HIDUPKATOLIK.com – Beberapa menit lagi hari berganti dari Selasa ke Rabu, 13 November 2019. Djaduk bergegas pulang ke rumahnya di Bantul usai mengikuti rapat persiapan “Ngayogjazz” yang akan digelar tiga hari lagi, 16 November 2019, di Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Saat rapat, dia tampak sehat-sehat walau agak lelah. Sesampai di rumah, ia sempat tidur. Namun pukul 02.30 WIB terbangun karena kesakitan dan meninggal. Sangat cepat dan tak terduga, saudara maut datang menjemput ayah lima anak itu. Tuhan mendatangi bungsu kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1964 itu seperti pencuri datang di waktu malam.
Seniman serba bisa itu meninggal di tengah kesibukan dengan tensi tinggi menyiapkan Ngayogjazz. Ia adalah salah satu penggagas perhelatan yang memadukan musik etnis dengan musik jazz. Djaduk memang pencinta musik jazz dan hal-hal bersifat etnik. Kecintaan ini dengan tegas ia tunjukkan melalui grup musik Kua Etnika, Orkes Sinten Remen, dan Teater Gandrik.
Dalam keluarga, Djaduk adalah ayah dan suami yang hangat. Betapa pun dia sibuk, dia selalu punya waktu untuk istri dan anak-anaknya. Baginya, doa dan restu istri serta anak-anaknya memberi kekuatan tersendiri. Dia menyebut istri dan anak-anaknya sebagai “teman-teman yang sangat spesial”.
Dia tipe pria humoris di dalam dan di luar rumah. Humor adalah energi alternatif dalam hidup dan karya. Suatu hari ketika istrinya tidak lulus ujian SIM, dengan nada humor ia katakan, “Sabar, ini ujian. Untuk mendapatkan SIM memang harus ujian dan lulus. Jalanan jangan dijadikan tempat latihan.” Karena hubungan mereka yang hangat itulah, Djaduk menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan sang istri.
Di jagad seni, Djaduk dikenal melalui karya-karya “sekuler”, namun diam-diam dia membuat karya-karya di bidang rohani. Salah satu, rearransement lagu “Nderek Dewi Maria” yang seketika langsung beredar di berbagai grup WA, sesaat setelah berita wafatnya memecah keheningan.
Suatu hari, saya bertemu Djaduk di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu Djaduk berpendapat, Gereja harus lebih giat mengembangkan inkulturasi. Konsep inkulturasi sangat menghargai kearifan lokal dan nilai-nilai yang dihidupi umat Gereja lokal. “Bukankah itu menjadi tontonan,” kata saya waktu itu.
Sesaat kemudian, Djaduk melanjutkan kata-katanya, “Bisa jadi awal-awal dianggap sebagai tontonan, tapi setelah beberapa kali sudah dianggap bagian dari penghayatan iman, dan orang berkata maturnuwun, Gusti, Kau hadir dalam kampung kami, budaya kami,” ujarnya. Ini artinya, orang memuji Tuhan dalam dan dengan akal, rasa dan pengalaman yang paling dekat dengannya.”
Djaduk terlahir dengan nama Guritno. Nama ini adalah pemberian pamannya. Tapi ayahnya, Bagong Kussudiardjo, mengganti namanya menjadi Djaduk, yang berarti unggul. Sudah sejak kecil dia gandrung tari dan wayang. Ia selalu ditemani radio yang sering menyiarkan pertunjukan wayang. Lingkungan masa kecilnya di Tedjakusuman, Yogyakarta yang dekat dengan kesenian sangat mendukung kariernya di bidang musik, juga teater.
Kini ia telah pergi. Djaduk berangkat di tengah persiapan pagelaran Ngajogjazz yang sangat dia cintai.
Emanuel Dapa Loka
HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019