St. Lauence Bai Xiaoman (1821 – 1856) : Darah Martir Pedesaan

346
Eksekusi St Laurence Bai Xiaoman di hadapan anak dan isterinya.
[amdgchinese.org]

HIDUPKATOLIK.COM – Ia berani mengritik pemerintah yang menghabisi nyawa para pelayan pastoral. Ia adalah martir untuk umat di pedesaan.

Hidupnya tak menentu. Di Desa Shucheng, Guizhou, Tiongkok, masyarakat memanggilnya “rubah kecil”. Panggilan ini mengingatkan masyarakat akan perangai Laurence Bai Xiaoman yang sering berpindah-pindah tempat.

Ayah ibu Bai meninggal, saat dirinya berusia tiga tahun. Hidup dalam kemiskinan, tak membuatnya putus asa. Bai adalah pribadi yang humoris. Ia diterima di mana saja karena kebaikan hatinya. Ia gemar membantu orang-orang desa tanpa meminta imbalan. Ia terbiasa bekerja di ladang, menebang pohon, juga memikul karung gandum dari ladang ke rumah-rumah warga.

Terkadang setiap jerih lelah Bai hanya dibayar dengan semangkok sup. Sesekali, beberapa orang memang memberi uang, tetapi ia akan membagikannya kepada keluarga-keluarga yang sering memberinya makan.

Jalan Sulit
Hidupnya mengalami perubahan ketika Bai mendengar kisah tentang Pastor Auguste Chapdelaine, PIME (1814-1856). Saat dua katekis Jerome dan Lu Tingmei baru saja melayani di Yaoshan, Bai mendengar cerita tentang sosok Misionaris Pontificium Institutum pro Missionibus Exteris/PIME yang datang dari Prancis itu.

Kisah kemartiran Pastor Auguste amat membekas di hati Bai. Meski saat itu, ia masih menganut agama tradisional Tiongkok. Lambat laun, ia pun mulai tertarik dengan iman Katolik. Hal itulah yang mendorongnya untuk belajar mengenal Kristus. Ia berpikir, tentu tidak sulit untuk mendalami Kristus. Sebagai yatim piatu, ia bebas menentukan ke mana hidupnya akan berjalan. Namun, saat hal ini ia sampaikan kepada keluarga yang merawatnya, alih-alih mendukung, justru ia dilarang ke rumah.

Namun, Bai tetap melanjutkan belajar kekatolikkan. Suatu kali, ia menyampaikan hal ini kepada Ting Ming, seorang temannya. Tetapi, teman itu justru menyebarkan rahasia itu kepada masyarakat sekitar. Walhasil, ia dibenci dan diusir dari kampung itu. Bai harus bertahan hidup di gubuk reot, tanpa makan dan minum. Warga sekitar juga melarangnya mengambil makanan dari ladang mereka. Bai pun terpuruk. Ia menderita sakit lambung. Selama sakit itu, tidak ada seorang pun yang menawarkan bantuan kepadanya.

Merasa ajal menjemputnya, Bai memberanikan diri kembali ke desanya. Ia harus mengalah agar bisa mendapatkan makanan. Sebab bila bertahan dalam situasi ini, ia bisa kehilangan nyawa. Meski mengalah, namun sebenarnya “makanan surgawi” telah menjadi santapan hariannya. Ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kristus, pemberi makanan surgawi.

“Pertobatan” yang mendadak ini dianggap sebagai “keberhasilan” bagi masyarakat sekitar. Mereka merasa dua katekis itu tidak mampu meyakinkan Bai. Demi mengalihkan perhatian, orang desa memaksa Bai untuk menikahi seorang wanita pilihan mereka.

Bai pun kemudian menikahi Mei Chan-Li, pada usia 30 tahun. Dari hasil pernikahan itu, mereka dikarunia seorang gadis cantik. Ia menjadi ayah yang baik, jujur, dan bertanggungjawab. Mei yang awalnya menolak Bai karena dianggap pembawa sial, lambat laun makin mencintainya. Keluarga ini hidup harmonis, hingga Tuhan mengetuk lagi hati Bai kedua kalinya.

Makanan Surgawi
Saat pernikahan mereka berusia delapan tahun, Mei menemukan tujuan hidupnya. Mei yang dulu sangat menentang keinginan sang suami memutuskan menjadi Katolik. Mei terkesima dengan figur Pastor Chapdelaine. Khotbah-khotbahnya selalu menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat kecil. Kebapaan Pastor Chapdelaine, cara menyapa, kehadirannya, membuat suami istri ini tak ragu melepaskan iman tradisional mereka.

Tahun 1855, Bai dan Mei memutuskan dibaptis. Semenjak itu, Kristus menetap di hati mereka. Keduanya bersama sang anak memberi diri dibaptis dan meyakinkan diri mereka sebagai katekis awam di wilayah Guizhou. Saat itu, Pastor Chapdelaine memberi mereka sebuah buku katekismus, rosario, patung Bunda Maria, dan orasi suci kepada mereka.

Setiap hari, keluarga kecil ini selalu mendaraskan Doa Rosario. Mereka juga selalu membacakan doa-doa yang ada di buku orasi suci. Doa-doa ini menjadi makanan surgawi mereka. Sebab semenjak itu juga, Bai dan Mei terus bersaksi, siang malam, dalam suka dan duka, keduanya mencari makanan surgawi, yang menjadi bekal perjalanan mereka kelak ke surga.

Menjadi pengikut Kristus, tak pernah luput dari cobaan. Hal ini juga dirasakan pasutri anggota Komunitas Chapdelaine, kelompok katekis awam yang mengambil nama dari Pastor Chapdelaine ini. Cobaan terbesar mereka adalah ketika menyaksikan imam yang mereka cintai itu mengalami siksaan keji oleh penguasa Tiongkok saat itu yang mendukung komunis.

Pastor Chapdelaine sempat dipenjara oleh pemerintah. Meski sempat dibebaskan dan kembali melayani di Guizhou dan Guangxi, sang imam akhirnya ditangkap dan diganjar hukumat mati karena melanjutkan pewartaannya. Selama berada di dalam kerangkeng, sang imam mendapat siksaan keji layaknya binatang. Kulitnya diiris hingga kepalanya dipancung pada 29 Februari 1856.

Kematian imam kelahiran La Métairie, La Rochelle-Normande, Prancis, 6 Januari 1814 ini meninggalkan kesedihan di hati umat di Guizhou, tak terkecuali Bai dan Mei. Peristiwa ini bukannya menyurutkan semangat mereka, sebaliknya api semangat terus menyala. Bai melayangkan protes keras ke pemerintah Tiongkok. Baginya, peristiwa ini adalah wujud kebiadaban pemerintah Tiongkok.

Demi Kristus, Amin
Pada masa itu, Tiongkok sedang menghadapi perang pahit antara pemberontak Taiping dan pemerintahan Dinasti Qing. Taiping adalah orang-orang Kristen. Pemberontakan ini dimulai oleh tentara Qing di Guangxi yang membantai sejumlah besar warga sipil, khususnya yang mengaku diri pengikut Kristus.

Situasi yang memanas ini tak dihiraukan Bai. Ia melayangkan protes kepada pejabat setempat yang tak lain kaki tangan Qing. Seorang pejabat melaporkan protes ini kepada pihak Qing, tak berapa lama surat penangkapan untuk dirinya keluar. Bai ditangkap dengan tuduhan mata-mata orang Barat. Selama di penjara di Guangxi, ia menolak melepaskan imannya.

Bai mengikuti jejak gurunya menuju surga abadi pada 25 Februari 1856. Ia dieksekusi di depan anak dan istrinya. Sebelum di bunuh, ia meminta kepada isterinya untuk terus menjaga Sepuluh Perintah Allah dan mengajarkan perintah itu kepada anaknya. Setelah di penggal kepalanya, tubuhnya dibuang ke hutan untuk dimakan binatang. Sebelum meninggal, ia sempat berucap, “Demi Kristus, Amin!”

Dekrit kemartiran Laurence bersama Pastor Chapdelaine dan martir Tiongkok lainnya ditandatangani Paus Leo XIII pada 2 Juli 1899. Paus yang sama membeatifikasi mereka selang setahun kemudian. Pada 1 Oktober 2000, Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasi Bai bersama sejumlah martir Tiongkok. Upacara kanonisasi di Vatikan ternyata berbarengan dengan peringatan ulang tahun Republik Rakyat Tiongkok.

St Laurence bersama para martir Tiongkok lainnya menjadi pelindung untuk umat Katolik yang berada di pedesaan. Gereja mengenang mereka setiap 29 Februari atau 28 September.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini