Pastor Frederikus Parera, SVD : Karakter Kedang Ipil

332
Pastor Frederikus Parera, SVD.
[HIDUP/Karina Chrisyantia]

HIDUPKATOLIK.com – Desa Kedang Ipil ditantang menunjukan ekspresi imannya sesuai ajaran Kristiani. Sebagai minoritas, mereka dapat berperan sebagai “garam”.

Sejarah masuknya agama Katolik di Desa Kedang Ipil memang menjadi buah bibir beberapa pihak. Kepala Paroki St. Pius X Tenggarong Pastor Frederikus Parera, SVD, yang akrab disapa Pastor Fredy, membagikan pengalamannya saat ditemui di Paroki Tenggarong, 26/11.

Sejauh yang Pastor tahu dan alami, bagaimana menyikapi suatu suku yang mau memeluk agama Katolik? Apakah tidak terkesan menjadi pelarian karena Gereja bisa menerima adat?

Seperti yang pernah sering diceritakan riwayatnya masyarakat Desa Kedang Ipil menjadi Katolik, secara tidak langsung, Katolik itu menjadi agama yang bisa meyapa mereka melalui sisi budaya. Menghargai budaya mereka. Contoh, tradisi potong babi. Babi bukan sekadar hewan yang dikonsumsi tetapi sesungguhnya itu menjadi binatang yang dinilai sangat tinggi karena darahnya dipercaya untuk menyucikan bumi atau suatu tempat. Gereja tidak menghalangi ataupun membatasi.

Gereja bisa masuk dalam kehidupan mereka, artinya, kalau kita melihat masyarakat di Desa Kedang Ipill, masih hidup dalam kearifan lokal dan bukan berarti mereka sangat keras. Mereka masih patuh terhadap Gereja.

Contohnya, ada umat yang mau menikah beda agama, kemudian mau diselesaikan secara adat. Tapi ternyata mereka mau mengkomunikasikan dulu ke pihak Gereja, bisa atau tidak, dan saat Gereja memutuskan, mereka mau patuh.

Apa langkah paroki agar tetap membina umat di Desa Kedang Ipil?

Kalau kita melihat konteks, selama saya di sini, itu tidak terjadi hanya di Desa Kedang Ipil. Kebanyakan di kampung-kampung memang begitu. Sekadar doa makan saja kalau ada pastor, ya minta pastor yang pimpin.

Saya punya sikap sendiri terhadap kemandirian rohani. Saya sudah mulai untuk ajak mereka yang mimpin jika saya sedang berkunjung. Tidak masalah walaupun hanya satu kali Bapa Kami atau satu kali Salam Maria.

Untuk itu, metode pastoran juga harus disesuaikan. Tenaga pastoral, andalannya adalah kaum berjubah. Karena jumlah wilayah yang terlalu luas, tidak bisa tiap minggu kami berkunjung ke umat di stasistasi. Dari sini saya ingin merubah sistem, yakni mencetak kaum awam menjadi pionir. Memaksimalkan yang mau dan berpotensi, artinya kami akan membantu dan melatih para awam. Pengupayaan katekis datang lagi kesana itu pasti.

Menurut Pastor, bagaimana cara mempertahankan keunikan yang Desa Kedang Ipil miliki? Apa langkah berikutnya?

Kesan uniknya memang satu-satunya penduduk kutai dengan lokus/ tempat yang memeluk agama Katolik, hanya itu. Saya pribadi ingin, uniknya itu bukan hanya bagian sejarah, mungkin ke depannya bisa dari sisi Gereja, misalkan bangunan gerejanya, lalu sisi liturgis, bisa inkulturasi. Saya ingin itu muncul sebagai ekspresi umat. Dengan budayanya, keunikannya itu sampai kepada Tuhan dan kemuliaan Tuhan semakin nampak dirasakannya oleh yang melihat.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.51 2019, 22 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini