HIDUPKATOLIK.com – Kita baru saja memasuki [kkstarratings]tahun baru. Secara politik, tentu saja kita berharap agar tahun baru ini juga menjadi pijakan refleksi bangsa agar mengambil langkah baru, langkah restoratif, sebagaimana tiga orang Majus mengambil langkah baru (jalan lain) setelah bertemu bayi Yesus di Betlehem (Mat.2:12).
Langkah baru memestikan adanya konsolidasi progresif yang berorientasi pada persatuan bangsa. Namun demikian, harus diakui, bahwa hal tersebut akan sulit terwujud. Alasannya, elite politik kita acap kali mengesampingkan politik kebangsaan. Alih-alih langkah baru, mereka justru mengkreasi lahirnya ekses-ekses destruktif yang menyebabkan bangsa kita malah mengambil langkah mundur.
Politik yang sebenarnya menjadi instrumen utama
penopang langkah baru itu, malah disekularisasi dan dipelintir untuk melegitimasi kepentingan segelintir orang. Akibatnya, anak-anak bangsa tidak diajak untuk berpadu nurani dan bersatu tekad, mencari cara bagaimana mengembangkan berbagai aspek elementer sehingga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa, melainkan dibiarkan terperangkap dalam praksis dekonstruktif.
Untuk mengatasi persoalan seperti ini, kita membutuhkan peran politikus Katolik. Sebagai orang yang beriman kepada Kristus, kita percaya bahwa mereka tidak terjebak dalam perspektif politik pragmatis. Politikus Katolik mesti menjadi politikus paradigmatik dan berkarakter “garam dan terang”, yang mengedepankan diskursus kebangsaan. Politikus Katolik mesti menjadi figur-figur yang tidak mementingkan rating pribadi atau kelompok, tetapi memikirkan nasib bangsa ini secara tulus.
Kalau elite politik pada umumnya, membiarkan
bangsa ini terpecah-belah karena kepentingan politik, maka politikus Katolik mesti merevitalisasinya agar kembali bersatu padu sebagaimana doa Kristus untuk persatuan para murid-Nya (Yoh.17:21). Hanya jika kita bersatu dan menyingkirkan kepentingan pribadilah, kita akan bisa secara bebas dan efektif dapat mencari format terbaik untuk memajukan bangsa ini.
Hal seperti ini penting, karena “dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan
perutusan” (Apostolicam Actuositatem/AA art 2).
Dalam kesatuan dengan Kristus yang mengutus,
mereka diberi otoritas untuk menciptakan langkah baru dengan mengambil bagian dan pelayanan
politik. Karenanya, instrumentalisasi politik mesti
diakhiri agar tidak menyebabkan bangsa ini berada
pada titik stagnan.
Selanjutnya, politikus Katolik perlu melakukan
evaluasi kebangsaan. Dalam evaluasi itu, mereka harus memetakan berbagai sengkarut sosial yang disebabkan oleh kekeliruan bersama terutama oleh elite politik kita. Selanjutnya persoalan-persoalan itu mesti ditematisasi, diperdebatkan dalam dialektika publik-kolektif, direfleksikan lalu dikonversi kedalam pikiran agregatif serta gerakan-gerakan solutif. Agar evaluasi kebangsaan efektif, maka mereka mesti melepaskan atribut-atribut partai dan steril dari jeratan proyek politik individual. Yang menjadi landasan mereka dalam evaluasi itu adalah spiritualitas politik dan nilai-nilai ke-Katolikan.
Ya, hati nurani politisi Katolik perlu berorientasi pada etika dan spritualitas politik Katolik (Magnis-Suseno, 2011). Selama ini, politikus Katolik memang telah berkiprah secara nasional. Tetapi
secara signifikan belum mampu merestorasi pilar-
pilar sosial yang terfragmentasi. Kalaupun ada, itu
hanya secara individual ataupun hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja. Gerakan evaluasi kebangsaan sebagai sebuah kesadaran kolektif restoratif pun belum terlembagakan secara baik dan efektif. Alhasil, belum ada gebrakan spektakuler yang pada akhirnya menjadi rujukan publik dalam melibatkan diri untuk memajukan bangsa.
Karena itu, evaluasi kebangsaan mesti melahirkan
cetak biru bagi perpolitikan nasional kita ke depan-
nya. Cetak biru menyediakan pemikiran restoratif revitalitatif. Dengannya, segenap elemen bangsa
dibantu untuk menyelami akar persoalan mengapa
terjadi kemunduran, baik di hulu maupun di hilirnya. Dengannya pula, mereka menjauhkan masyarakat dari segmentasi serta polarisasi akibat kepentingan-kepentingan parsial.
Romo Inosentius Mansur
HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020