Dan Paus Pun Melepas Kasutnya

707
Paus bertemu pemimpin tertinggi Buddha di Thailand, Somdet Phra Maha Muneewong Ariyavongsagatayana, di Kuil Ratchabophit, Bangkok, Thailand, Kamis, (21/11/2019).
[Host Broadcaster (MCOT)]

HIDUPKATOLIK.com – Umat Katolik di Thailand amat bahagia. Meski cuman kawanan kecil, Paus mengunjungi mereka. Paus meminta agar jangan berkecil hati dan mendorong mereka menjadi misionaris.

Suasana kedatangan Paus Fransiskus ke Thailand sudah tampak ketika saya menjejakkan kaki di Bandara Internasional Don Mueang, Bangkok, Thailand. Pengemudi Grabcar yang saya tumpangi kendaraannya, dari bandara menuju penginapan, sudah mendengar ihwal kedatangan Paus Fransiskus sejak sebulan lalu.

Saat melintasi tol dari Don Mueang menuju Silom, salah satu kawasan yang menjadi pusat bisnis dan perkantoran di kota Bangkok, bendera Vatikan bersanding dengan Thong Trairong (bendera tiga warna/Thailand) di sejumlah ruas jalan.

Suasana kedatangan Paus tentu amat terasa di sejumlah lokasi yang dikunjungi oleh penerus St Petrus itu, misal di Sathon Road, Distrik Bang Rak, Bangkok. Di kawasan ini berdiri Nunsiatura Thailand, gereja, sekolah, dan RS St Louis. Paus Fransiskus menginap di nunsiatura dan menyambangi RS St Louis, sehari setelah tiba di Thailand.

Lokasi lain adalah Stadion Nasional Suphachalasai, Gereja St Petus di Distrik Sam Phran Provinsi Nakhon Pathom, dan Gereja Katedral Assumpta Bangkok. Bahkan salah satu dealer mobil pabrikan Jepang memajang bingkai besar foto Paus Fransiskus di depan toko mereka.

Di Thailand, umumnya di bagian depan toko, mal, atau tempat usaha, selain perkantoran dan gedung lembaga pemerintahan, memajang foto raja. Dealer itu mungkin satu-satunya yang memajang pigura Paus berukuran raksasa di Thailand. Hal ini boleh jadi karena mobil khusus untuk Paus (popemobile), yang ditumpanginya ketika berkeliling di stadion nasional dan kompleks Gereja St Petrus untuk menyapa dan memberkati umat, disediakan oleh perusahaan otomotif asal Jepang tersebut.

Kunjungan Yesus
Rabu, 20 November 2019, sekitar pukul 10.30 waktu setempat, salah satu ruas jalan Sathon, mulai dari depan Nunsiatura Thailand hingga RS St Louis, sudah dipenuhi manusia. Mereka antara lain adalah para pelajar dan guru di sekolah Katolik di Bangkok, sejumlah imam, biarawan dan biarawati, serta peserta tur dari sejumlah negara di Asia.

Mereka ingin melihat dan menyambut kunjungan perdana Paus Fransiskus. Mungkin ini bakal menjadi kunjungan satu-satunya Paus Fransiskus ke tanah orang Thai. Umat pun belum tentu dapat merasakan pengalaman serupa untuk kedua kalinya. Sehingga, mereka tak ingin melewatkan peristiwa monumental ini.

Dalam sejarah kepausan, paus pertama yang mengunjungi Thailand adalah Bapa Suci Yohanes Paulus II (YP II). 35 tahun kemudian, negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha itu kembali dikunjungi oleh pemimpin umat Katolik sedunia. Keberadaan Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio di Thailand mengungguli pendahulunya. YP II hanya 36 jam di Siam, sebutan lampau untuk Thailand.

Paus tiba Sathon Road sekitar pukul 13.10. Penerus Takhta St Petrus itu langsung disambut umat dengan pekikan viva il papa (panjang umur bagi Paus) sembari melambaikan bendera Vatikan dan Thailand. Paus membuka kaca pintu. Dari dalam kendaraan berplat SCV 1 (Stato della Citta del Vaticano/Status Civitatis Vaticanae, Negara Kota Vatikan), Paus kelahiran Buenos Aires, Argentina, melambaikan tangan kepada umat.

Mantan pebulutangkis Indonesia yang kini menjadi pelatih bulutangkis Thailand, Rexy Mainaky, mengatakan, kehadiran Paus di negara ini sebagai sebuah peristiwa langka dan sangat berkesan. Kunjungannya ke negara ini, lanjut Rexy, memberi kekuatan moral dan spiritual bagi umat Katolik.

Bagi pasangan suami-istri (pasutri) Khun Caiwat dan Valentina Susilo, mengaku, umat Katolik di Thailand amat beruntung karena Paus berkunjung ke negeri ini. Padahal, jumlah umat Katolik di sini tak banyak. Khun Caiwat adalah orang Thai yang belum lama dibaptis. Sementara sang istri adalah adalah umat Katolik asal Indonesia.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Suster Atchara Sukphiboom LCC. Ia takjub dengan perhatian Paus Fransiskus kepada kawanan kecil, umat Katolik, di Thailand. “Meski kami (jumlah umat Katolik) sangat sedikit di sini, tapi Paus mau mengunjungi kami,” ungkapnya.

Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Komisi Komunikasi Sosial Waligereja Thailand, umat Katolik di Thailand per 2018 berjumlah 379.975 jiwa atau sekitar 0, 46 persen dari 69 juta populasi penduduk.

Pasutri kelahiran Indonesia dan menetap di Thailand, Herman Josef Andrianto Jayapurna dan Debora Lakshmi Kartikasari Tantya, merasa kunjungan Paus seperti bernostalgia saat muda dulu di Indonesia. Mereka bertemu Paus (YP II) di Jakarta. “Saya waktu itu menjadi anggota kor (saat Paus memimpin Misa di Istora Senayan),” kenang Andrianto, tersenyum.

Siswi Sekolah Assumption Conrent Silom, Anncathrin-Fah Meachtlen mengaku amat gembira dengan kedatangan Paus Fransiskus. Ini pengalaman pertama baginya melihat langsung Paus. Ia berharap dapat berjumpa kembali dengannya.

Kesan hampir serupa juga diungkapkan oleh CPE Supervisor St Louis College, Suster Laurence Pautinet SPC. Ia terharu sekaligus bahagia dengan kedatangan Paus di Thailand dan menyapa umat Katolik di sini. Baginya, Paus merupakan representasi Yesus di dunia. “Yesus mengunjungi kami, umat-Nya,” ujar biarawati dari Kongregasi Para Suster St Paulus dari Chartes.

Umat Katolik di Thailand amat bahagia dengan kehadiran Paus di tengah mereka. Tak hanya datang dan mengabadikan perisitwa tersebut, tak sedikit umat juga yang berusaha untuk memfoto dan menyentuh berbagai sarana yang digunakan Paus selama berada di tengah mereka.

Paus Fransiskus amat mengetahui dan menyadari umat Katolik di Thailand amat sedikit. Namun, ia meminta mereka jangan berkecil hati dengan jumlah yang terbilang sangat sedikit. Sebab, Tuhan selalu punya cara unik dengan menggunakan tangan serta karya mereka untuk mematri sejarah keselamatan.

Dalam setiap kunjungan, Paus menyerukan berbagai pesan dan persoalan konkret, baik itu dalam tubuh Gereja maupun situasi negara. Saat berkunjung ke RS St Louis, Kamis, 21 November 2019, Paus Fransiskus menekankan akan upaya Gereja dalam memberi bantuan kepada rakyat Thailand, terutama mereka yang membutuhkan.

Di tempat tersebut dan ketika memimpin Perayaan Ekaristi di Stadion Suphachalasai, pada sore hari yang sama, Paus pun mendorong umat dan komunitas-komunitas Katolik untuk menjadi misionaris lewat sikap dan karya. Menurutnya, kita baru bisa menjadi menjadi misionaris apabila mampu hidup bersama dengan orang lain sebagai satu keluarga yang dipersatukan Tuhan, dapat berbagi serta menjamin keberlangsungan hidup sesama, terutama yang berdosa, berkekurangan, dan tersingkir.

Kemanusiaan, Persaudaraan
Saat menghadiri jamuan makan malam di pinggir jalan di daerah Silom, sekitar empat kilo meter dari Gereja Katedral Bangkok, saya cukup terhenyak. Di sepanjang jalan itu, di depan aneka “restoran”, bar, atau tempat karaoke, banyak perempuan duduk berkelompok. Dandanan mereka serba menor dan mengenakan bermacam kostum.

Perempuan-perempuan itu mengundang setiap pengunjung untuk masuk ke salah satu tempat tersebut atau membawa pergi mereka. Saya melihat mereka seperti barang di etalase mal. Bahkan, diperlakukan lebih rendah. Di mal, barang yang dipajang dibatasi oleh kaca sehingga pengunjung hanya bisa melihat. Sementara, perempuan-perempuan itu tak dibatasi oleh apa pun. “Itu legal,” kata seorang teman saya.

Prostitusi, migran, dan perdagangan manusia, merupakan persoalan kemanusiaan yang sempat disuarakan Paus selama di Thailand. Paus mendesak warga Thailand untuk tidak mengabaikan perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan untuk seks atau migran yang diperbudak dan dipaksa bekerja. “Mereka semua adalah bagian dari keluarga kita. Mereka adalah ibu kita, saudara dan saudari kita.”

Sebelumnya, ketika bertemu dengan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chanocha, Paus mengingatkan mereka bahwa melayani kepentingan umum adalah salah satu tugas paling mulia yang dapat dilakukan siapa pun. Paus juga menyoroti masalah krusial lain saat ini, seperti ketidakadilan dan pentingnya dialog antaragama. Topik hampir senada juga disampaikan Paus saat bertemu dengan Raja Thailand, Vajiralongkorn

Paus menggambarkan Thailand sebagai “penjaga tradisi spiritual dan budaya kuno”, sebuah negara multietnik dan beragam yang telah “lama mengetahui pentingnya membangun keharmonisan dan hidup berdampingan secara damai di antara banyak kelompok etnis.”

Selain bertemu dengan kedua pemimpin negara tersebut, pada hari yang sama, Paus bertemu pemimpin tertinggi Buddha di Thailand, Somdet Phra Maha Muneewong Ariyavongsagatayana, di Kuil Ratchabophit. Pada kesempatan tersebut, Paus mengucapkan terima kasih kepada umat Buddha sebab umat Katolik menikmati kebebasan beragama meski menjadi minoritas, dan hidup dalam harmoni bersama sebagai saudara dan saudari umat Buddha.

Dua pemimpin umat beragama itu duduk di depan patung emas Buddha. Ketika menyambut Paus, Phra Maha Muneewong tidak mengenakan alas kaki dan berjubah oranye. Paus pun mengikuti dengan melepas sepatunya.

Harus Keluar
Dalam pertemuan dengan Konferensi Waligereja Thailand serta Federasi Konferensi Waligereja Asia di Kapela Beato Nicholaus Bunkerd Kitbamrung –berada dalam komplek Gereja St Petrus–, di Distrik Sam Phran, Provinsi Nakhon Pathom, sekitar 58 kilo meter dari Bangkok, Jumat, 22 November 2019, Paus menasehati para uskup agar mereka menjadi pelayan, bukan tuan, atau manajer. “Jangan takut untuk turun ke jalan dan berhadapan langsung dengan kehidupan orang-orang yang dipercayakan kepada mereka,” ungkapnya.

Paus juga meminta kepada para uskup untuk selalu “membuka pintu” dan dekat dengan imam-imam mereka. “Dekati imam-imammu, dengarkan dan temani mereka dalam segala situasi, terlebih saat Anda melihat mereka berkecil hati dan apatis. Sebab, (saat-saat seperti) itu merupakan godaan terburuk setan,” papar Paus.

Seorang rekan misionaris, yang sejak lima tahun lalu berkarya di sana, mengakui, persoalan-persoalan tersebut menjadi persoalan pelik di Thailand. Gereja Katolik di Thailand harus memberi perhatian dan bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut. Sebab, katanya, bisa jadi ada umat Katolik yang menjadi korban atau terlibat dalam momok seperti. “Gereja harus keluar. Tak hanya menunggu umat datang ke gereja atau pastoran untuk memohon rahmat,” sarannya.

Yanuari Marwanto dari Bangkok

HIDUP NO.49 2019, 8 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini