Beata Benvenuta Bojani TOSD (1254 – 1293) : Mati Raga yang Tersembunyi

1027
Lukisan Beata Benvenuta Bojani dalam sebuah penglihatan di Gereja Friuli, Italia.
[colonialart.org]

HIDUPKATOLIK.com – Ia tak dapat melepaskan ikat pinggang yang melingkar di tubuhnya. Hanya Tuhan saja yang sanggup melepaskan ikat pinggang lambang mati raga dan tobat itu.

Para bidan tertegun. Mereka tak mampu berkata apa-apa, menyaksikan bayi mungil yang baru lahir. Gadis cantik itu terbungkus kain. Bayi kecil itu tak merengek sedikit pun, meski sang ibu enggan menolehnya. Sebaliknya, ia melemparkan senyum pertama yang mempesona.

Bukan kebahagiaan justru ketakutan. Bidan-bidan itu tak ingin memberitahu ayah sang bayi, yang dikenal pemarah. Mereka tahu, Corrado Bojani akan marah, bila mengetahui yang lahir adalah anak yang tak diharapkan.

Sejak dulu Corrado sangat mengharapkan kehadiran seorang anak laki-laki. Ia telah dikarunia enam anak perempuan. Tak terhitung usaha keluarga Bojani agar bisa mendapatkan momongan laki-laki. Nasib berkata lain, anak ketujuh yang lahir juga seorang perempuan.

Corrado, memang bertabiat keras. Tetapi entah kenapa, Corrado bisa menebak keheningan para bidan. Ia tahu ada ketakutan di hati para bidan. Di balik pintu ruang bersalin, Corrado berseru, “Anak itu pun saya akan terima!” Bayi mungil itu lantas diberi nama Benvenuta, yang artinya, ‘selamat datang’.

Suster Kecil
Tanggal kelahiran Benvenuta, tidak pasti. Beberapa menyebut tanggal 4 Mei 1254, sebagian lagi menyebut tanggal 3 Mei tahun yang sama. Tetapi, ada yang pasti, ia lahir di Cividale del Friuli, sebuah kota di Utara Italia, dekat perbatasan Slovenia. Kota ini berupa perbukitan dengan komiditi terkenal adalah keju.

Benvenuta dibesarkan dalam keluarga sederhana penuh cinta. Orangtuanya sangat memperhatikan kehidupan rohani. Bila tak ingin ke ladang, gadis berambut pirang ini sering terlihat di kapel milik Suster-suster Ordo Dominikan (Ordo Praedicatorum/OP), tak jauh dari rumahnya. Di situ, ia berdoa kadang-kadang bersenandung kidung pujian kepada Bunda Maria.

Kesalehan hidup Benvenuta ini membuat kakak-kakaknya sering memanggilnya suster kecil. Ia pun tak keberatan dengan panggilan itu. Rupanya, panggilan ini begitu berkesan baginya. Kelak, kebiasaan ini membentuk Benvenuta menjadi pendoa yang handal.

Sifat Benvenuta berbeda jauh dengan enam kakaknya. Mereka suka bersolek dan menghibur diri di pesta dansa. Dengan baju-baju bagus, mereka sering mengajak Benvenuta ke pesta-pesta ini, tetapi ia selalu melarikan diri dari pesata pora seperti itu. Hal inilah yang menjadikan kakak-kakaknya menertawakan perilaku Benvenuta yang kurang pergaulan.

Bagi Benvenuta, “dansa” (berdiam) bersama Tuhan jauh lebih mengasikkan. Untuk itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu “bersembunyi” di perbukitan di belakang rumah mereka. Dari tempat ini, ia dapat melihat bangunan Gereja Santa Maria yang terletak di seberang bukut. Diatas kapel itu terdapat menara lonceng dengan salib di atasnya. Ke arah salib itulah, Benvenuta memusatkan doanya.

Tuhan seakan mengetahui perangai Benvenuta. Di usia 12 tahun, ketika sedang berdoa di tempat favoritnya itu, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bungkusan pakaian. Ia menemukan pakaian yang biasa dipakai para seseorang yang ingin menjalani mati raga dan pertobatan. Benvenuta menemukan pakaian itu lengkap dengan ikat pinggang tali kasar.

Karena penasaran, Benvenuta pun mengenakan pakaian itu yang ternyata cocok di badannya. Ikat pinggang itu lalu diikatkan pada tubuhnya. Konon, ikat pinggang itu tak pernah dilepaskannya.

Seiring pertumbuhan fisiknya, ikat pinggang itu melukai pinggang Benvenuta. Saat ia berusaha melepaskan, ternyata ikat pinggang itu tak mau terlpas. Benvenuta tak mungkin meminta bantuan orang lain untuk melepaskannya, sebab hal itu akan menunjukkan matiraganya yang tersembunyi. Maka satu-satunya jalan adalah meminta pertolongan Allah agar tali itu dapat lepas. Persis, saat permohonan itu terucap dari bibir Benvenuta, ikatan itu terlepas dengan sendirinya.

Matiraga Radikal
Sepanjang hidupnya, Benvenuta memiliki devosi mendalam kepada Bunda Maria. Setiap hari sabtu, ia mendedikasikan dirinya kepada Bunda Maria. Bahkan, pada “Hari Raya Kabar Sikacita”, Benvenuta mampu mendaraskan dua ribu hingga tiga ribu doa Salam Maria.

Puncak dari kecintaan ini, saat memasuki usia 17 tahun, Benvenuta mengucapkan janji keperawanan secara pribadi kepada Perawan Maria. Di usia ini juga, ia bergabung menjadi anggota Ordo Ketiga Santo Dominikus. Sejak penerimaan sebagai anggota, ia berusaha keras meniru pola hidup sang pelindung, Santo Dominikus.

Sejak menjadi anggota Dominikan, Benvenuta melakoni praktik mati raga baru, termasuk disiplin diri yang keras. Ia terbiasa menjalani pantang dan puasa radikal setiap malam. Jika ia merasa mengantuk saat berdoa, ia akan mengusap kedua matanya dengan air cuka. Setiap malam, ia mencambuki dirinya sebanyak tiga kali. Ia menolak minum anggur, dan menggunakan bongkahan batu sebagai bantal.

Bagi banyak orang, jiwa seperti ini, justru disenangi iblis. Semakin bertumbuh dalam kedewasaan iman, iblis “mencambuki” dirinya dengan ragam cobaan. Setiap kali hendak berdoa, ia selalu melihat kegelapan dalam ruangan itu. Sekonyong-konyong, banyak prajurit iblis yang bersiap menerkam dan memangsanya. “Aku tak berdaya di hadapan mereka. Tak kuasa, kadang aku berteriak minta tolong kepada Allah. Lantas, Ia mengusir mereka dengan cara yang keras,” tulis Benvenuta

Kekuatan utama Benvenuta adalah mati raga, doa, dan puasa. Ia sangat radikal mendoakan jiwa-jiwa di Api Penyucian. Berkat doa-doanya, ia berhasil mengeluarkan ribuan jiwa di Api Penyucian. Hal ini terekam dalam sebuah mimpinya. Di suatu senja, seorang pendosa, bersua dengannya. Pendosa itu digambarkan begitu gembira. Ia berlutut di hadapan Benvenuta lantas berterima kasih kepadanya. Berkat doanya, pendosa menikmati surga.

Puncak Penglihatan
Di kalangan para Dominikan, Benvenuta adalah pribadi yang keras dalam hidup rohani. Sayang, semua mati raga dan pergumulan rohani ini, berimbas pada kesehatannya. Ia mudah jatuh sakit. Supaya bisa mengikuti Misa di gereja, ia harus digendong seorang kakaknya.

Banyak orang menyayangkan kesehatannya yang buruk padahal usia masih terbilang belia, 18 tahun. Dirinya tak peduli, justru berkata, “Lebih baik menjadi muda di surga daripada tua di neraka.”

Benvenuta memang seumur hidup tak memiliki bapak rohani. Tetapi ia menjadi wanita istimewa karena pernah dikunjungi Santo Dominikus. Pertemuan pertama ketika kembali dari ziarah di makam St Dominikus di Bologna. Wanita polos, penuh kesalehan ini mengalami sukacita karena bertatapan langsung dengan sang patron.

Awalnya, Benvenuta menolak kunjungan ini karena merasa dirinya tak layak mendapat perlakuan istimewa dari Dominikus. Tetapi atas desakan bapak pendiri, ia bisa bertatap wajah dan bercakap dari hati ke hati.

Setelah kunjungan ini, Benvenuta bertemu dengan St Petrus dari Verona. Setelah itu, rentetan penglihatan lain dialaminya, termasuk melihat Yesus saat masa kecilnya. Puncak penglihatan Benvenuta adalah saat ia dikunjungi Bunda Maria. Ibu Yesus mengizinkan Benvenuta ikut menderita bersamanya serta ikut menyaksikan penderitaa Kristus di salib. “Setiap hari, Anda harus merayakan jalan salib,” demikian isi pesan Bunda Maria kepadanya.

Namun, Benvenuta bukanlah seorang pemurung. Ia dalah seorang kontemplatif yang paling manis dan pribadi penuh sukacita. Wanita penuh kesalehan ini meninggal pada usia 38 tahun pada 20 Oktober 1292. Benvenuta dibeatifikasi oleh Paus Klemens XIV pada 6 Februari 1763. Ia menjadi wanita yang mendidikasikan hidup pada jiwa-jiwa di Api Penyucian.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.49 2019, 8 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini