HIDUPKATOLIK.com – Keprihatinan, kegelisahan, cita-cita, ungkapan bahagia, rasa cinta dan semua hal yang memenuhi lubuk hatinya dicurahkannya di atas kanvas. Anak-anak dengan segala kepolosannya menjadi sumber inspirasinya yang tak pernah padam.
Sebuah lukisan menggambarkan perempuan tua berjubah putih biru sedang memeluk erat seorang anak kecil. Lukisan itu begitu hidup. Orang yang melihatnya langsung dapat membayangkan sosok Santa Theresa dari Kalkutta, India. Sosok biarawati yang mendapat Nobel Perdamaian tahun 1979 itu menjadi sumber inspirasi melukis bagi Fransiskus Xaverius Eryanto. Eric, sapaannya, mampu menyelesaikan lukisan “ Bunda Theresa” hanya dalam waktu dua hari.
Melukis realis terutama yang membutuhkan kemiripan dengan tokoh aslinya memberikan tantangan sekaligus keasyikan tersendiri bagi Eric. Inspirasi muncul dari gambar-gambar yang dikumpulkannya dari internet. Ia menyimpan banyak gambar yang menginspirasi untuk dilukis, baik sebagai obyek maupun sesuatu yang menginspirasi tema. Ketika ingin melukis, Eric membuka-buka kembali gambar-gambar tersebut.
Suatu kali, pandangannya terpaku pada gambar Bunda Theresa yang sedang menggendong bocah kecil. Penampilan visual Bunda Theresa dalam sosok sepuhnya sangat menarik untuk dilukiskan. Guratan keriput di wajah dan tangan menguatkan karakternya sebagai sosok pengasih sampai akhir hayatnya. Kisah ini membuat Eric berefleksi mengapa ia yang masih muda dan kuat seringkali enggan untuk berbagi kepedulian bagi yang lemah dan membutuhkan?
Inspirasi Iman
Zaman sekarang sulit menemukan orang-orang yang tulus membela yang lemah. Masalah intoleransi marak terjadi. Banyak orang malas berbagi kebaikan jika merasa berbeda dari kelompoknya. Mereka membawa kepentingan tertentu ketika merasa harus berbuat kebaikan. Hal tersebut tidak hanya terjadi di masyarakat umum, mungkin juga terjadi di gereja atau diri kita sendiri.
Eric berharap, lukisan “ Bunda Theresa” menjadi inspirasi iman, bahwa segala sesuatu yang baik dan mulia harus segera dimulai, tentunya juga harus dilakukan hingga selesai. “Saya ingin menyampaikan pesan cinta kasih pada karya lukis saya. Karya Tuhan harus bisa ‘hadir’ melalui diri dan karya-karya saya, dalam usia berapa pun dan dalam kondisi apa pun. Sekalipun dalam segala keterbatasan, saya harus memuliakan namaNya,” tekadnya.
Public figure adalah sosok yang mudah dikenali banyak orang. Konsistensinya terhadap suatu hal membuat karakternya mematri kuat. Jika menyebut Bunda Theresa, maka dengan mudah yang akan dikenali adalah sosok yang pengasih pada yang tersingkir. Dengan melukiskan citra para tokoh yang kuat, Eric menyampaikan ‘pesan-pesannya’.
Tokoh dalam lukisan Eric tidak terbatas pada orang kudus maupun tokoh-tokoh yang dikaguminya. Ia juga ingin menghadirkan tokoh-tokoh yang mungkin “dibenci” dunia. Eric tetap ingin menggabungkan karakter-karakter tersebut dengan sosok anak-anak.
Eric dilahirkan di dalam keluarga petani sederhana di pedalaman Lampung. Menyukai menggambar sejak kecil, ia mulai melukis dengan cat air kala duduk di bangku SMP. Sayangnya, hasil karyanya itu tidak terdokumentasi dengan baik. Bahkan beberapa di antaranya disembunyikan atau diminta untuk dikoleksi teman-temannya. Pengagum pelukis Affandi ini juga sempat mencoba melukis langsung di balik kaca.
Pindah Kota
Anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian memutuskan merantau di Yogyakarta selepas SMU. Di kota ini ia tertarik mengamati orang melukis dan media apa saja yang digunakannya. Kemampuan melukisnya berkembang. Alumnus SMAN 1 Kalirejo, Lampung Tengah ini pun melayani jasa melukis wajah di celah waktunya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah yayasan. Mulai tahun 2004 ia mulai banyak disibukkan dengan menggambar ilustrasi untuk penerbitan buku. Karena banyaknya kesibukan, keinginannya melukis di kanvas sementara tertunda.
Tahun 2006, Eric meninggalkan pekerjaan tetapnya dan fokus pada kegiatan desain grafis. Untuk mendalami berbagai teknik cara membuat ilustrasi bapak sepasang putra-putri ini melanjutkan kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Akademi Seni Rupa dan Desain Modern School of Design (ASRD MSD) Yogyakarta. Profesi sebagai desainer grafis ia tekuni hingga sekarang. Selain itu ia mendirikan penerbitan buku sendiri dan berjualan buku dan benda rohani secara online.
Lebih dari sepuluh tahun Eric bekerja dan belajar di Yogyakarta. Pernikahanlah yang akhirnya membawanya tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Saat ini, istrinya berpofesi sebagai dosen tetap di sebuah kampus di Surakarta. Untuk meningkatkan ilmunya mendesain, Eric melanjutkan studi S1 di Jurusan DKV Universitas Sahid Surakarta. Teman-teman kuliahnya masih berusia muda. Namun itu tak menyurutkan langkahnya. Suami Lusia Murtisiwi ini berhasil lulus dengan IPK terbaik “Saya ingin membuktikan bahwa semangat saya tidak ‘kalah’ dengan anak muda,” ujarnya dengan tawa berderai.
Setelah sekian lama tidak melukis dan baru memulai kembali melukis di kanvas, Eric mendapat pesanan lukisan “Kerahiman Ilahi” pada 2015. Rasa bangganya kian bertambah ketika lukisan tersebut dijadikan ilustrasi utama di cover CD/DVD lagu-lagu Kerahiman Ilahi yang diterbitkan Keuskupan Agung Palembang. “Ternyata pemesan merasa puas dengan hasil karya saya dan memesan kembali 2 lukisan yang lainnya,” ujar pelukis yang menggunakan media akrilik di atas kanvas ini.
Kembali Berkobar
Keberhasilan lukisan “Kerahiman Ilahi” pertamanya itu membuat “magma” di dalam tubuhnya kembali berkobar. Semangat melukisnya kian membara. “Tuhan Maha Baik. Ia tidak hanya memberi saya kemampuan menggambar atau melukis. Namun Ia juga memberi saya kesukaan untuk melakukannya. Jadi, saya tidak punya alasan untuk berhenti melukis,” kata kelahiran Lampung, 31 Desember 1979 ini.
Tak mudah untuk terus melukis. Eric disibukkan dengan pekerjaannya sehari-hari. Selain itu ia memilih melukis dengan cat air. Bau tiner (cairan untuk campuran cat) tidak bagus untuk anak-anaknya yang masih kecil. “Tidak ada alasan untuk berhenti berkarya. Jika kondisi sudah memungkinkan, saya akan kembali melukis dengan cat minyak atau akrilik pada kanvas. Sementara ini, saya menggunakan media yang praktis, bisa dibawa kemana-mana, dan ‘aman’ untuk anak,” ujarnya.
Di mata Eric, berat atau ringannya persoalan hidup adalah dari cara pandang kita. Memandang segala sesuatu sebagai “harapan” adalah kunci untuk mengalahkan semua persoalan yang ada. “Manfaatkan energi kita untuk belajar halhal yang baik agar mampu menghasilkan karya-karya yang baik,” pesan umat Paroki Santo Paulus Kleca, Surakarta, Keuskupan Agung Semarang ini.
Fransiskus Xaverius Eryanto
Lahir : Sendang Agung, Lampung Tengah, 31 Desember 1979
Istri : Lusia Murtisiwi
Anak : Rafael Eric Gestalno, Michaelin Erica Cyanmagayela,
Pendidikan :
• SMUN 1 Kalirejo, Lampung Tengah
• D1 Analis Sistem Komputer IMKI Prima Yogyakarta
• D3 Desain Komunikasi Visual (DKV) Akademi Seni Rupa dan Desain MSD Yogyakarta
• S1 Analis Sistem Komputer IMKI Prima Yogyakarta
• S1 DKV Universitas Sahid Surakarta
Beberapa Karya Lukis :
• Kerahiman Ilahi Pertama (akrilik pada kanvas) 2013
• Son (akrilik pada kanvas) 2015
• Berbincang (akrilik pada kanvas) 2015
• Bunda Theresa cat air pada kertas 2019
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019