Milenial Tolak Intoleransi

181
Mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin (tengah), memperkenalkan konsep moderasi beragama kepada peserta seminar di Auditorium H.M Rasjidi, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa, 3/12.
[Felicia Permata Hanggu]

HIDUPKATOLIK.com – Anak muda sepakat radikalisme tak pernah elok berada di bumi Pancasila. Hanya perlombaan berbuat kebaikanlah yang mampu menghantarkan manusia kepada Allah.

Seorang Mahasiswi bercadar hitam berjalan bersama dengan sekolompok mahasiswa berjas almamater hijau menuju auditorium H.M Rasjidi, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa, 3/12.

Kedatangan mereka disambut oleh mahasiswa lain dari pelbagai universitas di Indonesia. Walaupun kental dengan nuansa islami dengan banyak mahasiswi mengenakan hijab, tak terlihat kecanggungan antar mahasiswa untuk berinteraksi dengan mereka yang beragama lain. Semua orang melebur menjadi satu dengan semangat yang sama, menolak sikap intoleransi.

Ruangan yang dingin itu pun mulai dibakar dengan teriakan semangat para mahasiswa, “Intoleransi no! Pancasila yes!,”. Itulah sorakan gembira mereka untuk memeriahkan Seminar Moderasi Beragama di Kalangan Milenial bertajuk “Asyiknya Beragama yang Toleran”. Isu ini diangkat oleh Kementerian Agama (Kemenag) kepada kaum milenial untuk menawarkan cara pandang baru beragama secara kontekstual dengan melihat keanekaragaman yang dihayati Pancasila.

Menteri Agama Periode 2014–2019, Lukman Hakim Saifuddin menjabarkan, keragaman adalah anugerah dan kehendak Allah dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis untuk saling belajar dan saling mengenal satu sama lain. “Kemampuan manusia untuk mengerti Allah yang Maha Besar itu sangat terbatas, maka tidak heran jika keragaman muncul untuk mencoba mengenal Allah dengan pelbagai cara,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Maka jangan alergi kepada keragaman, tetapi beryukurlah untuk itu terlebih karena bapak pendiri kita telah menghadirkan Pancasila di tengah-tengah Indonesia.”

Pria kelahiran 25 November 1962 yang baru saja bertemu Paus Fransiskus, dalam rangka menghadiri pelantikan Kardinal Suharyo ini menegaskan bagaimana daya rusak konflik berlatar belakang perbedaan klaim kebenaran tafsir agama akan memiliki efek kehancuran lebih dashyat. sebab agama mampu menyentuh relung emosi jiwa manusia.

Guna menghindari efek negatif tersebut, Kemenag RI menawarkan konsep moderasi beragama untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia. Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama.

Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.

Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Abd Muid yang menjadi salah satu peserta seminar juga mengaku setuju dengan konsep ini. “Saya setuju karena penggunaan kata radikal yang masif akan semakin menguatkan identitas kelompok mereka, sehingga kata moderasi agama lebih pas digaungkan untuk kondisi saat ini,” tuturnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Juventus Primus Yoris Kago, dan Ketua Umum PB HMI, Respiratori Saddam Al Jihad, sepakat bahwa anak muda harus turut serta terjun dan berdialog dengan keanekaragaman dan melawan sikap intoleran yang tidak sesuai dengan semangat dasar Pancasila. “Milenial itu memiliki tiga karakter utama: kreatif, responsif, dan mampu menjaga nilai. Jadikanlah aset itu untuk menjaga keutahan NKRI,” tandas Juve, sapaannya.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.50 20 2019, 15 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini