Rosdi Edita Manik : Berkat Maragat Tuak

408
Rosdi Edita Manik. [HIDUP/Frater Nicolaus Heru Andrianto]

HIDUPKATOLIK.com – Amat jarang kaum hawa menyentuh pekerjaan ini. Namun, perempuan satu ini mendobrak dominasi kaum adam di ranah itu. Dari tuak, ia mengantar anak-anaknya hingga ke kuliah.

Ina (Batak: Ibu) Manik kerap mendengar keluhan orang sekitar yang mengatakan, tak punya uang karena tak memiliki pekerjaan. Hal itu menjadi permenungan sekaligus pemantik baginya untuk senatiasa berjuang, menegakkan fondasi ekonomi keluarga.

Dulu, aku Ina Manik, dirinya sempat iri melihat para kaum ada, begitu terampil mengambil dan mengolah tuak. Perasaan itulah yang memacu nalurinya untuk mendobrak ranah karya yang didominasi para kaum adam. Lebih dari itu, pekerjaan tersebut dapat mendatangkan pundi-pundi bagi keluarganya. Ia mulai menjajal sebagai paragat (Batak: pengikis/penyadap) tuak amatiran.

Ladang Produktif
Mula-mula, Ina Manik berkenalan dengan pisau yang dipakai untuk maragat tuak. Nama benda tajam itu agadi. Ia juga berkenalan dengan raru, sejenis kulit kayu untuk penambah rasa agar tuak tidak asam. Ina Manik kemudian menjajal membuat rangka agadi sendiri. Ia juga membuat sejenis palu atau bal-bal. Alat itu ia gunakan untuk memukul cabang manggar atau calon penghasil tuak.

Ia masuk ke hutan, mencari dan menebang bambu. Batang pohon itu ia gunakan untuk sige (tangga). Guna mengantisipasi agar lebah tidak masuk ke sige, ia mengambil sabut aren, dan memasukkan ke dalam bambu. Langkah kreatif ini menjadi spirit awal. Ia yakin, bakal mendapat berkat dari maragat tuak.

Gayung bersambut, pohon perdana dengan tinggi 15, 5 meter menjadi penghasil tuak. Awalnya Ina Manik sangat takut ketinggian. Ia pernah menggunakan selang untuk mengambil tuak dari atas.

Ladang Ina Manik tidak luas. Di atas lahan itu, tumbuh sekitar 30 batang pohon arena atau enau (Arenga pinnata). Ia dan suami yang menanam pohon-pohon itu. Meski tak banyak, Ina Manik bersyukur, semua pohon di ladangnya amat produktif sehingga dapat memberi tuak kepada mereka setiap hari.

Saban pagi, Ina Manik selalu bergegas ke ladang. Jarak rumah dengan ladangnya sekira dua kilo meter. Ia harus melalui perkebunan sawit milik warga. Ia baru kembali ke rumah ketika senja datang.

Tak jarang, banyak warga datang ke ladangnya. Mereka mengobrol dan meminum tuak bersama. Tak semua yang datang adalah umat Katolik. Ada pula umat beragama lain yang bertandang ke pondoknya untuk membuang penat dan mengusir dahaga dengan minum tuak hasil irisan Ina Manik.

Kebetulan di ladang itu, Ina Manik dan suami membuat pondok, untuk melepas lelah dan menghindar dari hujan serta panas. Di pondok itu pula, mereka mengikat beragam ternak, seperti kambing, ayam, dan bebek. Di sekitar pondok itu juga, suami-istri ini menanami sayur-mayur serta beragam bumbu dapur.

Perempuan Paragat
Ina Manik begitu menikmati pekerjaannya. Di kampungnya, Saribu Laksa (Huluan Nauli), wilayah Paroki Kristus Raja, Tanah Jawa Sumatera Utara, Ina Manik, adalah perempuan satu-satunya yang maragat tuak.

Ia tak malu, apalagi menyerah dengan keadaan. Bahkan dengan semangat untuk bekerja secara halal ini, ia berhasil mengentaskan anak-anaknya hingga bangku perkuliahan. “Kadang was-was kalau hp (handphone) berdering itu berarti tanda telepon dari anak, pasti akan minta uang kuliah dan biaya lain,” ungkap ibu kelahiran tahun 1962 ini.

Tanpa harus diingatkan, sebenarnya ia sudah menyiapkan biaya pendidikan untuk buah hatinya. Duit itu ia peroleh dari maragat tuak.

Di tengah perjuangan mencukupi semua kebutuhan keluarga, peristiwa mengejutkan terjadi. Ketika pagi-pagi ke ladang, ia dan suami mendapati bagian bawah kandang rusak. Mereka mencium anyir darah. Di dekat kandang juga ada lumuran darah. Saat melihat ke dalam kandang, mereka amat terkejut. Sepuluh ekor kambing mereka tak lagi bernyawa. Ada orang yang mengiris leher kambing-kambing mereka.

Mereka mencari jejak pelaku, namun berakhir dengan tangan kosong. Peristiwa ini memberi pukulan berat bagi Ina Manik dan suami. Mereka belajar mengikhlaskan kejadian ini. Hidup terus berjalan. Ina Manik dan suami masih harus terus berjuang. “Saya merasa, mungkin itu bukan rezeki saya. Akan tetapi saya yakin dan mengimani bahwa, Tuhan memberi banyak cara agar saya bisa mendapat rezeki. Dan Tuhan selalu memberi kesempatan kepada saya untuk belajar berbagi kepada orang lain,” ungkap ibu enam anak ini.

Setelah kejadian itu, Ina Manik tak lagi memelihara kambing. Ia memperbanyak jumlah ayam. Bila besar nanti, unggas yang ia pelihara di ladang itu akan dipindahkan ke rumah. Agar dapat ia pantau lebih intens.

Tak hanya terampil maragat tuak, Ina Manik ternyata punya kemampuan dalam memimpin. Ia dipercaya sebagai Ketua Dewan Stasi Huluan Nauli selama hampir dua periode. Ia merendah. Katanya, kepercayaan itu diberikan bukan karena ia punya kemampuan, tapi karena dirinya mau belajar.

Ia mempelajari banyak hal, termasuk liturgi. Ia juga tak pernah absen menghadiri rapat untuk mendengarkan aneka masukan dan kebutuhan umat stasi. Ina Manik sungguh memberi hati akan pelayanan yang dipercayakan kepadanya.

Ia juga kerap didaulat untuk marjamita (berkhotbah atau memberi renungan) saat Ibadat Sabda. Kadang, usai ibadat, ia melayani tokai tuak yang datang hendak membeli tuak. Dalam sehari, ia menjual sekitar 60 botol. Tuak sejumlah itu didapatkan dari hasil mengiris enam hingga tujuh pohon. “Saat maragat tuak, saya selalu mohon kepada Tuhan agar saya selamat dan usaha saya menjadi cucuran berkat dari-Nya,” kata Ina Manik.

Menurut Ina Manik, maragat tuak itu membutuhkan kesetiaan dan keberanian. Dalam hal kesetiaan, ia menyadari harus rutin memantau kebutuhan calon batang penghasil cucuran air tuak.

Ketika ia membal-bal atau memukul cabang manggar, ia selalu marende (bernyanyi) kidung Batak sesuai suasana hati. Bahkan tak jarang ia menyanyikan lagu sedih ketika membayangkan perjuangan Oppung atau tetua pendahulunya. “Tak jarang ketika marende saya mencucurkan air mata”, ungkapnya.

Sesudah menurunkan tuak dari pohon, ia akan memindahkan ke wadah besar dan memikul minuman itu ke rumah. Tuak itu ia jual Rp 1500 per gelas kepada tokai. Lalu, tokai akan menjual Rp. 2000 kepada masyarakat.

Hidup Prihatin
Sejak kecil Ina Manik hidup prihatin. Ibunya meninggal saat ia baru kelas II SD. Namun seiring waktu, ia menyadari, banyak berkat yang sudah diterimanya dari Tuhan lewat maragat tuak. Cucuran berkat dari maragat tuak ini memungkinkannya bisa bertemu banyak orang, menopang ekonomi keluarga, bahkan mengantar anak-anaknya ke sekolah.

Ia dan pohon penghasil tuak seakan telah menyatu. Pohon itu seolah memahami usia pemiliknya yang telah senja. Maka, tunas-tunas calon penghasil tuak tumbuh semakin ke bawah. Dengan begitu, ia tak perlu naik pohon sampai tinggi untuk maragat tuak. Terus berusaha, Tuhan akan memampukan umat dengan cara-Nya, kata Ina Manik.

Frater Nicolaus Heru Andrianto

HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini