Dari Pemahaman ke Pengalaman

526
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Romo Fadjar, dan Menteri Pariwisata Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, Arief Yahya (baris depan, kiri-kanan), menghadiri Festival Barong Ider Bumi, di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur.
[Sandimerahputih.com]

HIDUPKATOLIK.com – Ia seorang imam, namun masyarakat adat mendapuknya sebagai salah satu pemimpin adat. Ia juga dipercaya sebagai ketua rukun tetangga. Namun, ia kerap dicibir oleh rekan imam.

Kamis, 10 Oktober 1996, Gereja St. Maria Bintang Samudera Situbondo, Jawa Timur dilalap si jago merah. Gereja yang berada dalam reksa pastoral Keuskupan Malang itu dibakar oleh massa. Selain gereja, massa juga membakar satu biara dan beberapa lembaga pendidikan Katolik. Nasib hampir serupa juga dialami oleh umat Gereja Reformasi.

Kendati berada jauh dari lokasi kejadian, Pastor Damianus Fadjar Tedjo Soekarno turut merasakan dampak tragedi tersebut. “(Selama beberapa hari) Saya harus keliling ke-18 stasi, mulai dari pukul sepuluh pagi, dan kembali ke pastoran sekitar pukul dua atau tiga dini hari, di mana saling menguatkan dan meneguhkan umat,” kenangnya.

Ia masih frater saat kerusuhan terjadi di kota kecil di ujung Pulau Jawa itu. Ia sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St. Maria Ratu Damai Lumajang. Paroki itu berada sekitar 130 kilo meter di sebelah selatan Gereja Situbondo.

Meninggalkan Kenyamanan
Tragedi kelam tersebut, diakui Romo Fadjar, sapaannya, membawa duka, takut, dan panik umat. Namun, di sisi lain, peristiwa itu juga meneguhkan panggilan serta misinya untuk memperkenalkan Gereja kepada masyarakat sekitar. “Tentu banyak faktor gereja dibakar. Tapi bagi saya, Gereja perlu keluar, mendekatkan diri pada kearifan dan budaya lokal, agama dan kepercayaan lain, manusia dan alam semesta, dan mewujudkan budaya damai,” ujarnya, ketika menjadi narasumber pada Hari Studi Konferensi Waligereja Indonesia, di Bumi Silih Asih Kantor Keuskupan Bandung, Jawa Barat, Selasa, 5/11.

Pesan Rektor Seminari (kini menjadi Uskup Surabaya), Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, memantapkan tekad dan rencana Romo Fadjar. Mgr. Sutikno mengatakan kepadanya, menjadi pastor itu bukan hanya menggembalakan umat Katolik tapi menggembalakan manusia dan alam yang ada di wilayah teritorial atau kategorial yang dipercayakan kepadanya.

Peneguhan juga ia dapatkan dari Pastor Petrus Maria Handoko, CM. Dosen Teologi Dogmatik STF Widya Sasana Malang itu berpesan kepada para mahasiswanya, sebagi teolog sekaligus filsuf, untuk membantu Gereja Katolik di Indonesia untuk “bernapas dengan dua paru-paru”, yakni Eropa dan Asia. “Maka, saya memutuskan harus keluar dari zona aman dan zona mapan,” ungkap imam yang ditahbiskan di Malang, 20 tahun silam ini.

Saat berkarya di Paroki Maria Ratu Damai Bayuwangi, Keuskupan Malang, Romo Fadjar diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas Osing, bahkan mendapatkan status khusus sebagai pemimpin adat, karena melalui aksi serta kata-katanya, ia sungguh meyakinkan komunitas Osing, apalagi orang-orang Osing sendiri mengalami pelbagai hal yang meyakinkan mereka berkat otoritas spiritual dan moral dari Romo Fadjar. Berkat kedekatannya dengan komunitas Osing, Uskup Emeritus Malang waktu itu, Mgr. Herman Joseph Sahadat Pandoyoputro, OCarm bahkan diangkat sebagai sesepuh adat Osing.

Mengutip situs Mongabay, suku Osing merupakan penduduk asli Bayuwangi, Jawa Timur. Komunitas ini juga biasa disebut sebagai Laros, atau singkatan dari Lare Osing. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai wong Blambangan. Seperti layaknya wilayah-wilayah kerajaan di Pulau Jawa pada zaman dulu, Suku Osing semula memeluk agama Hindu-Buddha. Namun perkembangan Islam, mayoritas masyarakat di sana akhirnya memeluk agama Islam.

Sebagai pemimpin adat, komunitas Osing mendaulat Romo Fadjar untuk membuka upacara adat Ider Bumi. Ia mengawalinya dengan melakukan ritual Sembur Otik-Otik. Prosesi budaya ini berlangsung setiap 2 Syawal atau hari kedua Perayaan Idul Fitri.

Demikian juga ketika bertugas di Sampang Madura, Romo Fajar mengembangkan dialog dan komunikasi intens dengan para kyai dan umat Islam. Ada pengalaman-pengalaman tertentu yang menarik, sekaligus mempererat tali silaturahmi, seperti ketika seorang kyai mengirimkan pasangan yang belum punya anak, untuk disuapi nasi; atau anak kyai yang menjadi sembuh setelah meminum air putih cucian piala. Dari pengalaman seperti itu, Romo Fadjar mendapatkan permintaan agar anak kyai yang telah sembuh itu diterima ke dalam Gereja Katolik. Romo Fadjar menolak permintaan itu.

Tak Sebatas Pemahaman
Kini, imam Keuskupan Malang yang kerap dipanggil Gus Fadjar oleh masyarakat, berkarya di Paroki St. Paulus Jajag Bayuwangi. Kendati wilayah misinya berpindah, ia masih tetap getol menjalin komunikasi dan relasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan “akar rumput” setempat.

Ia juga terlibat dalam denyut kehidupan masyarakat di sana. Bagi Romo Fadjar, budaya damai dan persaudaraan sejati tercipta karena dilandasi oleh sikap toleran antarsesama manusia. Keutamaan itu, lanjut kelahiran Malang 26 September 1970, muncul mengandaikan setiap individu membuka “ruang” perjumpaan atau memperbanyak silaturahmi antarindividu.

Silaturahmi, tegasnya, tak sekadar bertatap muka, ngobrol, lalu setelah itu kembali ke kediaman masing-masing. Silaturahmi yang ideal, menurut Romo Fadjar, harus sampai pada mengetahui, merasakan, memikirkan, dan terlibat dalam mensejahterahkan sesama atau masyarakat sekitar. “(Sehingga) Toleransi bukan sebatas pemahaman tapi harus sampai kepada pengalaman,” ujar imam murah senyum ini.

Atas partisipasi dan keterlibatannya, warga mempercayakan Romo Fadjar sebagai ketua rukun tetangga di sana. Subyek pelayanannya makin luas, sebagai seorang imam, ia memberikan pelayanan rohani dan sakramen kepada umatnya. Sementara sebagai Ketua RT, ia memperhatikan seluruh warga tanpa membedakan suku dan agama.

Romo Fadjar mengakui, membutuhkan waktu yang sangat lama membangun hubungan antarmasyarakat. Bahkan, pekerjaan tersebut tak pernah selesai. Ia juga merasakan, karya ini tak selalu mulus. Ia kerap menghadapi tantangan dan kritik dari sesama imam. Ia pernah dicap melakukan sinkretisme dan mencemarkan gereja.

Kadang, ia merasa berjuang seorang diri. Ketika menghadapi persoalan, ia mendatangi rekan imam, untuk sekadar mengaduh. Namun, respons yang diterimanya sungguh tak mengenakan. Ia langsung divonis bersalah.

Tantangan yang amat membekas dirasakan Romo Fadjar adalah ketika Paus Fransiskus menunjuk Pastor Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm sebagai Uskup Malang. Ada rekan imam yang mengatakan, yang telah dilakukan oleh Romo Fadjar tak sesuai dengan moto kegembalaan Mgr. Pid, Fideliter Praedicare Evangelium Christi (Dengan Setia Mewartakan Injil Kristus). “Mereka bilang, ‘yang saya lakukan justru bukan mewartakan Injil’,” ujar Romo Fadjar, meniru cibiran sejumlah rekan imam kepadanya.

Batinnya tergoncang mendengar suara sumbang itu. Ia segera menemui Mgr. Pid dan meminta maaf kepadanya. Jawaban Mgr. Pid justru membuat Romo Fadjar kaget. Sang uskup mengatakan, Injil itu sama dengan Kabar Sukacita. “(Jadi) Romo sebetulnya juga telah mewartakan Kabar Sukacita kepada umat dan masyarakat,” ungkap Romo Fadjar, mengutip pendapat uskupnya.

Peneguhan Mgr. Pid bahwa Injil (Kabar Gembira) harus juga diwartakan ke luar, kepada komunitas-komunitas lain, kian memantapkan langkah Romo Fadjar untuk merawat dan mengembangkan karyanya di tengah umat dan masyarakat yang heterogen hingga kini. “Sampai Tuhan sendiri yang mengatakan cukup untuk saya,” ungkapnya sembari tersenyum.

Kekuatan Utama
Romo Fadjar mengakui, Perayaan Ekaristi merupakan kekuatan utama karya dan panggilannya. Tiap kali merayakan Misa, ia menyadari, bahwa tantangan yang dialaminya tak sebanding dengan pengorbanan yang telah Yesus lakukan. “Dia (Yesus) rela dicaci maki, disiksa, bahkan wafat di kayu salib,” ujarnya, takjub.

Pengorbanan Kristus di salib yang senantiasa dikenangnya dalam Misa juga menyadarkan dirinya. Bahwa, agama pada dasarnya harus peduli dan mengabdi kepada kemanusiaan. Karena itu, ia mendorong umat beragama, secara khusus para imam dan kaum berjubah, kaum intelektual, dan umat Katolik, untuk membangun persaudaraan dan kepedulian antarsesama, salah satunya dengan umat yang berbeda agama dan budaya.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.47 2019, 24 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini