Beata Alessandra Sabattini (1961-1984) : Inspirasi Kaum Milenial

2043
Beata Alessandra Sabattini.
[ncregister.com]

HIDUPKATOLIK.com – Meski hidupnya singkat, 23 tahun, namun penuh hikmat. Sejak remaja, ia meniti jalan suci. Ia bertekun dalam doa dan amal.

Braakk! Sebuah mobil menubruk tubuhnya dengan amat keras. Raga gadis itu terpental jauh, lalu jatuh di jalanan. Seketika, ia tak sadar. Tubuhnya segera dilarikan ke rumah sakit di Bologna, Italia. Tiga hari berselang, ia menghembuskan napas yang terakhir.

Gadis itu baru berusia 23 tahun. Namanya Alessandra Sabattini. Hari itu, Minggu pagi, 29 April 1984. Sandra, demikian ia kerap disapa, bersama pacarnya Guido Rossi, serta rekannya Elio, hendak menghadiri pertemuan Komunitas Paus Yohanes XXIII (1881-1963).

Pagi itu, dengan mengendarai mobil, mereka menuju Igea Marina, dekat Rimini. Sesampai di lokasi, Sandra dan Elio keluar dari mobil bersamaan. Tak dinyana, sebuah mobil lain melaju kencang, langsung menabrak tubuh Sandra dan Elio. Nahas, itulah hari terakhir Sandra bisa menatap terang mentari. Setelah itu, ia tak sadar hingga wafat di Rumah Sakit Bellaria di Bologna.

Saksi Kunci
Semenjak itu, banyak orang membicarakan cara hidup Sandra selama masih hidup. Sandra dianggap telah melakoni hidup suci dengan doa dan amal. Setelah dua dekade lebih setelah meninggalnya Sandra, tepatnya pada 2006, Keuskupan Rimini mulai membuka penyelidikan tentang kesuciannya. Sekitar 60 orang memberikan kesaksian.

Saksi kuncinya adalah Stefano Vitali. Stefano, kala masih muda adalah salah satu asisten Pastor Oreste Benzi atau yang kerap disapa Don Benzi, pendiri Komunitas Paus Yohanes XXIII. Pada 2007, Stefano divonis menderita kanker usus.

Don Benzi langsung menyarankan agar Stefano terus berdoa melalui perantaraan Sandra. Stefano pun mengikuti saran Don Benzi. Oktober 2007, ia menjalani pemeriksaan medis. Dan sungguh di luar dugaan, kanker yang bercokol di usus raib tanpa bekas.

Kasus ini lantas diselidiki secara serius. Tim dokter yang menangani kasus ini pun menyatakan bahwa kesembuhan Stefano tak bisa dijelaskan secara ilmu medis.

Mukjizat ini membuka jalan bagi Sandra masuk dalam jajaran orang kudus. Dan, benar, pada 2 Oktober 2019, Paus Fransiskus melalui Kongregasi Penggelaran Kudus mengesah dekrit mukjizat melalui perantaraan Sandra, dan menjadi jalan untuk proses beatifikasi. Belum ada jadwal resmi upacara beatifikasi Sandra akan digelar.

Yohanes XXIII
Sandra lahir 19 Agustus 1961 di Rumah Sakit Riccione. Orangtuanya Giuseppe Sabattini dan Agnese Bonini. Mereka tinggal di Misano Adriatico. Saat Sandra berusia empat tahun, mereka pindah ke pastoran Paroki San Girolamo di Rimini. Pastor Giuseppe Bonini, kakak laki-laki ibu Sandra adalah pastor paroki ini.

Pada 24 Januari 1972, Sandra yang baru berumur 11 tahun mulai menulis buku harian. Goresan penanya dalam buku harian itu bukanlah tulisan biasa. Tulisan-tulisan Sandra sarat makna mendalam. “Kehidupan yang tanpa Tuhan hanyalah cara untuk menghabiskan waktu,” tulis Sandra. Pada kemudian hari, kalimat-kalimat dalam buku harian itu dianggap merupakan ungkapan iman kekatolikan Sandra.

Di tengah asyik menulis buku harian, suatu hari, Sandra dipertemukan dengan Don Benzi, pendiri komunitas Paus Yohanes XXIII. Paus Yohanes XXIII atau nama aslinya Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli terpilih sebagai Paus pada Oktober 1958. Dia adalah Paus yang dengan berani membuka “jendela dan pintu” Gereja melalui Konsili Vatikan II.

Sandra pun langsung tertarik berhimpun dalam Komunitas Paus Yohanes XXIII. Musim panas 1974, ia menghabis waktu dengan menjadi relawan di wisma Madonna delle Vette di Canazei, rumah yang menampung dan membantu kaum muda berkebutuhan khusus. Pengalaman perjumpaan dengan mereka yang terbatas secara fisik menorehkan jejak mendalam di hati Sandra. Saat pulang, ia bercerita kepada sang ibu, “Kami bekerja melayani mereka sampai jatuh. Tetapi orang-orang inilah yang tidak akan pernah saya tinggalkan.”

Sejak itu, hati, pikiran, dan tindakannya selalu mengarah ke mereka yang miskin dan menderita. Bahkan, Sandra kerap menggunakan uang saku dari orangtuanya untuk membantu mereka miskin. Mimpinya adalah menjadi misionaris medis di Afrika.

Maka, setelah lulus sekolah menengah, ia langsung memilih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Bologna. Di sela-sela kuliah, Sandra masih aktif berkegiatan di Komunitas Paus Yohanes XXIII. Pada musim panas 1982, ia ikut melayani di panti rehabilitasi pecandu narkoba.

Kisah asmara Sandra juga bersemi di Komunitas Paus Yohanes XXIII. Dalam sebuah acara, ia bersua Guido Rossi. Rupanya mereka saling jatuh hati. Mereka pun “jadian”. Mereka berkomitmen untuk berbagi cinta, kasih, dan cita demi kemuliaan Allah dan orang-orang miskin.

Hidup Doa
Tiap pagi, setelah bangun tidur, Sandra akan segera beranjak ke gereja. Ia bersimpuh di lantai di hadapan Sakramen Mahakudus. Ia mendaraskan doa. Hal serupa juga akan dia buat kala malam. Meskipun dalam gelap dan dingin, Sandra tetap pergi ke gereja. Dia bisa berdoa berjam-jam dan tetap bersimpuh di lantai. Katanya, ini tanda kerendahan hati dan kemiskinan.

Selain laku amal, Sandra memang amat intim berdoa kepada Allah. “Amal adalah buah dari doa. Itulah titik di mana surga bergabung dengan bumi; di mana manusia berhimpun dengan Allah,” tulisnya.

Don Benzi, yang menyunting buku harian Sandra, Sandra’s Diary, pada 1985, menyatakan bahwa hidup Sandra selalu diarahkan kepada Yang Tak Terbatas, Yang Terang, dan Yang Penuh Cinta. “Sandra meninggalkan warisan yang mendalam dari hati orang muda yang terbakar dengan cinta Allah. Hidupnya telah memberikan inspirasi kepada banyak orang, kerena semangat kerasulan dan cintanya kepada orang miskin. Sandra adalah model orang muda yang setia dalam penginjilan,” ucap Don Benzi.

Terima Kasih Sandra
Sekira 7500 orang, mayoritas orang muda memadati sebuah aula di Rimini, bagian timur Italia. Acara yang digelar pada medio 2008 ini menjadi ungkapan syukur atas penutupan fase penyelidikan mukjizat melalui perantaraan Sandra.

Lima puluh relawan muda dilibatkan untuk membuat pameran serta menjadi pemandu selama acara. Mereka menamakan diri “teman-teman Sandra”. Hadir pula Stefano Vitali, saksi hidup yang mengalami mukjizat melalui perantaraan Sandra.

Lepas dari penyelidikan atas mukjizat itu, banyak orang tersentuh ketika mengenal Sandra lebih mendalam. Seorang ibu muda mengatakan, “Sandra, kamu akan segera menjadi Santa, karena kamu memiliki hati yang besar. Jika saya punya anak perempuan, saya akan memberi nama sama seperti kamu.”

Sementara seorang anak perempuan berusia 11 tahun menulis, “Aku belum pernah melihat senyum seperti itu. Aku membutuhkan kamu, terima kasih, Sandra.”

Yang lain menulis, “Terima kasih, Sandra, karena telah berjumpa kamu di sini. Aku berharap dan tolonglah aku agar memiliki kekuatan untuk mencintai dan memberi diri, terutama kepada mereka yang miskin dan menderita.”

“Kamu adalah teladan yang indah. Terima kasih, Sandra manis.” Dan yang lain juga menulis, “Aku merasa bahagia ketika aku memberikan diriku untuk semua. Terima kasih, Sandra.”

“Terima kasih, Sandra, atas kesaksian hidupmu dalam cinta bersama Yesus. Tolong aku agar bisa menemukan panggilan hidupku.”

Beata Sandra menjadi model bagi orang muda yang terbakar oleh cinta Allah, dan mengungkapkan cinta itu melalui pelayanan kepada orang miskin dan menderita. “Ia teladan kerasulan orang muda zaman ini,” tegas Don Benzi.

Y. Prayogo

HIDUP NO.48 2019, 1 Desember 2019

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini