Panggilan di Hari Natal

121

HIDUPKATOLIK.comDesember 1998
#Lusia

Gang Pandega Marta, jalan Kaliurang Yogyakarta. Jam bergerak pada angka tujuh malam. Di depan rumah kos bernomer 39, kau memarkir motor tepat di depan pintu kamar berhuruf E. Dari balik korden jendela kamar, aku melihat sesosok bayangmu. Lelaki tegap dengan rambut ikal yang dibiarkan sedikit panjang. Dengan kesopanan yang terjaga, kau ketuk pintu kamar kosku. Aku buka pintu kamar. Kau langsung menjabat tanganku. Diteruskan dengan memeluk tubuhku.

Pada teras depan kamar kosku, ada dua kursi dengan pemisah meja kecil berhias vas bunga warna hijau muda. Seperti biasa, kau duduk di kursi sebelah kanan. Lalu aku menemani dudukmu dengan menjatuhkan tubuh pada kursi sebelah kiri. Tanpa berbilang menit, kau akan menggeser kursi menghadap diriku. Jadilah kita berhadapan, dengan pembatas meja kecil berhias vas bunga.

“Hari yang sungguh indah,” kau memulai percakapan. “Semalam Manchester United melumat habis Liverpool dengan skor 3-0. Dwight Yorke memborong semua goal.” Begitulah ritual yang selalu kau ucapkan sebagai pembuka percakapan denganku. Kau membuka dengan ucapan ‘hari yang sungguh indah.’ Kemudian berlanjut dengan cerita yang kau sukai: sepakbola, musik metal, buku-buku ekonomi, sastra, teologi atau filsafat dan kejadian politik kontemporer.

Aku suka dengan penuturanmu yang runtut, cerdas lagi bernas menyoal berbagai hal. Aku tak lebih pendengar yang baik. Seperti malam ini setelah kau buka dengan sepakbola, kau bercerita banyak tentang konsep ekonomi pembangunan dari pemenang hadiah nobel, Amartya Sen. Sebagai mahasiswi ekonomi jurusan manajemen, teori-teori ekonomi pembangunan dari Amartya Sen yang kau ceritakan padaku, melengkapi pemahamanku tentang ekonomi makro.

Rejim waktu memang tidak bisa dilawan. Jam menunjuk ke angka sembilan malam lebih tujuh menit. Kau pamit. Ketika kau berdiri berhadapan, kau sibak rambutku. Dua anting di telingaku yang selalu kau kagumi. Biru di atas, merah muda di bawah. “Aku suka antingmu,” katamu. Lalu bibirmu mengecup pipiku. Hanya sekejap bibirmu mengecup pipiku. Lalu, ini pertama terjadi. Bibirmu berpindah mencecap bibirku. Ya, bibirmu berkeliaran melumat bibirku.

Tahukah kau bahwa malam itu ada perempuan berambut panjang yang tidak bisa tidur semalaman sehabis kau lumat bibirnya?

#Adrianus
Dari gang Pandega Marta, jalan Kaliurang Yogyakarta. Kupacu motorku melawan dinginnya malam. Jalan Kaliurang yang mulai sepi, ditinggal para pengguna kendaraan. Lampu lalulintas yang mulai lelah mengabarkan warna merah-kuning-hijau. Awan tipis berarak turun dari Gunung Merapi. Pada bangunan tua bertembok putih peninggalan zaman Belanda. Seminari tinggi, nama bangunan tua itu. Pepohonan lebat terhampar pada halaman nan luas. Cemara menjulang tinggi, tertiup angin. Pintu besar aku geser. Kumasukkan motor dan terparkir bersama puluhan sepeda.

Seruas kamar serba putih dengan sebuah ranjang tidur, meja belajar dan rakrak penuh buku. Kulempar tas. Kutatap cermin. Ada serpihan warna merah menempel dibibirku. Lalu kuhempaskan tubuh. Dalam gelap malam. Kubiarkan serpihan warna merah pada bibirku menemani tidurku malam ini.

#Lusia
Pagi ketika matahari belum bangun dari tidurnya. Terdengar kicauan burung yang bertengger di pohon mangga besar yang tumbuh di halaman depan rumah kos. Tangan tertangkup di dada. Di atas meja belajar, lilin menyala redup. Salib berwarna perak tertimpa cahaya lilin. Bunda Maria dengan wajah teduhnya. Kudaraskan sepotong doa, ”Selamat pagi Bapa di surga. Mulai hari ini kuserahkan Adrianus ketangan-Mu. Ia memang bukan milikku. Namun milik-Mu. Kuatkanlah Adrianus melakoni panggilannya. Panggilan untuk melayani umatMu.”

Sepuluh bulan setelah aku kenal denganmu. Tujuh bulan sehabis kau mengucapkan cinta di telingaku. Satu setengah bulan setelah kau diwisuda dari kampus UGM. Panggilan ternyata tidak bisa kau hindari. Daripada berkepanjangan, kau memutuskan untuk melayani umat bukan menemani hari-hari indah bersamaku.

#Adrianus
Tujuh bulan lampau. Tepatnya dua ratus empat hari lalu. Pada pilar nan kokoh Balairung, kampus UGM. Aku senderkan tubuhku. Kulahap cerita master piece Kho Ping Ho, Bukek Siansu. Awan berarak di langit. Sore menghilang dan senja merambat datang. Kulihat kau berjalan cepat dari arah fakultas Pertanian. Kau menelusuri rumput hijau di halaman Gedung Pusat UGM yang mulai tumbuh tak beraturan. Kusambut dirimu tepat di depan undak Balairung UGM. Ada butiran keringat mampir di wajahmu. Segera aku ulurkan saputangan ke arahmu. Kau keringkan wajahmu dengan saputanganku. Aku tahu sengaja saputangan milikku kau masukkan ke tasmu.

Mei bertanggal dua belas. Berdiri di antara pilar-pilar nan kokoh Balairung UGM. Tiga bulan setelah aku pertama bertemu denganmu di pentas teater mahasiswa. Aku ucapkan sepenggal kalimat pendek di telingamu yang berhias dua anting,”Lusia, aku mencintaimu.”

#Lusia
Teriakan-teriakan membahana mahasiswa “Reformasi! Bubarkan Orde Baru! Ganti pemerintahan!” Bergerombol mahasiswa dari berbagai kampus berjalan kaki menelusuri boulevard kampus UGM. Hendak turun ke jalan raya menuju titik nol kota. Tepat di Bunderan kampus sebelum menuju jalan raya. Rombongan mahasiswa berhadapan dengan ratusan aparat. Derap-derap sepatu lars. Lalu sebuah ucapan tersua “Serbu!”

Pentungan berkelebat di tengah asap tebal gas air mata. Aku tahu, sebagai aktivis mahasiswa tubuhmu babakbelur. Aku melihat bajumu kumal, tebal berdebu. Rambut ikalmu yang coba kau rapikan tetap tidak bisa menyembunyikan sehabis seharian rambutmu dibakar mentari. Di pojok Balairung, kau mencoba berdiri gagah. Berpura-pura membaca cerita kesukaanmu, Kho Ping Ho. Kau menyambut langkahku. Memeluk diriku. Lalu bibirmu berkata lembut ditelingaku. Mengucapkan cinta. Kau begitu perkasa, Adrianus. Perkasa melawan kesewenangan penguasa.

Desember 2018
#Adrianus
Setelah tujuh tahun tuntas belajar di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Setelah dikirim bertugas sebagai pastur muda di berbagai pelosok tanah air, empat tahun lamanya. Setelah mengambil program doktor di Gregoriana Roma, alhasil aku pulang kembali ke Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan sebagai dosen. Tahun ini tugasku bertambah, dosen sekaligus pamong seminari. Waktu berjalan terlampau cepat. Tidak terasa tepat dua puluh tahun lalu aku memutuskan masuk seminari.

Desember, bulan penuh nyanyian dari surga. Pada pusat-pusat keramaian, terdengar lagu-lagu Natal bergema. Lampu berwarna-warni menerangi kota, menyambut kedatangan Sang Mesiah. Berjuta-juta manusia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Menyambut Natal bersama keluarga. Atau menikmati liburan akhir tahun. Seperti sore ini. Petugas rumah tangga memberitahu padaku ada tamu. Tamu jauh dari Amerika. Ibu beserta anak laki-lakinya.

Di ruang tamu, betapa terkejutnya diriku. Kau, Lusia! Dua puluh tahun tiada bersua. Sore dua hari menjelang Natal kau tepat berada di hadapanku. Tidak sendirian. Ditemani laki-laki muda bertubuh tegap yang ternyata anak pertamamu.

Kujabat tanganmu dan kupeluk lembut tubuhmu. Lalu kau bercerita bahwa sehabis lulus kuliah kau bekerja di perusahaan minyak asing di Balikpapan. Ketika bekerja itu kau menemukan jodoh. Kawan sekantor yang kemudian bersama sering berpindah negara karena tugas kantor. Enam tahun terakhir bertugas di Houston Amerika dan kau memutuskan untuk hidup di Amerika.

“Romo Adrianus,” kau sejenak menatapku. “Anakku, Adrianus Wibisono Salim. Kebetulan bernama baptis seperti Romo. Bersekolah dari SD hingga SMA di berbagai negara mengikuti kami bertugas. Dia tidak ingin meneruskan kuliah. Dia tidak bisa mengelak dari panggilannya. Ternyata dia mau mengikuti jejak Romo.”

Sejenak kutatap anakmu, Wibisono. Lalu kembali aku mendengar perkataanmu. “Aku antar dia ke seminari ini. Liburan sekaligus ingin merasakan suasana seminari. Dia mau menginap tiga hari di sini.” Kau menutup perkataan.

“Dengan senang hati jika Wibisono tinggal tiga hari disini. Aku siap untuk menjadi teman diskusinya. Siap untuk berbagi pengalaman memenuhi panggilan ilahiah yang tidak bisa aku hindari.”

Kau kemudian meninggalkan seminari. Meninggalkan anak pertamamu untuk tinggal bersamaku selama tiga hari. Merayakan Natal nan hening di seminari. Nanti ketika hari ketiga akan aku ceritakan pada anakmu. Dulu aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada wanita aristokrat nan elegan. Wanita itu, kau!

Advent hari pertama, 2019

A.M. Lilik Agung

HIDUP NO.51 2019, 22 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini