persaudaraan.

Semula, anggota PKBI ini terdiri dari 15 orang dewasa dan 40 orang muda-mudi. Dua tahun kemudian, dengan pertimbangan agar bisa mengakomodasi lebih banyak anggota, nama perkumpulan berubah menjadi Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara (IKKSU).

Dengan demikian, anggota IKKSU bukan hanya dari suku Batak, tapi siapa pun yang beragama Katolik dan berasal dari Sumatera Utara. “Sebab banyak juga orang Katolik dari Sumatera Utara, namun bukan orang Batak. Mereka pun kita akomodasi,”
jelas Ketua Umum IKKSU 2020-2025, Robert Simbolon.

Setiap anggota IKKSU lanjut Robert, wajib atau bertugas memastikan tidak ada sesamanya yang kelaparan karena tidak ada makanan, tidak berpakaian karena tidak punya pakaian, atau kesepian di rumah sakit atau penjara karena tidak dikunjungi. “Ini semua harus dilakukan, karena inilah karya yang Tuhan mau kita lakukan untuk-Nya,” jelasnya.

Menyuntikkan Kesadaran
Terhitung 4 Januari 2020, IKKSU Jabodetabek sudah berusia 61 tahun. Sepanjang usia yang tidak muda lagi ini, IKKSU telah mengambil bagian dalam upaya membangun Gereja dengan berbagai cara. Salah satu pengurus IKKSU Jabodetabek, Rasnius Pasaribu mengungkapkan, sejak awal para anggota didorong untuk terlibat dalam kegiatan lingkungan dan berbagai kegiatan paroki. “Upaya yang paling banyak adalah saling menyuntikkan kesadaran untuk membangun diri, memelihara iman dan tidak lupa kampung halaman. Bahwa dalam perjalanannya yang panjang itu ada jatuh bangunnya, itulah lika-liku perjalanan,” ungkap Rasnius.

Setelah pengurus baru untuk periode 2020-2025 dilantik oleh Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap pada 19 Januari 2020 di Wisma Samadi Klender, Jakarta, sepert diungkapkan Sekretaris Jenderal IKKSU Aloysius
Lodewikj Sihite, pengurus IKKSU akan melakukan revitalisasi semangat di antara para pengurus untuk selanjutnya berkarya melalui paroki-paroki. “Kami akan mengaktifkan IKKSU di setiap paroki
di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Keuskupan Bogor untuk ambil bagian dalam berbagai pelayanan di paroki misalnya terlibat kor dan berbagai kegiatan atau pelayanan lain. Kami akan mendorong ini dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Lebih lanjut, Lodewikj menjelaskan,untuk membangun kesolidan, pengurus akan mengupayakan penyelenggaraan Paskah bersama IKKSU setiap tahun. Sedangkan menyangkut sumbangsih untuk kampung halaman, IKKSU akan
mengumpulkan tokoh-tokoh IKKSU di KAJdan Keukupan Bogor untuk membantu gereja-gereja di kampung halaman. “Seperti kata Mgr. Kornelius, banyak sekali gereja di stasi-stasi yang memerlukan bantuan dan renovasi. Ini rencana jangka panjang, dan kami akan lakukan,” tambah Lodewikj.

Tekad IKKSU sejalan dengan harapan Mgr. Kornelius dalam khotbahnya pada Misa pelantikan, yakni agar setiap pengurus dan warga IKKSU mengembangkan sikap mau berbuat bagi orang lain, tidak melulu untuk diri sendiri. “Panggilan kita menjadiorang Kristen bukan untuk mendapat tetapi untuk memberi diri seperti Anak Domba
Allah. Ungkapan ‘lihatlah’ mengacu pada orang yang berperilaku baik. Kemudian Yesus disebut sebagai Anak Domba, ini mewakili pemberian diri dan kerelaan untuk mati demi keselamatanmanusia. Prinsipnya, not to have but to give,” ungkap Mgr. Kornelius memungkasi khotbahnya.

Emanuel Dapa Loka

HIDUP NO.06 2020, 9 Februari 2020

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini